KLHK Dorong Industrilisasi Pengelolaan Sanpah dan Penerapan Ekonomo Sirkular

"Kuncinya adalah ekonomi sirkular yang terkait dengan bagaimana agar sampah tidak terbuang ke tempat pembuangan akhir. Ujungnya nanti menjadi zero waste dan zero emission," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta pada Sabtu (14/1/2023).
"Kuncinya adalah ekonomi sirkular yang terkait dengan bagaimana agar sampah tidak terbuang ke tempat pembuangan akhir. Ujungnya nanti menjadi zero waste dan zero emission," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta pada Sabtu (14/1/2023).

Gemapos.ID (Jakarta) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mendorong kalangan pelaku usaha untuk melakukan industrialisasi pengelolaan sampah serta penerapan ekonomi sirkular.

Hal itu sebagai strategi untuk mewujudkan komitmen KLHK guna semakin menggencarkan ekonomi sirkular dan capai target zero waste pada 2050.

"Kuncinya adalah ekonomi sirkular yang terkait dengan bagaimana agar sampah tidak terbuang ke tempat pembuangan akhir. Ujungnya nanti menjadi zero waste dan zero emission," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati di Jakarta pada Sabtu (14/1/2023). 

Data Ditjen PSLB3 pada 2022 menyebutan KLHK mencatat sebanyak 64 persen timbulan sampah telah berhasil dikelola dari total 68,5 juta ton sampah nasional. 

Dari angka ini tercatat komposisi sampah yang paling dominan adalah sisa makanan, plastik, dan kertas.

Sampah botol plastik kemasan dan plastik, lanjut Rosa Vivien, memang sudah sedemikian lama menjadi persoalan.

Sebelumnya, KLHK melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 mencetuskan Peta Jalan pengurangan sampah oleh produsen dengan menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30% pada 2030.

“Permen LHK No. 75/2019 ini merupakan upaya pemerintah menekan volume sampah di Indonesia,” ujarnya. 

Target pengurangan tersebut dilakukan dengan, antara lain mendorong produsen AMDK mengubah desain produk berbentuk mini menjadi lebih besar (Size up) hingga ke ukuran satu liter untuk mempermudah pengelolaan sampahnya.

Selain itu produsen diminta mengimplementasikan mekanisme pertanggungjawaban terhadap produk dalam kemasan plastik yang dijual. Produk tersebut menjadi sampah (Extended Producers Responsibility/EPR).

Dengan Permen LHK tersebut, pihaknya terus mendorong para pelaku usaha agar mempermudah pengelolaan sampah plastik dengan memperbesar ukuran produk (Size up).

Jadi, ini dikumpulkan dan dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang secara mudah. 

Sebelumnya, Sustainable Waste Indonesia (SWI) menyebutkan dari total sampah nasional per tahun, sampah plastik menguasai 5% atau 3,2 juta ton dari total sampah.

Dari jumlah ini produk AMDK bermerek menyumbang 226.000 ton atau 7,06%. 

Sebanyak 46.000 ton atau 20,3% dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek merupakan sampah AMDK kemasan gelas plastik.

AMDK plastik berukuran di bawah satu liter seperti gelas plastik, terbukti sangat sulit untuk dikumpulkan dan tak bernilai untuk didaur ulang.

Hal lainnya adalah tingkat daur ulang (recycle rate) sampah plastik di Indonesia baru menyentuh 7%, dengan jenis plastik jenis PET (yang lazim digunakan untuk kemasan AMDK botol dan galon) mencapai 75% tingkat daur ulang.Jenis plastik PET adalah kemasan minuman ringan yang berkontribusi besar dalam daur ulang, mencapai 30% sampai 48% dari total penghasilan para pengumpul sampah. (mau)