Memilih Sistem Pemilu yang Mampu Penuhi Keterwakilan Perempuan



Gemapos.ID (Jakarta) - Sistem pemilihan umum (pemilu) setelah Reformasi 1998 belum mampu mendongkrak tingkat keterpilihan kaum perempuan. Bahkan, tidak pernah mencapai target minimal 30 persen dari total kursi di DPR RI.

Meski dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ada ketentuan daftar bakal calon anggota legislatif (bacaleg) memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen (vide Pasal 245), pada kenyataannya pada Pemilu Anggota DPR RI 2019 belum menyentuh persentase itu.

Akankah sembilan hakim konstitusi dalam memutuskan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 perihal sistem pemilu lebih memberi peluang kaum perempuan menuju Senayan (Gedung DPR RI) atau malah sebaliknya?

Asa pun menggantung pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Apakah bakal ada formula baru sistem kepemiluan di Tanah Air atau menyerahkan urusan ini kepada pihak Pemerintah dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang?

Hal ini mengingat dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur pilihan sistem pemilu apa yang yang berlaku untuk pemilu anggota legislatif (pileg) di Tanah Air.

Kendati demikian, ada secercah harapan pada Pemilu 2024 menaikkan tingkat keterpilihan perempuan sedikitnya 174 perempuan atau 30 persen dari 580 kursi DPR RI ke Senayan. Mereka berasal dari 84 daerah pemilihan (dapil) se-Indonesia.

Hal ini mengingat, sejak Reformasi 1998 jumlah kaum hawa di Senayan masih jauh dari angka persen itu, baik menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup maupun terbuka.

Tampaknya perlu mengkaji ulang sistem pemilu yang selama ini berlaku di Tanah Air agar jumlah perempuan yang duduk di parlemen mencapai target minimal 30 persen. Ini merupakan tugas pembentuk undang-undang (DPR RI dan Pemerintah) ketika akan merevisi undang-undang kepemiluan.

Penerapan sistem pemilu dari pemilu ke pemilu setelah UUD NRI Tahun 1945 diamendemen (terakhir pada tahun 2002), keterwakilan perempuan minimal 30 persen di parlemen tidak pernah tercapai.

Penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2004, misalnya, hanya 12 persen (66 kursi) dari total 550 kursi DPR RI. Dengan sistem ini, pemilih tidak mengetahui siapa saja calon anggota legislatif (caleg) yang bakal mewakili mereka di parlemen.

Dalam sistem pemilu proporsional tertutup, partai politik berwenang penuh dalam menentukan nomor urut caleg di suatu daerah pemilihan. Calon anggota legislatif yang nomor urut terkecil atau nomor "urut topi" berpeluang besar terpilih meski tidak selaras dengan kehendak rakyat. Sebaliknya, caleg yang berada di nomor urut terbesar atau nomor "urut sepatu" kemungkinan kecil bakal terpilih menjadi wakil rakyat.

Pemilu selanjutnya menerapkan sistem proporsional terbuka. Pada Pemilu DPR RI 2009, pemilih mengetahui siapa saja yang akan mewakili mereka karena dalam surat suara terdapat nama dan foto caleg yang bersangkutan.

Dengan sistem ini, penentuan kursi di Senayan berdasarkan suara terbanyak. Caleg suara terbanyaklah yang berhak atas kursi yang diperoleh parpol di suatu daerah pemilihan.

Tak pelak lagi, persentase keterwakilan perempuan di Senayan pada Pemilu 2009 naik cukup signifikan menjadi 18,3 persen (103 kursi) dari total 560 kursi DPR RI.

Akan tetapi, muncul pertanyaan kenapa pada pemilu berikutnya keterwakilan perempuan di parlemen malah menurun menjadi 17,32 persen (97 kursi) dari total 560 kursi DPR RI. Padahal, sistem pemilu pada tahun 2009 dan 2014 sama-sama menggunakan proporsional terbuka.

Bahkan, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 20/PUU-XI/2013 mengubah penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD selengkapnya menjadi, "Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya."

Pada pemilu berikutnya, tidak lagi menggunakan metode kuota hare atau bilangan pembagi pemilih (BPP) seperti Pemilu 2014. Pada Pemilu Anggota DPR RI 2019 menggunakan teknik sainte lague untuk menghitung suara. Alhasil persentase keterwakilan perempuan naik menjadi 20,8 persen (120 perempuan) dari 575 anggota DPR RI.

Selanjutnya, pada Pemilu Anggota DPR RI 2024 masih menggunakan dasar hukum undang-undang yang sama, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu).

Baik proporsional terbuka maupun tertutup, suara sah partai politik peserta pemilu yang penuhi ambang batas perolehan suara 4 persen baru dikonversi menjadi kursi DPR RI di setiap dapil.

Berdasarkan UU Pemilu, penghitungan perolehan kursi DPR, yakni suara sah setiap parpol dibagi dengan bilangan pembagi 1 dan diikuti secara berurutan oleh bilangan ganjil 3, 5, 7, dan seterusnya.

Pemangku kepentingan kepemiluan, khususnya parpol peserta pemilu beserta calegnya, saat ini masih menanti putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.

Apakah putusan itu sesuai dengan dugaan sejumlah pihak, yakni ada perubahan sistem pemilu dari proporsional menjadi tertutup, atau masih tetap sama? Jawabannya pada hari Kamis, 15 Juni 2024, sebagaimana jadwal Mahkamah Konstitusi yang akan menggelar sidang putusan sistem pemilu.

Putusan Mahkamah Konstitusi kali ini semoga memberi peluang bagi kaum hawa untuk mengisi minimal 30 persen dari total kursi parlemen.

Tidak menutup kemungkinan ada formula baru dalam sistem pemilu, khususnya memperkuat keterwakilan perempuan di parlemen. Apalagi, uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terhadap UUD NRI Tahun 1945 tidak menyentuh Pasal 415 (perihal penghitungan perolehan kursi DPR dan DPRD).

Pada Pemilu 2024, misalnya menggunakan proporsional terbuka bersyarat satu dapil ada satu perempuan (caleg terpilih) atau sebanyak 84 orang. Caleg perempuan dari parpol mana pun yang mendapatkan suara terbanyak di dapil yang berhak melenggang ke Senayan. Mereka harus berasal dari parpol peserta pemilu yang memenuhi ambang batas perolehan suara 4 persen.

Dengan demikian, untuk mencapai minimal 30 persen di Senayan, masih terdapat kekurangan 90 orang. Nah, kekurangan ini bisa ditutup dengan perempuan caleg peraih suara terbanyak dari parpol yang dapat jatah kursi di setiap dapil. (pu)