Isi Lengkap Surat Amicus Curiae dan Tulisan Tangan Megawati

Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. (gemapos/gesuri)
Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. (gemapos/gesuri)

Gemapos.ID (Jakarta) - Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menyampaikan surat Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Bersamaan dengan itu, Megawati juga menyertakan tulisan tangan yang dikirim kepada MK. Surat tersebut disampaikan berkaitan dengan sidang sengketa Pilpres 2024.

Pemberian surat tersebut diwakili oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Syaiful Hidayat.

"Saya Hasto Kristiyanto bersama dengan Mas Djarot Saiful Hidayat ditugaskan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri dengan surat kuasa sebagaimana berikut. Kedatangan saya untuk menyerahkan pendapat sahabat pengadilan dari seorang warga negara Indonesia, yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri sehingga Ibu Mega dalam kapasitas sebagai warga negara Indonesia mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan," kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (16/4/2024).Hasto juga menunjukkan surat tertulis dari Megawati. Berikut isi surat tulisan tangan Megawati ke MK:


Rakyat Indonesia jang tercinta!
Marilah kita berdoa: semoga ketuk palu Mahkamah KONSTITUSI bukan merupakan PALU GODAM melainkan PALU EMAS, seperti kata Ibu Kartini (1911): "HABIS GELAP TERBITLAH TERANG" sehingga FAJAR DEMOKRASI yang telah kita perjuangkan dari dulu TIMBUL kembali dan akan DIINGAT TERUS MENERUS oleh GENERASI BANGSA INDONESIA.

Aamiin ya rabbal alamin!

Hormat Saya

Megawati Soekarnoputri

MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA! 

Kemudian amicus curiae dibuat pada 8 April 2024 itu, diserahkan ke Kantor MK pada Selasa (16/4) oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dan Djarot Saiful Hidayat.
 
Surat yang disampaikan oleh Megawati itu berupa ketikan yang berisi sejumlah pemikirannya sebagai seorang warga negara dan sahabat pengadilan. Dalam kertas yang ditunjukkan oleh Hasto, Megawati juga membubuhkan pesan tambahan dan doa yang ia tulis langsung dengan tinta hitam. Berikut isi lengkap Amicus Curiae dari Megawati:

Jakarta, 8 April 2024

Yang Mulia,

Majelis Hakim Konstitusi Perkara No. 1 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024

di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Jl. Medan Merdeka Barat No. 6

Gambir, Kota Jakarta Pusat

Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110

 

Perihal: PENDAPAT SAHABAT PENGADILAN DARI SEORANG WARGA NEGARA INDONESIA, IDENTITAS DAN KEPENTINGAN SAHABAT

 

Saya, Megawati Soekarnoputri, lahir pada tanggal 23 Januari 1947 dan bertempat tinggal di jalan Teuku Umar No. 27, Menteng, Jakarta Pusat, mengajukan diri sebagai Sahabat Pengadilan. Saya adalah seorang warga negara Indonesia yang memiliki keprihatinan terhadap berlangsungnya proses demokrasi di negeri tempat saya lahir, tumbuh dan berkembang ini. Saya adalah seorang warga negara Indonesia yang juga menaruh perhatian khusus pada Mahkamah Konstitusi (MK), sang anak kandung reformasi.

Saya telah mencurahkan seumur hidup saya untuk menjaga demokrasi di Indonesia. Karenanya, ketika ada upaya nyata yang dilakukan untuk merusak demokrasi di dalam pemilihan umum tahun 2024—dan bahkan kerusakannya sudah terasa—saya tidak bisa berdiam diri.

Sama halnya dengan Mahkamah Konstitusi. Lembaga peradilan ini dibentuk dengan tugas yang sangat berat dan penting, yaitu guna mewakili seluruh rakyat Indonesia dalam mengawal konstitusi dan demokrasi. Karenanya Mahkamah Konstitusi harus bermanfaat bukan bagi perorangan, tapi bagi rakyat, bangsa, dan negara. Dengan tugas penting ini, maka ketika menjalankan tugas sebagai

Presiden Kelima Republik Indonesia untuk membentuk Mahkamah Konstitusi (MK), yang ada dalam benak saya, bagaimana para hakim MK benar-benar diisi oleh sosok negarawan. Sosok kenegarawanan ini muncul apabila seluruh alam pikir dan alam rasa para hakim MK berjuang dengan memegang teguh konstitusi, demokrasi, dan dijauhkan dari kepentingan pribadi atau golongan. Atas sifatnya ini, maka setiap hakim MK tidak hanya memiliki kompetensi dalam hukum tata negara. Lebih daripada itu, setiap hakim MK wajib memahami keseluruhan proses lahirnya konstitusi; memahami seluruh pemikiran para pendiri bangsa dan suasana kebatinan lahirnya UUD NRI 1945.

Selain pertimbangan yang berkaitan dengan proses kelahiran MK, berikut ini saya sampaikan beberapa hal penting:

Dengan memahami lahirnya konstitusi, maka setiap hakim MK wajib menempatkan Pembukaan UUD NRI 1945, pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuhnya, dan penjelasan UUD NRI 1945, serta perubahan melalui Amandemen I hingga V sebagai satu kesatuan pemikiran yang dipahami dengan melihat konteks, suasana kebatinan, latar belakang, dan harapan seluruh rakyat Indonesia.

Dengan mengingat sifat, tugas pokok, fungsi, dan kedudukan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai benteng konstitusi dan demokrasi, saya sengaja mencarikan sendiri lokasi MK. Lokasi gedung MK sebagaimana yang pernah saya sampaikan ke Prof Jimly Asshiddigie, ketua MK saat itu, harus berada di RING SATU, suatu tempat bergengsi dekat dengan ISTANA NEGARA sebagai PUSAT KEKUASAAN. Pemilihan tempat ini sebagai simbol MK agar memiliki marwah, wibawa, dan lambang bagi tegaknya KEADILAN YANG HAKIKI.

Dengan mencermati kuatnya pengaruh politik kekuasaan yang saat ini mencoba menyentuh independensi MK, saya berharap agar MK mampu menghadapi dua ujian besar. Pertama, ujian untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sirna akibat dibacakannya Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Kedua, ujian untuk memeriksa sengketa pemilihan umum presiden dan wakil presiden (pilpres) dalam jangka waktu yang singkat namun mampu menampilkan keadilan yang hakiki sesuai dengan sikap kenegarawanan para hakim MK, mengingat Pemilu memiliki dengan dampak yang sangat luas bagi kehidupan bangsa dan negara.

Ketiga hal di atas saya sampaikan sebagai pencinta pengadilan. Para hakim MK melalui ketiga pertimbangan yang saya sampaikan di atas seharusnya tidak mengabdi kepada kekuasaan, namun mengabdi kepada rakyat Indonesia yang mempunyai HAK KEDAULATAN RAKYAT. Dengan menempatkan hak kedaulatan rakyat tersebut, maka hakim MK juga mengabdi kepada KEADILAN YANG HAKIKI.

Karenanya, saya menuliskan Pendapat Sahabat Pengadilan ini dengan topik “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi”, sebagai sebuah usulan dan bahan renungan bagi hakim Mahkamah Konstitusi.

 

PENDAPAT SAHABAT PENGADILAN

Rakyat Indonesia sedang menunggu dan akan mencatatkan dalam sejarah bangsa, apakah hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengambil keputusan pilpres sesuai dengan hati nurani dan sikap kenegarawanan, ataukah membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of powef) dalam sejarah demokrasi Indonesia?

Di tengah penantian lahirnya keadilan sejati di Mahkamah Konstitusi, perhatian saya tertuju pada sebuah patung Dewi Keadilan.

Patung itu ditaruh di samping meja ruang rapat kediaman saya agar mengingatkan pentingnya keadilan hakiki tanpa balutan kepentingan lain, kecuali keadilan itu sendiri.

Patung Dewi Keadilan yang saya beli ketika berada di Amerika Serikat itu mengandung beberapa pesan kuat.

Pertama, mata Dewi Keadilan tertutup kain. Mata tertutup menghadirkan ”keadaan gelap” agar tak tersilaukan oleh apa yang dilihat mata. Dengan mata tertutup itu, terjadi dialog dengan hati nuraninya dalam memutuskan perkara dengan tidak membedakan siapa yang berbuat.

Kedua, timbangan keadilan sebagai cermin keadilan substantif. Ketiga, pedang yang diturunkan ke bawah menegaskan bahwa hukum bukanlah alat membunuh, tetapi didasarkan pada norma, etika, kesadaran hukum, dan tertib hukum serta keteladanan para aparat penegak hukum.

Alangkah indahnya Dewi Keadilan!

Bagi bangsa Indonesia, pentingnya keadilan dalam seluruh kehidupan bernegara tecermin dalam Pancasila. Sebab Pancasila lahir sebagai jawaban atas praktik hidup eksploitatif akibat kolonialisme dan imperialisme.

Pancasila merupakan falsafah pembebasan yang terlahir dari dialog kritis antara Bung Karno dan Pak Marhaen. Dari situlah gagasan keadilan itu ditempatkan secara ideologis.

Keadilan dalam perspektif ideologis harus dijabarkan ke dalam supremasi hukum. Budaya hukum, tertib hukum, institusionalisasi lembaga penegak hukum, dan keteladanan aparat penegak hukum menjadi satu kesatuan supremasi hukum.

Sumpah presiden dan hakim Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari supremasi hukum. Namun, bagi hakim Mahkamah Konstitusi, sumpah dan tanggung jawabnya lebih mendalam dari sumpah presiden.

Karena itulah persyaratan menjadi hakim Mahkamah Konstitusi juga lebih berat, yakni tidak hanya menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga ditambahkan syarat lainnya, yakni memiliki sikap kenegarawanan.

Dengan sikap kenegarawanan tersebut, hakim Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab terhadap terciptanya keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama.

Dengan tanggung jawab ini, keputusan hakim Mahkamah Konstitusi atas sengketa pilpres sangat ditunggu rakyat Indonesia, apakah keadilan substantif dapat benar-benar ditegakkan, atau sebaliknya semakin terseret ke dalam pusaran tarik-menarik kepentingan kekuasaan politik?

 

Etika Presiden

Budayawan dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno menyampaikan bahwa ada unsur-unsur yang merupakan pelanggaran etika serius dalam pelaksanaan Pilpres 2024.

Etika merupakan ajaran dan keyakinan tentang baik dan tidak baik sebagai cermin dari kualitas manusia sebagai manusia. Tuntutan dasar terhadap pentingnya etika dituangkan dalam ketentuan hukum dan hal tersebut berlangsung terus dalam sejarah peradaban umat manusia. Tidak memperhatikan hukum yang berlaku sama saja dengan pelanggaran etika.

Tanggung jawab penguasa seperti presiden terhadap etika sangatlah penting. Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar. Karena itulah penguasa eksekutif tertinggi tersebut dituntut standar dan tanggung jawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta.

Dalam tanggung jawab presiden itu, maka persoalan berkaitan dengan keselamatan seluruh bangsa dan negara berada di pundak presiden. Presiden berdiri untuk semua. Segala kesan yang menunjukkan bahwa presiden memperjuangkan kepentingan sendiri atau keluarganya adalah fatal. Sebab presiden adalah milik semua rakyat Indonesia.

Apa yang disampaikan Franz Magnis-Suseno menjadi landasan etis bagi hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengurai seluruh akar persoalan pilpres yang berangkat dari nepotisme dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Presiden.

Menempatkan etika dalam setiap keputusan Mahkamah Konstitusi sangatlah penting. Sebab, Mahkamah Konstitusi hadir sebagai benteng keadilan terakhir dalam penyelesaian sengketa pilpres atau pemilihan umum.

Keputusan hakim Mahkamah Konstitusi akan menjadi indikator terpenting, apakah demokrasi yang berkedaulatan rakyat tetap eksis atau justru perlombaan penyalahgunaan kekuasaan akan menjadi model kecurangan dan bisa direplikasi dalam pemilihan kepala daerah serentak hingga pemilihan umum yang akan datang.

 

Apa dan siapa yang salah?

Temuan terjadinya penurunan kualitas demokrasi Indonesia telah berulang kali dikaji para peneliti.

Indeks demokrasi Indonesia, menurut data Freedom House, terus menunjukkan penurunan. Demikian juga menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat tflawed democracy) berada pada peringkat ke-54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

Dengan mencermati pelbagai laporan tersebut, kemampuan Mahkamah Konstitusi di dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum tentu menjadi tolok ukur bagi peningkatan kualitas demokrasi. Sebab, kecurangan tanpa efek jera akan semakin mematikan demokrasi.

Agar sumber kecurangan tersebut dapat diungkap, hakim Mahkamah Konstitusi dapat membedah sumber kegaduhan dalam kecurangan pilpres. Kecurangan pemilihan umum sendiri tidak berlangsung tiba-tiba. Ia lahir melalui serangkaian evolusi kecurangan.

Dalil awal, pilpres dilakukan secara langsung untuk menihilkan kecurangan. Akan tetapi, kecurangan bisa terjadi di tengah lima indikator besar, yaitu: (1) proses pemilihan umum dan pluralisme politik, (2) tata kelola pemerintahan, (3) tingkat partisipasi politik masyarakat, (4) budaya politik, dan (5) kebebasan sipil.

 

Kompleksitas Pemilihan Umum

Kesemuanya diawali dari Pemilihan Umum 1971 ketika aparatur negara, khususnya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, digunakan sebagai alat elektoral dan alat represif dengan sumber daya negara yang relatif tidak terbatas.

Pertautan kepentingan geopolitik global terhadap pemilihan umum terjadi pada pemilihan umum tahun 1999, 2004, dan semakin menguat pada tahun 2024.

Politik bantuan sosial diterapkan secara masif pada tahun 2009 seiring dengan meningkatkan populisme. Sementara penggunaan aparat penegak hukum, termasuk Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, dipraktikkan pada Pemilihan Umum Tahun 2009 dan 2019.

Efektivitas penggunaan instrumen hukum semakin sempurna di Pemilihan Umum 2019 ketika jabatan Jaksa Agung Republik Indonesia disalahgunakan bagi kepentingan elektoral.

Mengapa evolusi kecurangan terjadi, bahkan semakin bersifat akumulatif? Sebab belum pernah tercipta efek jera sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dengan skandal Watergate yang memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.

Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Ditambah motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan Presiden. Nepotisme ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem pemilihan umum ketika Presiden masih menjabat dan ada kepentingan subyektif bagi kerabatnya.

Lalu, pertanyaan kritis kita: apa dan siapa yang salah?

Dengan tegas saya menjawab sendiri, bukan sistem hukum Indonesia yang salah. Pelaksanaan hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin itulah yang salah. Kondisi ini terjadi akibat etika dan moral dijauhkan dari praktik hukum. Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan.

Sikap kenegarawanan yang dimiliki hakim Mahkamah Konstitusi masuk dalam dimensi tanggung jawab bagi pemulihan etika dan moral itu. Tanpanya, Mahkamah Konstitusi hanya menjadi jalan pembenaran bagi sengketa pemilihan umum yang orientasinya hanya pada hasil, tanpa melihat secara jernih bagaimana proses pemilihan umum dan keseluruhan input dari proses pemilihan umum.

Hasil pemilihan umum ternyata bisa berubah akibat penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan adanya voting behaviouryang dipengaruhi besarnya belanja sosial {social expenditures), seperti bantuan langsung tunai, pembagian beras miskin, dan bantuan sosial lainnya.

 

Pedoman Kebenaran

Keputusan hukum Mahkamah Konstitusi memiliki makna demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya tidak hanya secara transenden, tanggung jawab langsung kepada Sang Pencipta. Kekuatan transenden ini seharusnya dapat memperkuat posisi hakim Mahkamah Konstitusi mengambil terobosan hukum berdasarkan keadilan sebagai sifat hakiki Tuhan.

Karena itulah, hakim Mahkamah Konstitusi tidak hanya bertanggung jawab sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi, tetapi juga memiliki legalitas dan legitimasi agar keadilan benar-benar menemukan bentuknya, terlebih ketika berhadapan dengan tembok kekuasaan.

Lalu, selain konstitusi, apa pedoman lain yang bisa memunculkan sikap kenegarawanan?

Saya mencoba meramu dari pengalaman hidup saya yang sangat lengkap, baik sebagai anak presiden; menjadi rakyat biasa akibat peristiwa politik 1965; menjadi ibu rumah tangga; maupun memenuhi tanggung jawab sejarah sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, wakil presiden, presiden, dan kembali lagi memenuhi kodrat makna hidup ”Cakra Manggilingan” (roda kehidupan yang berputar).

Saya sungguh beruntung dapat berdialog langsung dengan Bung Karno, Bung Hatta, KH Agus Salim, Jenderal Achmad Yani dan para jenderal Pahlawan Revolusi yang lain; juga Pak Hoegeng sahabat saya; serta orang-orang pintar berhati nurani yang dipunyai oleh Republik Indonesia waktu itu dan para tokoh bangsa lainnya.

Dari situlah saya berkontemplasi, dan hasilnya menjadi pedoman kebenaran yang saya rekomendasikan kepada hakim Mahkamah Konstitusi.

Pertama, kebenaran tetaplah kebenaran. Ia tidak bisa dimanipulasi, sebab ia menjadi hakikat. Kedua, kebenaran dalam pengambilan keputusan muncul dari pikiran dan nurani yang jernih. Jernih seperti air. Air jernih adalah pikiran dalam alam kebenaran.

Ketiga, qana’ah, merasa cukup terhadap apa yang ada. Ketika konstitusi membatasi jabatan masa presiden dua periode, itulah kebenaran yang harus ditaati, tidak bisa diperpanjang, baik secara langsung maupun tak langsung.

Keempat, dalam bahasa Rusia disebut utrenja, yang artinya fajar. Tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur.

Dengan empat pedoman sederhana di atas, setiap pemimpin, termasuk hakim Mahkamah Konstitusi, dapat mengasah hati nurani dan budi pekertinya agar setiap tindakan dan keputusan politiknya selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Oleh karena itulah, belajar dari putusan Nomor 90/PUU-XI/2023 di Mahkamah Konstitusi yang sangat kontroversial, saya mendorong dengan segala hormat kepada hakim Mahkamah Konstitusi agar sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut.

Ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara.

Tentu sebagai anak bangsa, saya berdoa semoga dengan izin Allah SWT, kita pun rakyat Indonesia akan melihat cahaya terang demokrasi ketika „Sembilan Dewa” di Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan yang berkeadilan, berwibawa, dan terutama dengan hati nuraninya.

Ingat, nama-nama para hakim Mahkamah Konstitusi akan tertulis dalam sejarah Republik Indonesia, baik maupun buruk. Semoga!!

Rakyat Indonesia, terutama yang mempunyai hati nurani, harus mendukung pengadilan Mahkamah Konstitusi ini sebagai upaya berkeadilan secara hukum. Semua pemikiran dan pendapat di atas, saya suarakan sebagai bagian dari Amicus Curiae, atau Sahabat Pengadilan. Merdeka!

 

PENUTUP

Pendapat Sahabat Pengadilan ini saya sampaikan dengan penuh itikad baik sebagai tambahan informasi bagi hakim Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 Nomor 1 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024. Saya memahami beratnya tanggung jawab para hakim MK di dalam menyelesaikan sengketa Pemilu tersebut dengan keadilan yang hakiki. Apa yang akan diputuskan oleh para hakim MK sangat mempengaruhi masa depan bangsa yang saat ini sedang dihadapkan pada berbagai persoalan pokok antara lain: rendahnya supremasi hukum; nepotisme, kolusi, dan korupsi yang semakin masif; pelemahan nilai tukar rupiah ke level yang mengkhawatirkan; beban utang luar negeri yang begitu besar; kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat; kohesi sosial yang semakin merosot; berbagai dampak akibat pertarungan geopolitik global; dan serta rendahnya keteladanan para pemimpin.

Dengan berbagai persoalan tersebut, Indonesia memerlukan pemimpin yang mumpuni; sosok pemimpin dengan rekam jejak pengalaman yang lengkap; berkarakter yang baik; memiliki kemampuan profesional; dan juga kepemimpinan yang menyatukan serta membawa kemajuan bagi bangsa dan negara.

Karena itulah keputusan para hakim MK yang mengadili sengketa Pilpres tersebut, yakni Dr. Suhartoyo, S.H., M.H, Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., Prof Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum., Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H., Dr. Ridwan Mansyur, S.H., De. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, S.H., M.H., dan Dr. H. Arsul Sani, S.H., M. Si, Pr.M., akan dicatat dalam sejarah bangsa. Keputusan Yang Mulia Para Hakim MK tersebut tanggung jawabnya tidak hanya diukur ketika keputusan tersebut diambil, namun tanggung jawabnya juga berkaitan dengan kelangsungan bangsa dan negara ke depan. Karena itulah tidak berlebihan dikatakan, bahwa baik buruknya kepemimpinan negara, dan maju tidaknya bangsa dan negara Indonesia ke depan, sangat ditentukan oleh keputusan para hakim MK.

Saya berharap agar hakim Mahkamah Konstitusi dapat melihat permasalahan yang ada dengan jubah negarawan.

Hormat saya,

Megawati Soekarnoputri (ns)