Daging Sapi Mahal Akibat Distribusi Panjang

Felippa Ann Amanta
Felippa Ann Amanta
Gemapos.ID (Jakarta)  Pemerintah perlu membenahi tata niaga daging sapi nasional, sehingga harga daging sapi tidak tinggi mulai produksi, distribusi, dan permintaan. Konsumsi daging sapi hanya sekitar dua kilogram per kapita per tahun di Indonesia. "Harga tinggi disebabkan oleh harga daging sapi yang melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar Rp 120.000 per kilogram," kata Felippa Ann Amanta, Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). Harga daging sapi yang tinggi bisa diatasi dengan melihat  persoalan di hulu sperti rantai distribusi yang panjang. Hal ini menimbulkan biaya tambahan yang besar berpengaruh kepada harga jual. "Pemerintah memilih impor sapi bakalan yang harus digemukkan lagi dan dipotong di Indonesia," paparnya. Kemudian, daging sapi yang dihasilkan dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mendapatkan pembeli. Selanjutnya, penjualan daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Mereka yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum sampai di tangan konsumen. "Proses panjang ini menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit," paparnya. Ketika harga daging sapi naik, maka konsumen akan cenderung membeli komoditas lain sebagai substitusi seperti ayam atau lauk lainnya. Hal ini akan merugikan para pedagang dan dapat dipahami kenapa mereka enggan menjual daging sapi dengan harga kelewat tinggi. "Selain itu, yang paling terdampak akibat kenaikan ini juga para pengusaha yang menjual makanan berbahan daging sapi,” paparnya. Pengusaha makanan dihadapkan pada pilihan seperti penghilangan menu daging sapi, mengurangi porsi atau bahkan menambah harga jual. Dari hal ini pemerintah bisa menilai efektivitas kebijakan yang sudah diterapkan pada daging sapi. Menyoal wacana impor daging sapi, papar Felippa, kalau langkah ini merupakan langkah yang strategis perlu mempertimbangkan siklus tahunan kenaikan permintaan jelang Ramadan dan Idul Fitri. Produksi daging sapi domestik hanya dapat memenuhi sekitar 70% dari permintaan. "Industri daging domestik masih belum mampu bersaing dengan industri daging luar negeri. Kita sudah melihat harga tinggi merugikan bukan hanya konsumen tetapi juga pedagang," tuturnya. Felippa memandang impor sebagai langkah untuk mengatasi kesenjangan., Namun impor merupakan kebijakan yang akan efektif dengan data yang akurat dan perkiraan waktu yang tepat. "Kami juga mendukung impor yang dilakukan secara transparan. Sistem kuota sudah terbukti rawan pelanggaran dan hal ini perlu dievaluasi oleh pemerintah,” pungkasnya. (adm)