Memperkuat Literasi, Membangun Peradaban
Tingkat kemajuan suatu masyarakat, daerah atau bangsa itu ternyata dapat diukur dari tradisi literasinya, berapa banyak waktu sehari-harinya yang digunakan untuk membaca dan juga menulis, salah satunya di ungkapkan oleh Daniel Lerner, dalam buku “The Passing of Traditional Society” yang menjelaskan bahwa ada empat unsur pemacu modernisasi yaitu ; Pertama, tingkat melek huruf, Kedua, urbanisasi, Ketiga, partisipasi media dan Keempat, partisipasi politik. Dari keempat unsur diatas, kemampuan membaca suatu masyarakat ternyata menempatkan urutan pertama yang dapat memicu perubahan sosial yang besar. Ini artinya tradisi membaca menjadi sangat penting bila kita mendambakan peradaban yang berkemajuan. Pernyataan bahwa tradisi literas , khususnya membaca ada kaitannya dengan kemajuan peradaban diperkuat juga landasan teologis, kita bisa memahami dari wahyu yang pertama di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu ayat 1-5 surat al-alaq, yang bunyi ayat pertamanya adalah “Iqro” yang artinya Bacalah! Ternyata perintah Allah SWT yang pertama adalah membaca, bukan bekerja atau berdo’a. begitu pula jika kita membaca kisah kisah masa lalu, berkaitan dengan pusaka negeri Amarta ternyata berupa kitab bukan keris, tombak atau pedang. Hal ini setidaknya bertanda bahwa membaca dan menulis (literasi) adalah pekerjaan mulia dan utama. Yang menjadi problem kita adalah, dari berbagai penelitian dan survei menunjukan kemampuan dan kemauan masyarakat Indonesia dalam hal membaca ternyata sangat lemah. Di antaranya kita bisa melihat dari laporan penelitian yang dilakukan oleh Central connecticut State University di New Britain,Conn, Amerika Serikat yang menempatkan Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana ,sebuah negara miskin di Afrika. ( The Jakarta Post, 12 maret 2016). Juga bisa kita baca dari sensus BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2006,menunjukan 85,9 % masyarakat memilih menonton televisi, 40,3% mendengar radio dan hanya 23,5% membaca surat kabar. Dan akhirnya bila kita menengok sejarah, nengutip Nash Hamid Abu Zaid, peradaban Islam adalah peradaban teks. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kemunduran peradaban kita saat ini sangat dimungkinkan karena telah meninggalkan tradisi membaca dan sekaligus menulis. Tentu ini adalah tantangan tersendiri untuk membangkitkan kembali minat dunia baca dan menulis. Perlu waktu luang untuk membaca, merenung dan menulis yang baik secara disiplin. Menulis adalah kemampuan seseorang yang dilatih secara terus menerus. Tradisi membaca dan menulis adalah tradisi kaum intelegensia yang masih tersisa di akhir-akhir jaman sekarang. Tentu kita bukan sebagian orang apatis, yang menolak sekolah sebagai tempat pendidikan terbaik. Maka mari kita galakan tradisi literasi dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat dan mulai dari sekarang dalam upaya membangun peradaba masa depan yang lebih baik. Mantan Ketua PWI-Reformasi Korda Jogjakarta, Aji Setiawan