Draf Omnibus Law Ancam Kebebasan Pers

abdul manan
abdul manan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers. Hal itu dinyatakan setelah melihat draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diduga akan dipakai merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. “Ombnibus Law Cipta Kerja akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12,” kata Abdul Manan, Ketua Umum (Ketum) AJI di Jakarta pada Minggu (16/2/2020). Pasal 9 memuat ketentuan perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka. "Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers," ucapnya. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah pada era Orde Baru (Orba) adalah kewajiban perusahaan pers mengantongi Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Jika surat ini dicabut pemerintah, maka perusahaan pers tidak dapat menjalankannya. Kemudian, di Dewan Pers ditempatkan Menteri Penerangan (Mempen) sebagai ketua sekaligus ex-officio dari pemerintah. Berbagai kejadian ini dikoreksi Pemerintah dan DPR atas desakan pers untuk mengesahkan UU No 40/1999. “Undang-undang itu juga memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari undang-undang itu,” ujarnya. AJI juga menolak RUU Cipta Lapangan Kerja yang akan memuncilkan penerbitan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur soal pengenaan sanksi administratif. Hal ini juga ditolak lantaran mengenakan sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar –naik dari sebelumnya Rp 500 juta. “Sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers,” jelasnya. Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat 2 dan 3 bukan solusi untuk menegakkan UU Pers. Ayat 2 diketahui mengatur pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat 3 berisi jaminan bagi pers nasional dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Selama ini tindakan orang yang dinilai melanggar dua ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat menjalankan tugasnya. Tindakan itu dikategorikan sebagai melanggar pasal 4 ayat 3 Undang Undang Pers, tapi masuk kategori pidana dalam KUHP. Selama ini para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan. "Jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, menjadi pertanyaan bagi kami untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal ini?” tegasnya. Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan soal pers wajib melayani Hak Jawab dan pasal 13 mengatur larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat. (mam)