Kemenperin Punya Teknologi Cerdas untuk Pacu Nilai Tambah Kakao dan Kopi

jjjjj
jjjjj

Kementerian Perindustrian semakin aktif mendorong pengembangan teknologi hilirisasi untuk lebih meningkatkan nilai tambah komoditas di dalam negeri. Contohnya, yang dilakukan oleh Balai Besar Industri Hasil Perkebunan (BBIHP) di Makassar, dengan membuat Showcase Kakao 4.0.

 

“Teknologi pengolahan kakao ini kami rancang sesuai kebutuhan petani. Kami berharap, ke depannya, para petani itu bisa kami dorong menjadi petani produsen. Dengan konsep end-to-end process, dari mulai pascapanen sampai benar-benar menghasilkan produk cokelat,” kata Kepala BBIHP Tirta Wisnu Permana di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (11/2).

 

Wisnu optimistis, melalui upaya strategis tersebut, akan menumbuhkan jumlah wirausaha baru di Tanah Air terutama sektor industri kecil dan menengah (IKM). “Kami harus mendorong petani kita agar bisa meningkatkan nilai tambah komoditasnya. Oleh karena itu, kami bikin teknologi fermentasi,” tuturnya.

 

Menurut Wisnu, teknologi fermentasi konvensional biasanya memakan waktu lima sampai tujuh hari. Tetapi inovasi yang dikembangkan oleh BBIHP bisa memangkas waktu fementasi biji kakao hanya menjadi satu hari. Diharapkan, dengan proses lebih efisien, IKM nasional bisa semakin berdaya saing.

 

“Insya Allah tahun ini akan kami patenkan teknologi smart fermentor ini,” ujarnya. Kemudian, masih dilanjutkan lagi proses hilirnya dengan meningkatkan nilai tambah dari lemak atau pasta kakao menjadi olahan cokelat. “Kami juga sedang coba membuat dark chocolate yang punya nutrisi tinggi dan bermanfaat bagi kesehatan,” imbuhnya.

 

Wisnu menambahkan, pihaknya aktif memberikan edukasi kepada masyarakat, seperti siswa sekolah, mengenai konsumsi cokelat yang baik. “Kami sering mengundang sekolah-sekolah untuk melihat langsung proses pengolahan cokelat hingga menghasilkan produk jadi. Sebab, di lingkungan mereka punya potensi besar dari lahan kakao yang ada,” paparnya.

 

Tidak hanya menyasar kepada peningkatan nilai tambah kakao, BBIHP juga sedang merancang teknologi yang diberi nama Mini Point 4.0 untuk pengolahan kopi dengan kapasitas 15-20 Kg. “Kami lagi membuat anggaran aplikasinya, alat-alatnya, dan mesin roasting-nya,” tandasnya.

 

Sebelumnya, Plt. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Eko S.A. Cahyanto telah melakukan kunjungan kerja di BBIHP Makassar. Dirinya memberikan apresiasi terhadap berbagai terobosan yang telah dilakukan unit kerja di bawah BPPI tersebut.

 

“BBIHP di Makassar ini adalah salah satu unit litbang yang dimiliki oleh Kemenperin di wilayah Timur Indonesia, selain di Manado dan Ambon,” jelasnya. Adapun dua tugas utamanya, yaitu melakukan kegiatan pengembangan produk hasil perkebunan serta memfasilitasi industri dalam bentuk layanan pengujian dan sertifikasi.

 

“Kita tahu sejak lama, bahkan beratus tahun yang lalu, wilayah Sulawesi terutama Sulawesi Selatan ini adalah penghasil komoditas yang sangat dicari atau dibutuhkan oleh pasar dunia, antara lain kakao dan kopi. Dari tempat ini sebagian besar komoditas itu diekspor dalam bentuk mentah,” paparnya.

 

Oleh karena itu, BBIHP fokus terhadap upaya hilirisasi komoditas hasil perkebunan, seperti kakao dan kopi. Melalui peningkatan nilai tambah ini, diyakini dapat memacu perekonomian wilayah setempat hingga nasional.

 

“Kalau kita bergantung pada komoditas yang masih belum diolah itu kan nilai tambahnya sedikit. Per kilo biji kakao itu di sini sekitar Rp20.000. Tetapi kalau kita proses lagi, dengan smart factory ini bisa 10 kali lipat nilai tambahnya, sekitar Rp200.000 atau Rp250.000 per kilogram,” ungkap Eko.

 

Di samping itu, BBIHP Makassar juga memfasilitasi pelaku IKM agar bisa tumbuh dan berkembang. “Jadi, mereka akan punya kemampuan untuk mengolah, memproduksi, mengemas, branding, hingga menjual produknya itu sendiri,” imbuhnya.

 

Bahkan, BBIHP Makassar sedang disiapkan menjadi Halal Center di wilayah Indonesia Timur. “Jadi, bukan hanya melakukan pengujian, tetapi juga akan bisa mensertifikasi jaminan produk halal, terutama porduk makanan,” ujar Eko.

 

Jawab tantangan pasar

 

Masih di Makassar, Kemenperin memiliki Balai Diklat Industri (BDI) Makassar, yang punya tugas untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) industri pengolahan ikan dan rumput laut serta desain kemasan produk pangan. Hal ini guna menjawab kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut.

 

“Oleh karena itu, kami menyelenggarakan Diklat 3 in 1 untuk bisa menjawab tantangan dari pasar saat ini. Mereka inilah yang kami harap bisa menjawab tantangan market, yang kita ketahui bersama sangat dinamis,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kemarin.

 

Pada kesempatan tersebut, Menperin membuka secara langsung Diklat 3 in 1 Aneka Olahan Berbasis Ikan angkatan ke-4, Diklat 3 in 1 Aneka Olahan Berbasis Rumput Laut angkatan ke-1, dan Diklat 3 in 1 Desain Kemasan Produk Pangan angkatan ke-2. Keseluruhan diklat tersebut diikuti sebanyak 150 orang peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.

 

“Ini merupakan salah satu program rutin Kemenperin, terutama dalam hal untuk meningkatkan kualitas SDM industri di Indonesia, yang sejalan dengan program prioritas pemerintah saat ini,” ungkap Agus. Kegiatan diklat tersebut, diselenggarakan mulai tanggal 10 sampai 16 Februari 2020.

 

Dalam kunjungannya itu, Menperin menyempatkan diri melihat langsung workshop pengolahan kakao dan mencicipi cokelat Candy, salah satu produk andalan BDI Makassar. Selanjutnya, Agus mengunjungi workshop aneka olahan, penyajian kopi dan barista, serta workshop pengolahan rumput laut.

 

Saat berinteraksi dengan para peserta diklat, Menperin bertanya kepada para peserta diklat mengenai informasi pelaksanaan diklat dan biaya pelatihan. Para peserta pun mengapresiasi BDI Makassar yang menyebarluaskan informasi pendaftaran diklat secara terbuka serta tidak memungut biaya diklat dari para peserta.

 

Sementara itu, Kepala BDI Makassar C. Elisa M. Katili mengatakan, 150 peserta Diklat 3 In 1 ini berasal dari seluruh Indonesia, selain dari Pulau Sulawesi, ada juga yang berasa dari Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera. “Para peserta ini tidak semuanya sudah bekerja atau memiliki usaha. Karena ada yang mau mengembangkan lagi usaha orang tua atau bangun usaha,” ungkapnya.(AAN)