'Mutiara Hitam' Rawa Gambut yang diminati

Petani memanen kopi jenis ekselsa di kebun Biji Kopi, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Selasa (1/2/2022). Kopi ekselsa merupakan salah satu varietas kopi yang banyak tumbuh di Kalimantan Selatan seperti di kebun Biji Kopi yang dapat memproduksi 1,2 ton dari luas lahan setengah hektare dengan harga jual di tingkat petani Rp50 ribu per kilogram. (foto:gemapos/antara)
Petani memanen kopi jenis ekselsa di kebun Biji Kopi, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Selasa (1/2/2022). Kopi ekselsa merupakan salah satu varietas kopi yang banyak tumbuh di Kalimantan Selatan seperti di kebun Biji Kopi yang dapat memproduksi 1,2 ton dari luas lahan setengah hektare dengan harga jual di tingkat petani Rp50 ribu per kilogram. (foto:gemapos/antara)


"Kopi hitam ku, kupu-kupu, kopi hitam ku, semangat ku, kopi hitam ku, itu selalu".

Sepenggal lirik lagu dari grup band reggae Momonon berjudul “Kopi Hitam” seakan menjadi pendorong semangat dalam menjalani kehidupan. Lirik tembang itu juga serasa menggambarkan sebuah perjuangan dan perjalanan panjang kopi Kalimantan Selatan.

Ya, siapa tak kenal dengan kopi. Berbagai kalangan usia menjadikan kopi salah satu minuman yang digemari selain teh. Pada masa sekarang, kopi menjadi bagian dari budaya populer, yang ditandai dengan maraknya kedai kopi di berbagai kota, belahan dunia, termasuk Indonesia. Tak salah jika kopi menjadi salah satu komoditas dengan volume perdagangan tertinggi.

Indonesia memiliki jenis kopi lokal yang terkenal seperti kopi arabika Gayo dari Aceh, Kintamani dari Bali, kopi robusta dan arabika Toraja dari Sulawesi, kopi arabika Bajawa dari Toraja, dan kopi liberika Rangsang Meranti dari Riau. Aneka kopi tersebut membuat Indonesia menjadi salah satu negara produsen dan eksportir kopi paling besar di dunia.

Melihat potensi pasar kopi yang besar, salah seorang pegiat kopi di Kalimantan Selatan Dwi Putra Kurniawan (47) yang juga sebagai Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) di daerah tersebut, bersama kaum muda-mudi setempat, berupaya membudidayakan penanaman kopi jenis liberika yang ditinggal pemerintah kolonial Belanda.

“Kopi liberika ini ada sejak zaman Belanda menjajah di Indonesia. Bagi kami kopi liberika adalah mutiara hitam, yang ditanam, bukan digali,” kata Dwi.

Di mata Dwi, kopi merupakan komoditas yang sangat potensial untuk dikembangkan. Usaha tersebut dilakukan Dwi melalui Kedai Biji Kopi Borneo.

Keberadaan kopi liberika di Kalimantan Selatan memiliki sejarah panjang meski tak sepopuler liberika Rangsang Meranti dari Riau, namun liberika Kalimantan Selatan memiliki citra rasa keunikan tersendiri karena tumbuh subur di rawa gambut yang kerap dianggap sebagai tempat yang tidak ideal untuk pertanian.

Rawa gambut adalah ekosistem unik yang ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan. Uniknya, kondisi tanah yang asam dan air yang melimpah membuat rawa gambut menjadi lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan kopi liberika.

Potensi ekonomi

Kopi liberika di Kalimantan Selatan sendiri ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Jejak tersebut dapat dilihat dari beberapa pohon kopi yang berlumut bahkan ketinggian pohonnya mencapai belasan meter yang berada di rawa gambut maupun hutan Pegunungan Meratus.

Hasan Mohammed dari Qatar bersama Salah As Shaibani dari Yaman sengaja mengunjungi Provinsi Kalimantan Selatan untuk melihat dan menikmati kopi liberika yang dikembangkan dari Biji Kopi Borneo di Banjarbaru.

Melihat dan menikmati secara langsung ciri khas kopi liberika membuat mereka berkeinginan untuk menjalin kerja sama pengembangan hilirisasi. Potensi luas lahan yang ada di Kalimantan Selatan serta pasar kopi yang besar menjadi salah satu alasan mereka berkeinginan berinvestasi untuk pengembangan kopi liberika.

Meski kopi liberika adalah salah satu varietas kopi yang mungkin tidak sepopuler arabika dan robusta, tetapi diyakini memiliki tempatnya sendiri dalam dunia perkopian. Kopi liberika yang tumbuh di rawa gambut Kalimantan Selatan memiliki sejumlah ciri khas yang membedakannya dari varietas lain.

Rasa dan aroma buah yang dipadukan kayu dan tanah gambut yang khas sehingga memberikan sentuhan alam yang unik pada satu seduhan kopi liberika itu, dapat menjadi pilihan bagi para pecinta kopi yang mencari pengalaman baru.

Keunikan rasa kopi liberika juga terkait dengan lingkungan tempatnya tumbuh. Rawa gambut yang berperan sebagai sumber mineral dan nutrisi bagi tanaman kopi memberikan karakteristik khas pada cita rasa kopi liberika.

Kopi liberika rawa gambut dilirik bukan hanya dari rasa tetapi juga produksi yang di hasilkan satu pohon kopi liberika yang siap panen dapat menghasilkan 20-30 kilogram kopi basah, dan dalam satu hektare lahan bisa ditanami 1.000 pohon.

Atas potensi tersebut, Qatar, Yaman, bahkan Mesir telah melakukan pemesanan sebanyak 200 ton per bulan untuk memenuhi kebutuhan pasar kopi di negara tersebut.

Tidak hanya di pasar internasional, Provinsi Kalimantan Selatan yang menjadi penyangga daerah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Provinsi Kalimantan Timur, tentunya berpotensi besar menjadi pemasok kopi.

Hilirisasi

Melihat potensi dan keunikan kopi liberika serta varietas kopi tersebut yang tahan terhadap penyakit, dan memiliki adaptasi lingkungan yang kuat, Pemerintah Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan memilihnya sebagai komoditas utama dalam upaya menghijaukan ekonominya.

Sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo peran sektor ekonomi hijau dan hilirisasi sebagai peluang untuk meraih kemajuan bangsa dengan kekayaan sumber daya alam yang mampu diolah dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu kota yang telah mengambil langkah berani dalam menerapkan konsep itu adalah Banjarbaru. Kota tersebut memiliki visi ambisius untuk menjadi “Kota Sejuta Kopi”, dengan menanam pohon kopi jenis liberika dan menjalankan langkah-langkah hilirisasi sumber daya alam komoditas kopi.

“Potensinya besar kami juga sudah ada Program RT Mandiri untuk bisa mengambil sisi hulunya untuk sektor perkebunan sampai ke mesinnya, kami mencanangkan Program Kota Sejuta Kopi di Banjarbaru,” kata Wali Kota Banjarbaru Aditya Mufti Ariffin.

Langkah awal dalam upaya tersebut terlihat jelas dengan penanaman pohon kopi di Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada di Kota Banjarbaru, menciptakan kampung kopi di mana di kampung tersebut mengadakan program pelatihan untuk petani kopi, pengusaha kafe, dan pemuda lokal yang ingin terlibat dalam industri kopi.

Selain budi daya tanaman, Banjarbaru juga fokus pada hilirisasi sumber daya alam kopi. Mereka telah membangun fasilitas pengolahan pascapanen hingga pengemasan produk kopi liberika untuk menambah nilai produk lokal dan membuka peluang bisnis baru bagi masyarakat.

Mengadopsi konsep ekonomi hijau perbatasan wilayah Kota Banjarbaru juga akan dipagari oleh pohon kopi yang akan menjadi keunikan sebuah kota karena biasanya batas kota terbuat dari semen namun di daerah itu batas wilayahnya memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat serta dapat menjadi contoh bagaimana sebuah ekonomi hijau bisa tumbuh di perkotaan.

Pemerintah Kota Banjarbaru telah membuktikan bahwa ekonomi hijau bukanlah konsep yang tidak terjangkau. Dengan komitmen, kolaborasi, dan inovasi, mereka telah mengubah ekonomi dan mengambil langkah konkret menuju keberlanjutan.

Kota Sejuta Kopi inovasi utama Pemerintah Kota Banjaru, bukti bahwa setiap langkah kecil dapat menghasilkan perubahan besar dalam menghijaukan dunia.

Oleh Bayu Pratama Syahputra