Media Sosial Pemilu 2024: Antara Pendorong dan Ancaman

I Gede Yuda Pratama, Ketua Biro Data dan Informasi PD KMHDI NTB. (foto:gemapos/dok.pribadi)
I Gede Yuda Pratama, Ketua Biro Data dan Informasi PD KMHDI NTB. (foto:gemapos/dok.pribadi)

Tahun 2024 menjadi tahun yang dipenuhi dengan antusiasme dan ketegangan politik di berbagai penjuru dunia, di mana 64 negara, termasuk Indonesia, akan menggelar pemilihan umum nasional. Di tengah dinamika politik ini, peran media sosial semakin terasa signifikan, membawa tantangan serta peluang bagi demokrasi dan proses pemilihan itu sendiri.

Pada satu sisi, penggunaan media sosial telah menjadi pendorong penting dalam memperluas akses informasi politik, meningkatkan partisipasi politik, dan memperluas jangkauan pesan politik. Data yang disampaikan oleh reportal pada tahun 2023 menunjukkan bahwa penggunaan media sosial di Indonesia telah melonjak pesat, dengan lebih dari 79,5% dari total populasi di atas usia 18 tahun aktif menggunakan platform-platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga merayap ke negara-negara lain di seluruh dunia.

Pada pemilu 2024, media sosial memainkan peran kunci dalam menyebarkan informasi politik dengan cepat dan luas, serta menjadi sarana utama bagi kampanye politik. Interaksi antara kandidat dan pemilih semakin intens melalui platform-platform ini, dan partisipasi politik khususnya di kalangan generasi muda semakin meningkat berkat keberadaan media sosial.

Namun, di balik potensi positifnya, media sosial juga membawa tantangan serius bagi proses demokrasi. Penyebaran informasi palsu, polarisasi opini, dan manipulasi menjadi ancaman yang perlu dihadapi. Kampanye hitam dan serangan pribadi terhadap kandidat dapat dengan mudah menyebar melalui platform-platform tersebut, mengganggu integritas pemilihan dan merusak citra kandidat. Algoritma platform juga cenderung memperkuat polarisasi dengan mengekspos pengguna pada pandangan serupa, memperburuk ketegangan politik.

Selain itu, kurangnya literasi digital dan pemahaman etika dalam bermedia sosial dapat memperburuk situasi ini. Pengguna sering kali tidak mampu membedakan informasi yang valid dengan hoaks atau konten yang bersifat emosional daripada informatif. Hal ini dapat mempengaruhi pemahaman dan pandangan mereka terhadap pemilu dan calon yang bersangkutan.

Dalam menghadapi kompleksitas ini, dibutuhkan upaya bersama dari semua pihak. Penguatan literasi digital dan pemahaman etika dalam bermedia sosial perlu ditingkatkan, baik oleh pemerintah, lembaga pendidikan, maupun masyarakat secara keseluruhan. Lebih dari itu, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap penyebaran informasi di media sosial, serta transparansi dari platform-platform tersebut dalam menangani konten politik.

Tahun 2024 bukan hanya menjadi ujian bagi demokrasi, tetapi juga menjadi momentum bagi kita semua untuk merenung dan bertindak secara bijak dalam menghadapi dinamika politik yang diwarnai oleh media sosial. Dengan langkah-langkah yang tepat, media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk memperkuat demokrasi, bukan sekadar ancaman bagi proses pemilihan.

I Gede Yuda Pratama, Ketua Biro Data dan Informasi PD KMHDI NTB