Musim Durian yang Menambah Kesejahteraan Warga Badui

Pemanggul buah durian di Badui pedalaman, Kabupaten Lebak, menembus hutan dan tebing curam. (gemapos/antara)
Pemanggul buah durian di Badui pedalaman, Kabupaten Lebak, menembus hutan dan tebing curam. (gemapos/antara)


Gemapos.ID (Jakarta) - Sejumlah pemanggul durian itu menempuh perjalanan sejauh 7 kilometer di kawasan perkampungan tanah hak ulayat Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Di kawasan hak tanah ulayat Badui itu memang tidak ada kendaraan maupun jalan aspal sehingga untuk mengangkut panen durian, petani menggunakan jasa buruh panggul.

Puluhan pemanggul buah berduri itu merupakan warga Badui. Pekerjaan itu membutuhkan fisik kuat karena mereka harus menembus belantara dengan kondisi jalan setapak dan topografi perbukitan, pegunungan, serta tebing curam di samping kiri kanan.

Risiko kecelakaan kerja pemanggul durian itu cukup besar sehingga mereka harus hati-hati, termasuk harus cakap menghindari gigitan ular hingga mengelola tubuh agar tak terpeleset ke tebing curam.

Para pemanggul durian itu pantang kenal lelah. Mereka berjuang demi kesejahteraan keluarga.

Musim panen durian merupakan kesempatan menambah penghasilan bagi keluarga Badui. Buah durian milik petani Badui itu ditampung pengepul yang ada di Terminal Ciboleger, pintu pertama masuk ke kawasan Badui.

Pengepul membeli durian dengan sistem borongan di atas pohon yang harganya tergantung banyaknya buah di pohon.

Ketika produksi durian mencapai 1.000 buah, misalnya, bisa dibeli Rp8 juta/pohon dan bila di bawah 600 buah sekitar Rp5 juta/pohon.

Namun, dalam pembelian sistem borongan, biaya petik buah dan pemanggul ditanggung oleh pengepul.

"Kami memanggul durian dengan upah Rp4.000/buah, jika mengangkut 20 buah, satu kali perjalanan menerima upah Rp80 ribu," kata Sarman (40), warga Badui saat ditemui di Kadu Ketug perkampungan Badui.

Begitu juga warga Badui lainya Yasmin (35). Ia mengatakan ekonomi keluarga terbantu dari upah memanggul durian itu sehingga bisa membeli beras dan lauk pauk.

Meski warga Badui memiliki cadangan pangan yang ada di leuit atau lumbung, mereka masih tetap membeli beras.

Sebagai pemanggul durian, ia sudah biasa berjalan kaki menempuh perjalanan 7--10 kilometer setiap hari.

Selama ini, perjalanan lancar karena tidak ada curah hujan sehingga kondisi marga tidak begitu mengkhawatirkan ketika pemanggul menembus hutan dan tebing curam itu.

Warga Badui sudah panen durian dalam 3 pekan terakhir ini dan diperkirakan akan berlangsung sampai Desember mendatang.

Pendapatan sebagai pemanggul durian setiap hari cukup banyak. Dalam empat kali perjalanan, pemanggul bisa membawa upah Rp320 ribu/hari. Jumlah upah yang sepadan dengan risiko selama perjalanan.

Andalan ekonomi

Tetua adat Badui yang juga Kepala Desa Kanekes Kabupaten Lebak Jaro Saija mengatakan hingga saat ini panen durian menjadi andalan ekonomi masyarakat Badui, mulai dari petani, pemetik buah, hingga buruh panggul.

Perkebunan durian di kawasan tanah hak ulayat Badui seluas 5.000 hektare, terdiri atas 3.000 hektare hutan lindung dan 2.000 hektare pertanian dan permukiman.

Selama ini, perkebunan durian di kawasan Badui tumbuh dan berkembang baik karena ada larangan penebangan pohon.

Oleh karena itu, produksi durian pada musim panen selama setahun, bisa menggulirkan uang miliaran rupiah.

Pohon durian di kawasan tanah hak ulayat Badui sekitar 8.000 pohon, dengan penduduk 4.000 keluarga.

Saija menghitung dari 8.000 pohon itu, jika panen rata-rata Rp4 juta/pohon maka total nilai produksinya Rp32 miliar.

Kubil (45), petani Badui, mengaku panen durian awal September 2023 itu cukup baik karena produksinya bisa mencapai 500 buah/pohon dibandingkan 2 tahun lalu, yang sangat kecil.

Saat musim kemarau ini, petani diuntungkan karena produksi durian cukup berlimpah karena buah berduri itu tidak berjatuhan ketika masih menjadi kembang.

Pada tahun lalu panen durian relatif kecil karena saat masih menjadi kembang, banyak yang berjatuhan akibat diguyur hujan.

Panen durian pada September 2023, kata Kubil, ditampung oleh pengepul dengan harga Rp50 juta dari 10 pohon itu.

Yasin (60), pengepul di Terminal Ciboleger, mengaku sudah puluhan tahun sebagai penampung buah durian warga Badui dan bisa menyerap tenaga kerja hingga puluhan orang.

Buah durian hasil panen masyarakat Badui itu pada musim panen dikirim ke pedagang di Pasar Rangkasbitung, Pandeglang, Bogor, Jakarta, Tangerang, hingga Indramayu.

Para pedagang itu sudah menjadi langganan tetap setiap musim panen dan mereka membeli secara kontan.

Pada musim panen durian di Badui, itu bisa menampung sekitar 7.000 sampai 10.000 buah/hari dengan nilai perguliran uang mencapai puluhan juta rupiah per hari. Petani biasanya memetik durian hingga selama 4 bulan per tahun.

Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian Kabupaten Lebak Deni Iskandar menyatakan musim panen durian itu setiap tahun terjadi pada bulan September sampai Desember dengan produksi mencapai ribuan buah per hari.

Besarnya produksi buah durian itu mampu mendongkrak pendapatan ekonomi masyarakat dan penyerapan tenaga kerja hingga ratusan orang.

Saat ini, sentra durian di daerah ini terbesar di kawasan Badui karena mereka melarang penebangan pohon durian.

Populasi pohon durian di kawasan Badui bisa terjaga karena ada larangan keras menebang pohon termasuk pohon durian. Terpeliharanya ekosistem tersebut menjadikan produksi durian setiap tahun bisa relatif stabil.

Padahal, di luar kawasan Badui, banyak pohon yang ditebang untuk material bangunan rumah maupun palet atau peti kemas.

Penghasil utama durian Kabupaten Lebak di Kecamatan Leuwidamar, juga di Kecamatan Bojongmanik, Cigemblong, Sobang, Muncang, Cirinten, dan Gunungkencana.

Populasi pohon durian yang terjaga di Badui selama ini bukan saja memberi kontribusi besar dalam merawat ekosistem hutan dan kawasan, namun lebih dari itu mampu menambah penghasilan warga.

Berkah pohon durian itu bukan saja bagi pemilik dan perawat pohon, melainkan juga para buruh panggul yang bisa menangguk upah hingga ratusan ribu rupiah per hari. (pu)