Mengontrak Bagi Hasil Potensi Kelautan Indonesia
- China sebesar US$22,8 miliar
- Norwegia sebesar US$ 11, 7 miliar
- Vietnam sebesar US$ 7,7 miliar
- India sebesar US$ 7,6 miliar
- Chile sebesar US$ 6,3 miyar
- Thailand US$ 6 miliar
- Amerika Serikat US$5,9 miliar
- Kanada US$5,4 miliar
Wilayah perairan laut Indonesia merupakan salah satu wilayah yang paling kaya biota lautnya di dunia, terutama ikan, ironisnya belum masuk ke dalam daftar tersebut. Negara ini juga belum sampai pada keadaan yang dikatakan Raleigh atau Manahan, mengapa ya? Betul kata Jokowi,”Kita selama ini memunggungi laut.” Kita selama ini asyik-masyuk dengan mengeksploitasi daratan habis-habisan. Tambang, kebun, pertanian, industri kehutanan, manufaktur, perdagangan, infastruktur, dan properti “tumplek blek” di daratan konon hanya sepertiga dari luasan wilayah territorial negara Indonesia, sementara 2/3 wilayah Indonesia masih ditelantarkan. Menurut ahli kelautan, potensi kekayaan kelautan dan perikanan ini sangat besar (konon bisa mencapai Rp2.800 triliun/ tahun), tetapi saat ini dari data Kementerian Keuangan (Kemenkeu_ pada 2017 ternyata baru bisa memberikan sumbangan penerimaan negara sebesar Rp1,08 triliun. Sementara itu penerimaan negara dari minyak dan gas (migas) cenderung mengalami declining pada 2018 sebesar Rp228 triliun. Angka ini terdiri atas Rp163,4 triliun atau 72% adalah Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sedangkan Rp64,7 triliun atau 28% adalah Pajak Penghasilan (PPh). Berangkat dari fakta itu tidak ada salahnya bila potensi kelautan kita bisa dikelola dengan skema Production Sharing Contract/PSC (Kontrak Kerja Sama/Bagi Hasil) seperti yang diterapkan dalam Tata Kelola Kekayaan Alam Minyak dan Gas Bumi. PSC adalah sebuah skema asli Indonesia dengan kearifan lokal Nusantara yang digagas oleh Bapak Pendiri Republik Indonesia, Bung Karno. Hal ini diterjemahkan dan dipraktekan oleh Ibnu Sutowo yang diikuti oleh negara-negara lain di dunia. Suatu prinsip dalam PSC adalah sumber kekayaan alam tetap dalam kepemilikan (penguasan) negara dengan melibatkan insitusi bisnis sebagai kontraktor negara. Jadi, ini menjalankan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selanjutnya, pengelolaan laut dengan konsep PSC tidak merugikan nelayan tradisional, karena ini hanya memberlakukan di zona-zona tangkapan ikan yakni ZEE yang tidak mampu dijangkau oleh kapal-kapal nelayan tradisional yang rata-rata berukuran di bawah 30 Gross Ton. Kita tidak berdosa kepada Djuanda dan Mochtar Kusuma Atmadja yang bersusah payah memperjuangkan klaim teritori sebagai negara kepulauan dan batas kontinen. Andai saja konsep ini dijalankan niscaya kehebohan di Natuna Utara, maka ini bisa menghindari konflik dengan China. (Didik Sasono Setyadi merupakan seorang pengamat kelautan)