Bagaimana Kondisi Toleransi Beragama di Indonesia, Berikut Pendapat 3 Guru Besar



Gemapos.ID (Jakarta) - Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta Franz Magnis Suseno mengungkapkan intoleransi umat beragama masih terjadi di Indonesia. Kondisi ini terlihat dari insiden-insiden seperti pembakaran 1.500 pemukiman umat beragama yang berbeda di satu wilayah.

“Masih ada ketakutan keterpisahan antara umat-umat beragama,” katanya.

Hal ini disampaikannya dalam ‘Seminar Internarsional: Merawat Toleransi Beragama’ yang diselenggarakan Universitas Paramadina dan Al-Musthafa International University (Iran) pada Selasa (13/6/2023). 

Kegiatannya juga didukung STAI Sadra, Paramadina Graduate School of Islamic Studies, dan Asosiasi Aqidah & Filsafat Islam.

Namun, Franz berpendapat intoleransi tidak berkaitan dengan agama, tapi dengan kepicikan alami manusia yang curiga terhdap yang berbeda, menganggap sebagai saingan, dan perbedaan dirasakan sebagai ancaman. 

“Intoleransi yang lebih serius berdasarkan pada ajaran agama sendiri. Di mana penolakan bahkan pada menyuruh tindak kekerasan terhadap penganut agama lain,” ucapnya.

Apalagi, toleransi beragama dianggap sudah berjalan baik di Tanah Air terutama di Jawa seperti Umat Katolik yang hanya berjumlah 1% dari total umat beragama hidup merasa aman dan tidak bermasalah. 

Begitupula sebanyak 90% dari jumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah di Kupang yang beragama Kristen dna Katolik dan tidak mengalami masalah dengan kepercayaannya. 

“Dalam 30 tahun terakhir hubungan NU dan Muhammadiyah semakin akrab. Saling menghargai, dan jika ada masalah maka umat katolik dapat berkomunikasi dengan NU dan Muhammadiyah,{m ujarnya. 

Malahan, Franz mengakui dalam sejarah dunua terbukti umat Islam selalu lebih toleran dibandingkan umat Kristiani. Contohnya, saat Nabi Muhammad menerima kedatangan tamu Kristiani dari Yaman pada hari Ahad.

Waktu itu umat Kristiani bertanya di mana mereka dapat beribadah yang dijawab Nabi Muhammad dengan mempersilahkan beribadah di dalam masjid nabi. 

“Itu luar biasa,” tuturnya. 

Sikap yang sama juga diperlihatkan Khalifah Umar saat berada di Yerusalem menjamin Katedral Kristiani tetap bisa dipakai oleh umat Kristiani. 

Namun, sekarang kondisi Timur Tengah sedang kacau, padahal lebih dari 1.000 tahun sebagian kecil umat Yahudi dan Kristiani berasal dari Mesir, Palestina, Yordan, Syria, dan Irak bisa hidup dengan damai bekerja tanpa kesulitan di dalam masyarakat dan pemerintahan Islami. 

“Katolik dan Kristiani perlu suatu proses untuk menjadi lebih toleran. Memang dalam sejarahnya Umat Katolik ditindas oleh Romawi karena menolak menyembah Kaisar Romawi. Namun akhirnya abad keempat Romawi menjadikan Kristiani sebagai agama resmi,” ucapnya. 

 

Alasan Toleransi Beragama

Pada kesempatan yang sama Guru Besar Falsafah Universitas Paramadina, Abdul Hadi WM mengemukan tiga alasan penting toleransi harus dijalankan umat beragama di Indonesia. 

Pertama, realitas sosial historis bangsa Indonesia yang majemuk yakni ratusan suku bangsa dan orang-orang asing telah hidup berdampingan selama berabad-abad. 

Jika orang Indonesia berkonflik soal agama dan budaya. maka ini akan hancur sendiri. karena falsafah bangsa Indonesia sejak dulu sebelum Islam dan agama resmi lain ada, terdapat harmoni dan kerjasama masyarakatnya (ashobiyah). 

“Kodrat bangsa Indonesia memang bukan untuk saling bersaing seperti dalam masyarakat liberal,” ujarnya. 

Pendirian Candi Borobudur hadir di Jawa Tengah (Jateng) berkat harmoni dan gotong royong masyarakatnya. Begitupula pembangunan masjid-masjid besar di Aceh. 

“Satu keuntungan lain dari Indonesia adalah mayoritas suku Jawa yang memang mementingkan harmoni dan kebersamaan, Kerjasama dan gotong royong,” ujarnya. 

Alasan kedua, ujar Abdul, geografi Indonesia terdiri antar pulau yang dihubungkan dengan lautan yang menjadikan keanekaragaman terpelihara dan saling toleran. Islam di Madura yang mayoritas NU meski secara kultural berbeda dengan Islam di Jawa tapi tetap tidak ada masalah. 

“Kenyataan abangan di Jawa dan Hindu di Bali tidak pernah berkelahi karena masalah kepercayaan,” ujarnya.

Terakhir, kemajemukan bangsa Indonesia berbeda dengan kemajemukan Malaysia lantaran di Malaysia terdapat orang China, dan keturuman asing bangsa Cina, bangsa Keling, Tamil, dan Melayu Jawa.

Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang satu suku Austronesia, seperti orang Aceh, Bugis, Makassar. Apalagi, diikat oleh Ukhuwah Islamiyah yang sering dilupakan penilaian sebagian orang. 

“Orang Aceh tidak mau konflik dengan orang Madura karena Ukhuwah Islamiyah. Ada gesekan hanya soal furu misalnya soal Qunut yang sejak dulu ada,” ucapnya. 

Dunia modern sering memaksakan intipati agama pada legalitas formal tapi lupa bahwa agama mempunyai aspek batin yakni tasawuf dan syariah formal/fiqh. Di Indonesia kemunculan gesekan-gesekan akibat terlalu menekankan pada soal fiqh saja. 

“Lupa bahwa dalam Islam terdapat aspek estetik Islam (sayyed Hossein Nasr). Para sufi berjasa karena menjadikan Islam sebagai agama yang indah, antara lain saluran-saluran kesenian yang dibawa oleh Islam ke Indonesia,” ucapnya. 

 

Toleransi adalah  Islam

Guru Besar al-Mustofa International University, Iran, Hossein Muttaghi menambahkan moderatisme dan toleransi dalam Islam dinilai sangat penting. Karena, ajaran agama Islam berisi 100% ajaran yang mengandung moderatisme dan toleransi.

Indonesia juga sebagai negara yang memiliki sejarah atas sikap dan nilai-nilai moderatisme dan toleransi. 

“Moderatisme dalam Islam ketika masuk kepada bangsa Indonesia, maka dia berasimilasi menjadi sebuah kesatuan nilai yang tak terpisahkan,” ujarnya. 

Sifat, karakter, dan nilai moderatisme memiliki akar sejarah di Indonesia lantaran ketika Islam masuk ke sini dengan damai. Jadi, ini mudah diterima dan terhubung dengan nilai-nilai moderatisme dan toleransi yang telah ada sebelumnya.

“Ketika membahas moderatisme yang bisa digali dari berbagai ajaran Islam dari Al Quran dan pada saat yang sama juga bisa didapatkan dari nilai-nilai yang telah diyakini oleh bangsa Indonesia, maka tentu hal itu membentuk nilai dan model yang baru,” tuturnya. (adm)