ODGJ Belum Dapat Pengobatan yang Baik Sepenuhnya

Forum Diskusi Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (MLTL) Seri 14 yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL)  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Selasa (19/12). (foto:gemapos/BRIN)
Forum Diskusi Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (MLTL) Seri 14 yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Selasa (19/12). (foto:gemapos/BRIN)

Gemapos.ID (Jakarta) -  Hampir satu dari empat orang pernah mengalami gangguan jiwa. Sedangkan empat dari lima orang dengan gangguan jiwa di negara berkembang tidak menerima pengobatan. Kondisi ini sangat miris sebab mereka tidak mendapatkan pengobatan yang baik, hingga akhirnya tidak tertangani dengan baik.

Fenomena penelitian ini diungkap oleh Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, Bagus Surya Kusumadewa dalam Forum Diskusi Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (MLTL) Seri 14 yang diselenggarakan oleh Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan (PR MLTL)  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Selasa (19/12).

“Dari penelitian tersebut terungkap bahwa setiap 40 detik, seseorang melakukan tindakan bunuh diri.  Selain itu, menurut WHO pada tahun 2022 ada 300 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan jiwa seperti depresi, bipolar, dan demensia. Di mana di antaranya 23 juta orang menderita skizofrenia yaitu penyakit gangguan jiwa yang berat,” kata Bagus seperti dikutip gemapos, Kamis (21/12/2023).

Menurutnya dari sudut pandang medis tentang deteksi dini dan penanganan gangguan jiwa, menyangkut kesehatan secara keseluruhan baik kesehatan fisik maupun mental, sangat besar sekali permasalahannya saat ini di Indonesia bahkan dunia. Dijelaskannya, Indonesia sudah meningkatkan kewaspadaan bahkan mengutamakan kesehatan jiwa.

Lalu Bagus menyebutkan, ada tiga faktor penyebab gangguan jiwa, yaitu faktor biologis, psikologis, dan  sosial. Faktor biologis di sini adalah genetik, misalnya penyakit otak contohnya tumor otak atau infeksi ke otak, juga cedera kepala karena kecelakaan.

Contoh lainnya seperti halnya orang yang terlalu lama menderita penyakit seperti HIV AIDS, kanker, tekanan darah tinggi, gangguan ginjal, gangguan jantung, juga pengguna narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya.

Adapun faktor psikologis yakni dampak pola asuh atau trauma masa lalu seperti perundungan dan juga memang kepribadian dari pasien tersebut. Sedangkan faktor sosial yang menyebabkan gangguan jiwa karena budaya. 

Ia menguraikan penanganan untuk ketiga faktor tersebut. Orang dengan gangguan jiwa, baginya, tidak hanya diberi obat saja, tetapi mereka butuh hal lain secara biologi, seperti pengobatan dengan alat canggih. Contohnya terapi elektrokonvulsif (ECT) atau disebut terapi kejut listrik.

Ada juga transcranial magnetik stimulation (TMS), sebagai teknik pengobatan luar tubuh yang merangsang syaraf-syaraf dalam otak. Sedangkan terapi psikologis yang diberikan berupa konseling, psikoterapi, dan terapi keluarga dengan menghadirkan kontribusi keluarga, sahabat, dan sebagainya. Untuk terapi sosial yang diberikan berupa dukungan grup, juga terapi kerja.

”Terapi spiritual ini juga wajib dilakukan karena tidak bisa hanya dengan obat-obatan tetapi dukungan dari lingkungan juga diperlukan!,” tegasnya. 

Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara dalam sambutannya menjelaskan, diskusi masalah kesehatan jiwa kali ini sangat terkait dengan sumber-sumber rupa dari manuskrip. Artinya, hal itu juga terkait catatan-catatan masa lampau literatur dan tradisi lisan.

Herry memberi contoh tentang pengalaman perjalanannya di daerah bencana dengan menemui orang – orang yang punya persoalan dengan kesehatan jiwa. Menurutnya, akibat bencana, mereka kehilangan seluruh yang mereka miliki baik harta maupun jiwa sehingga berdampak pada psikologis mereka.

”Hal ini perlu mendapat perhatian ekologis baik untuk korban-korban maupun para penyintasnya,” ujar Herry.

Herry menambahkan, dengan adanya kegiatan tersebut, juga ada beberapa skema riset yang memungkinkan bisa dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya, termasuk kolaborasi riset, sebagaimana contoh dari sisi kelembagaan. Ia juga menambahkan, bentuk kerja samanya nanti bisa dipayungi dengan naskah kerja sama dua pihak atau multi pihak.

Peneliti BRIN I Wayan Nitayadya dalam paparannya menyampaikan informasi di dalam teks tertulis yang tertuang dalam Naskah Usada Bali. Ia menjelaskan, Usada adalah pustaka yang memuat informasi pengetahuan tentang penanganan kesehatan. Salah satunya adalah pengobatan kejiwaan.

Lantas ia menjelaskan sistem pengobatan kejiwaan dalam naskah usada  Bali yang meliputi jenis penyakit kejiwaan, bahan obat yang digunakan, cara meramu  obat, juga cara pengobatan dan tata ritualnya.

”Dalam pengobatan penyakit kejiwaan Usaha Buduh, ada 20 jenis penyakit gangguan kejiwaan,” ungkap Wayan.

Beberapa di antaranya orang gila dengan ciri bernyanyi dan menyebut nama dewa, menangis siang malam sambil menyebut nama seseorang, suka pergi ke sana kemari, suka tertawa dan melucu, suka bermain tinja, suka berkata aneh, dan sebagainya.

Dari jenis penyakit kejiwaan tersebut, dijelaskannya, ketika jiwa dan badan tidak seimbang, maka perlu pengkajian lebih lanjut untuk penanganan pengobatannya, tergantung ciri-ciri penyakit kejiwaannya dan masuk di kategori jenis penyakit mana. 

Sementara, Ketua Battra Supranatural Nusantara Pujo Jatmiko memaparkan tema “Khazanah Pengobatan Penyakit Kejiwaan dengan Perspektif Tradisi Lisan dan Pengobatan Tradisional”. Sebagai praktisi supranatural, Pujo mengaitkan pengobatan gangguan jiwa dengan terapi spiritual. Terapi ini dengan menyentuh jiwa dari orang yang sakit tersebut, yang menurut Pujo biasanya dengan menghipnotis.

Menurut pandangan Pujo, meskipun orang tersebut sakit tetapi dia masih mempunyai jiwa. ”Jiwa atau roh manusia yang ada di tubuh yang menyebabkan manusia hidup dan bernyawa. Jiwa juga diartikan sebagai seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan, dan sebagainya,” terangnya.

Pujo berpendapat, ketika orang sakit jiwa, sebenarnya dari awal bisa dicegah. Ia menjelaskan, kekuatan seseorang terletak dari hati bukan pikiran. Sementara, kekuatan dari pikiran hanya diperlukan komunikasi dua arah. Namun karena minimnya informasi pada masyarakat, maka gangguan jiwa tidak terelakkan. 

Dari sisi supranatural, Pujo memberi contoh ilmu gendam. Ia mengungkapkan, sebenarnya ilmu tersebut sangat bagus hanya saja syaratnya tidak boleh untuk kesombongan dan dipamerkan, karena kekuatannya di hati yang didasari kekuatan dari Tuhan.

Ilmu tersebut, baginya, jika diterapkan untuk pengobatan pasien, dengan melaksanakan kegiatan apapun dengan perasaan senang dan hati yang kuat, maka hasilnya akan maksimal.

“Solusinya untuk pengobatan penyakit jiwa yaitu melakukan pendekatan dari hati dengan tetap meminta kepada pencipta jiwa ini untuk membantu proses penyembuhan,” tuturnya.

Pujo lantas menekankan, bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Hal itu dengan mendeteksi secara dini saat mulai adanya gejala penyakit kejiwaan dan bagaimana upaya pencegahan yang harus dilakukan. Di mana hal itu banyak sekali kesinambungannya. 

”Jadi mengapa orang sakit jiwa, apakah karena gangguan ekonomi, atau yang lainnya? Di sini perlu komunikasi positif dan terbuka dari semua pihak dan pentingnya penyampaian informasi yang benar dan tepat tentang kejiwaan pada masyarakat. Lalu yang penting lagi yaitu berdoa, meditasi, dan pasrah,” tegas Pujo menutup paparan. (rk/*)