Indonesia Dipatok Keluar dari Middle Income Trap, Mimpi atau Realistis?



Gemapos.ID (Jakarta) - Center of Digital Economy and SMEs, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan target Pemerintah Indonesia akan keluar dari middle income trap pada 2043 yang tercantum dalam ‘Roadmap Visi Indonesia 2045’. 

“Itu bisa dicapai jika pertumbuhan ekonomi pada 2020-2025 sebesar 5,4%, lalu 2025-2030 harus tumbuh 5,9%, pada 2030-2035 harus tumbuh 6,7%, dan 2035-2040 sudah harus tumbuh 6,8%,” kata Chief Center of Digital Economy and SMEs INDEF, Eisha M. Rachbini.

Hal ini disampaikannya dalam Diskusi Twitter Space INDEF bertajuk ‘Indonesia Naik Kelas, Kapan Bisa Lepas dari Middle Income Trap’ pada Kamis (20/7/2023).

Apalagi, produktivitas sektor pertanian dan sektor manufaktur terus mengalami penurunan sejak 1998 sampai sekarang.

“Hal ini menjadi hambatan sekaligus tantangan agar bagaimana target-target pertumbuhan bisa agar bisa lepas dari negara middle income trap bisa diwujudkan,” ujarnya. 

Eisha M. Rachbini menyarankan upaya menumbuhkan kembali sektor pertanian sebagai salah satu andalan dari sumber daya alam harus didasarkan pada riset, teknologi, dan inovasi.

“Jadi intinya adalah bagaimana agar produktivitas atau output bisa lebih besar dari input terutama di sektor agriculture,” ujarnya.

Sementara itu Bank Dunia melaporkan pada awal Juni 2023 Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas.

Walaupun demikian, rangking ini masih berada di bawah negara-negara lain dalam kelas yang sama. 

“Ada yang harus diluruskan dulu bahwa cara Bank Dunia untuk membagi kelas pendapatan rendah, menengah bawah, menengah atas, dan pendapatan tinggi dilakukan berdasarkan GNI (Gross National Income) dan GNI berdasarkan metode atlas,” ujar Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky. 

Dasar perhitungannya tetap berdasarkan Gross Domestic Product (GDP) tapi diseimbangkan. 

“GNI Indonesia lebih kecil dibandingkan GDP karena faktor-faktor produksi asing berproduksi di Indonesia masuk dalam Produk Domestik Bruto (PDB), tapi tidak masuk dalam GNI,” tuturnya. 

Awalil Rizky meneruskan perhitungan Metode Atlas dari GDP ke GNI didasarkan perbandingan nilai tukar dan perbandingan inflasi.

“Sayangnya di data BPS (Badan Pusat Statistik) tidak ada GNI Metode Atlas, yang ada hanya GNI versi BPS,” ucapnya.

Bank Dunia tidak tetap mengklasifikasikan batas pendapatan menengah bawah bagi suatu negara setiap tahun. Namun, angka ini tidak bergeser dari angka sekitar US$50. 

“Pada 2022 diputuskan klasifikasi batas pendapatan menengah bawah batasnya adalah US$4466 per kapita sampai US$13.845 per kapita dan negara berpendapatan tinggi atau maju adalah yang di atas US$13.845 kapita,” ujarnya. 

Negara yang masuk middle income trap, ucap Awalil Rizky, adalah yang tetap ‘bermain’ di pendapatan US$4.466 sampai US$13.845.

“Indonesia naik kelas tapi hanya pendapatan hanya sebesar US$4.580 per kapita. Jadi hanya naik sedikit sekitar 100 poin dari batas bawah,” tuturnya.

Indonesia pernah melampaui pendapatan batas bawah sebesar US$50 per kapita sampai US$100 per kapita pada 2019. 

Namun, pada 2020 saat pandemi Covid-19 Indonesia kembali ke pendapatan menengah bawah. 

Awalil Rizky melanjutkan dua tahun kemudian pendapatan Indonesia memang sempat naik tapi masih di ‘ranking bawah’, karena hanya naik US$4.580.

Namun, jika pada 2023-2024 terjadi guncangan seperti resesi, maka bisa saja akan turun lagi ke batas bawah. 

“Itu artinya Indonesia masih jauh sekali dari batas untuk keluar dari middle income class,” ucapnya. 

China saja belum digolongkan Bank Dunia sebagai negara maju karena hanya berpendapatan US$12.850 per kapita. 

“Masih butuh dua sampai tiga lompatan untuk menjadi negara maju,” ujarnya. (adm)