Ambang Batas Parlemen: Pro-Kontra dan Sulitnya Partai Baru Masuk Senayan

ilustrasi (gemapos)
ilustrasi (gemapos)

Mahkamah Konstitusi atau MK akhirnya memutuskan menghapus ketentuan ambang batas parlemen atau Parliamentary Trheshold sebesar 4 persen suara sah nasional, karena dinilai tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Pada keputusan MK itu adalah untuk memerintahkan pembentuk undang-undang mengubah ketentuan ambang batas parlemen tersebut melalui revisi UU Pemilu. Keputusan tersebut diambil dalam rangka mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang menyoal tentang penerapan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional sebagai dasar untuk menentukan perolehan kursi di parlemen. Perludem menilai ketentuan ambang batas tersebut telah menyebabkan hilangnya suara rakyat atau besarnya suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR. Akan tetapi, penghapusan ambang batas parlemen 4 persen baru bisa diterapkan pada Pemilu 2029 nanti. Artinya, ambang batas 4 persen masih berlaku di Pemilu 2024.

Keputusan MK ini tentu saja tidak lepas dari pro dan kontra dari berbagai pihak. Sebagian kalangan menilai putusan itu tepat, sebagian lainnya keberatan karena menganggap penentuan angka ambang batas parlemen merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Salah satu pihak yang mengungkapkan keberatannya yakni anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komarudin Watubun. Menurutnya, ambang batas parlemen merupakan kewenangan institusi pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. Dirinya juga menyebut bahwa gugatan terkait ambang batas parlemen pernah diajukan, namun berujung ditolak.

Selain Komarudin, Elite Partai Nasdem melalui Bendahara Umum DPP Ahmad Sahroni menyindir keras keputusan MK. Dia menyebut MK saat ini over confindent karena bersikap semaunya dengan tak melihat lembaga negara lainnya seperti DPR. Pendapatnya mirip dengan Komarudin yang menilai bahwa kewenangan terkait hal tersebut ada di DPR.

Selain pihak yang merasa keberatan, terdapat juga beberapa pihak yang menyatakan mendukung keputusan tersebut. Dimana, rata pihak ini menilai ini sebagai langkah untuk menyederhanakan partai politik. Selain itu, pengurangan atau bahkan penghapusan ambang batas parlemen ini dinilai menjadi jalan untuk tidak lagi menyia-nyiakan suara rakyat yang cukup tinggi yang memilih suatu parpol tapi tidak masuk ke parlemen. Begitupun beberapa kejadian dimana calon tertentu dengan suara cukup tinggi akhrinya tidak terpilih hanya karena partainya tidak lolos ambang batas parlemen.

Berdasarkan hitungan Perludem, pada Pemilu 2009, terdapat sekitar 104 juta suara sah nasional yang masuk dan hanya sekitar 85 juta suara yang terkonversi menjadi kursi. Artinya, ada sekitar 19 juta suara masuk yang tidak terkonversi menjadi kursi atau sekitar 18 persen suara yang terbuang. Kemudian pada Pemilu 2014, terdapat 124 juta suara yang masuk. Dimana, 121 juta suara terkonversi menjadi kursi parlemen. Ini berrarti terdapat sekitar 3 juta atau 2,4 persen suara yang terbuang. Kemudian pada Pemilu 2019, yang meloloskan sembilan dari 16 partai terdapat 139 juta suara sah nasional yang masuk. Namun hanya sekitar 126 juta suara saja yang terkonversi menjadi kursi di parlemen. Artinya, ada sekitar 13 juta suara yang terbuang atau hampir 10 persen dari total suara sah nasional yang masuk. Fenomena ini kembali membuktikan bahwa peningkatan wasted votes terjadi ketika ada gap yang tinggi pula antara partai peserta pemilu dibandingkan partai yang lolos ambang batas parlemen.

Merujuk catatan Kompas, angka ambang batas parlemen sudah beberapa kali berubah. Penentuan angka parliamentary threshold saat pembahasan revisi UU Pemilu pun selalu berlangsung alot. Sebab, tiap-tiap fraksi di DPR selalu berkukuh dengan usulan angka ambang batas yang mereka ajukan.

Pada pemilu pertama pascareformasi, yakni Pemilu 1999, ambang batas parlemen ditetapkan sebesar 2,5 persen. Ambang batas parlemen naik menjadi 3 persen pada Pemilu 2004, dan kembali turun menjadi 2,5 persen di Pemilu 2009. Kemudian pada Pemilu 2014 ambang batas parlemen naik menjadi 3,5 persen dan Pemilu 2019 menjadi 4 persen.

Jika kita melihat kebelakang, dan merujuk pada data sementara KPU hari ini, maka dalam empat pemilu terakhir, berturut-turut hanya pernah ada tiga partai nonparlemen yang mampu memenuhi ambang batas parlemen berstatus pendatang baru.

Selebihnya, tidak terjadi perubahan komposisi partai parlemen yang signifikan. Jika dijumlahkan, dalam empat pemilu terakhir, setidaknya ada 35 partai yang menjadi peserta pemilu, tetapi tidak berhasil meraih suara melebihi ambang batas parlemen. Dari jumlah tersebut, ada partai yang hanya sekali ikut pemilu, tetapi ada sebagian kecil yang selalu terdaftar sebagai peserta pemilu.

Fenomena partai baru yang berhasil menembus ambang batas parlemen terjadi pada Pemilu 2009 dan 2014. Pada Pemilu 2009, dengan ambang batas 2,5 persen, terdapat dua partai baru yang berhasil menembus ambang batas, yakni Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Gerindra meraup 4,46 persen suara yang terkonversi menjadi 26 kursi. Sementara Hanura mendapatkan 3,77 persen yang terkonversi menjadi 17 kursi.

Berikutnya, pada Pemilu 2014, Partai Nasdem yang baru pertama kali ikut sebagai peserta pemilu kala itu mendapat suara sebesar 6,74 persen. Dengan ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen saat itu, Nasdem berhasil ikut dalam penghitungan kursi dan mendapatkan jatah 35 kursi atau 6,25 persen dari total kursi di DPR.

Selain ketiga partai di atas, belum ada partai peserta pemilu berstatus partai baru yang mampu menembus kursi DPR semenjak diberlakukan aturan parliamentary threshold. Tidak bertambah, sebaliknya satu dari tiga partai di atas akhirnya malah terlempar.

Setelah bertahan sebagai partai parlemen pada tahun 2009 dan 2014, Hanura tak mampu mempertahankan posisinya. Tahun 2019, perolehan suara Hanura tergerus menjadi 1,54 persen. Akibatnya, Hanura tidak ikut serta dalam penghitungan jatah kursi di parlemen.

Meski demikian, terlepas dari bongkar pasang yang terjadi dalam fenomena Gerindra, Nasdem, dan Hanura di parlemen, tidak ada perubahan komposisi partai parlemen yang signifikan dalam empat pemilu terakhir atau 15 tahun terakhir.

Jika melihat data sementara perhitungan rekapitulsi suara pemilu 2024 di laman resmi KPU per tanggal 5 Maret 2024, maka hanya 9 partai dari 18 partai peserta pemilu yang lolos dan dari ambang batas parlemen 4 persen. Menariknya, komposisi partai yang lolos masih sama seperti tahun 2019. Dan kembali menegaskan belum ada partai non parlemen apalagi partai baru yang sukses menembus ambang batas parlemen.

Fenomena ambang batas parlemen ini menunjukan bahwa kemungkinan untuk partai baru dan nonparlemen lolos cukup berat. minimnya jumlah parpol baru yang mampu mengonsolidasikan kekuatan politik dan mengubahnya menjadi suara untuk memenuhi ambang batas parlemen menunjukkan bahwa melewati parliamentary threshold jika mengutip Kompas.id, bagaikan melewati lubang jarum bagi partai baru. Apalagi, sejak pertama kali ambang batas parlemen diterapkan, terjadi kenaikan persentase dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.

Sejatinya, banyak yang menyebut Indonesia tetap memerlukan ambang batas sebagai sebuah seleksi. Akan tetatpi angka yang diputuskan harus tetap mencegah besarnya jumlah suara sah yang tidak dapat dikonversi menjadi DPR. Rumusan batasan ambang batas Parlemen harus dilakukan secara terukur dan proporsional serta penentuan besar atau kecilnya ambang batas harus memiliki kalkulasi yang jelas. Hal ini penting karena banyaknya suara sah yang terbuang jika dikumpulkan dari berbagai partai yang tidak lolos ke parlemen.

Atau jika memang terdapat opsi atau pilihan aturan yang lain tetap harus menimbang kebutuhan dan dapa mengakomodir semua pihak, bukan semata hanya kepentingan politik. Apalagi hanya sebagai upaya menjegal kebaruan masuk ke Senayan. (ns)