Refleksi Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi oleh Ketua KPK

Ilustrasi-Gedung KPK. (foto:gemapos)
Ilustrasi-Gedung KPK. (foto:gemapos)

Dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, salah satu pilar penting untuk dibangun adalah meningkatkan dan menjaga stabilitas politik, hukum, dan keamanan. Pemerintah telah memiliki rencana jangka menengah maupun jangka panjang dalam menciptakan dan memantapkan stabilitas Polhukam tersebut menuju visi Indonesia Emas 2045. Rencana strategis tersebut telah dituangkan dalam RPJMN 2020-2025. Reformasi sektor penegakan hukum dibutuhkan untuk dapat membangun sektor pemerintahan yang baik dan terawasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Akan tetapi, hingga saat ini sektor penegakan hukum masih merupakan sektor yang belum mendapatkan kepercayaan publik secara penuh. Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia juga malah menurun (versi Transparansi Internasional) seiring pula dengan citra penurunan penanganan kasus korupsi. Apa yang kemudian terjadi di lapangan adalah korupsi atau pelanggaran justru terjadi di sektor penegakan hukum dan peradilan itu sendiri, yang notabene adalah para pengawas penyelenggaraan pemerintahan. Reformasi sistem penegakan hukum dan peradilan masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah.

Mengambil contoh dari hasil jajak pendapat dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2023, dimana tingkat kepercayaan publik terhadap penegakan hukum terbilang menurun dan cukup minim. Tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung di tahun 2023 hanya sebesar 72 persen menurun dari 73 persen di tahun 2022. Tingkat kepercayaan publik terhadap KPK menurun dari 70 persen (2022) menjadi 65 persen.  Sedangkan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri hanya 60 persen dari 64 persen di tahun 2022. Dari sisi institusi, pengadilan hanya mendapat skor 77 persen menurun dari 82 persen di tahun 2022. Adapun dari sisi pemberantasan korupsi, skor nilainya pun terbilang cukup rendah, yakni KPK mendapat 66 persen, Kejaksaan 65 persen, dan Polri 57 persen. Persepsi ini tentu belum melihat dari fenomena permasalahan yang terjadi belakangan ini.

Korupsi di sektor penegakan hukum sudah banyak terjadi dan menjadi perhatian, misalnya Kasus Korupsi oleh mantan Kakorlantas Polri Djoko Susilo, Operasi Tangkap Tangan (OTT) Pimpinan Kejaksaan di DKI Jakarta, Kasus OTT terhadap oknum Jaksa di Bondowoso, kasus suap hakim agung (SA), Hakim MK, maupun para hakim dan panitera lainnya yang telah ditangkap. Oknum anggota Polri di Blora, Luwu, Aceh, dan berbagai kasus korupsi lainnya yang menyeret oknum penegak hukum, hakim, dan seluruh pihak terkait lainnya.

Terakhir, adalah penetapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tersangka dalam kasus pemerasan dalam kaitan dengan penanganan kasus di Kementerian Pertanian (Kasus SYL). Kasus ini menghebohkan atau menarik perhatian masyarakat di kala masyarakat menaruh harapan besar terhadap aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat. Teori Lord Acton yakni “power tends to corrupt” menjadi refleksi bersama, ketika penyalahgunaan kewenangan justru terjadi dan dilakukan ole pemegang kewenangan atau kekuasaan.

Permasalahan di sektor penegakan hukum juga tidak hanya dalam hal keterlibatan dalam penanganan kasus yang menjadi kewenangannya, namun juga hal-hal lain yang memperlihatkan masih banyaknya mafia di institusi penegakan hukum dan peradilan. Misalnya keterlibatan dalam kasus Narkoba, illegal mining, backing kasus sumber daya alam, dan sebagainya. Selain itu, permasalahan pada eks pimpinan KPK Lili Pintauli menjadi salah satu contoh dimana Pimpinan KPK yang seharusnya berhati-hati dalam menegakkan citra anti korupsi justru menerima gratifikasi. Alhasil yang bersangkutan di sidang etik dan mundur. Demikian pula dalam kasus gratifikasi yang menyangkut Wamenkumham dimana memerlukan kehati-hatian.

Persoalan di Sektor Hukum 

Komisi III DPR RI menemukan banyak permasalahan yang terjadi di sektor penegakan hukum dan peradilan yang masih perlu untuk dibenahi. Pada periode 2019-2024, temuan-temuan tersebut dilakukan berdasarkan evaluasi, misalnya terhadap kinerja sistem penegakan hukum untuk penyelamatan keuangan negara dan mencegah bocornya penerimaan negara, pelaksanaan reformasi kultur dan struktur yang masih lemah, dan belum responsifnya layanan publik di bidang hukum. Persoalan-persoalan tersebut memperlihatkan bahwa kinerja sistem dan sumber daya manusia di sektor hukum masih memerlukan perbaikan.

Terkait dengan pengaduan masyarakat, masih banyak persoalan yang sering diadukan ke Komisi III DPR yakni penyalahgunaan kewenangan, penanganan perkara yang tidak transparan dan tidak responsif, masih adanya “peti es” kasus dan berbagai kasus pidana menjadi ATM oleh oknum penegak hukum, masih adanya kriminalisasi, dan adanya intervensi di sektor penegakan hukum dan peradilan. Hal ini membuktikan bahwa celah-celah atau lubang di dunia penegakan hukum masih nyata ada dan menunjukkan eksistensi Mafia Hukum dan Peradilan.

Khusus mengenai penanganan kasus korupsi, masih terlihat banyaknya pelemahan-pelemahan dimana penanganan kasus masih menemui berbagai kendala, seperti adanya yurisdiksi (bantuan dari pihak di luar negeri) hingga intervensi tertentu oleh kepentingan kelompok tertentu. Belakangan kita juga melihat bahwa bidang hukum masih menjadi perbincangan dimana masyarakat dihadapkan pada potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan sehingga hasil putusan atau produk hukum yang dihasilkan menjadi diragukan. Sebaik-baiknya aturan yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah, tetap bergantung pula pada implementasi (enforcement) di lapangan.

Perubahan terhadap UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diundangkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019, pada saat itu memperlihatkan bahwa KPK yang dielu-elukan masyarakat ternyata punya beberapa masalah. Hal ini belum tentu disadari oleh masyarakat pada saat itu. Salah satu poin penting dalam UU KPK 2019 mengatur mengenai Dewan Pengawas serta Independensi dan Kompetensi Penyidik. Hal ini terbukti terjadi karena penegakan Kode Etik memang sangat dibutuhkan dalam hal Pimpinan atau Pegawai KPK bersinggungan dengan Kode Etik. Pengawasan memang tetap diperlukan sekalipun KPK pada saat itu telah mendapat kepercayaan publik.

Kasus Pimpinan KPK baik Lili Pintauli dan Ketua KPK Firli Bahuri yang baru saja terjadi tentu membutuhkan mekanisme hukum yang dapat memberi kejelasan dalam hal implementasi. Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengatur bahwa Pimpinan yang ditetapkan menjadi tersangka akan diberhentikan sementara. Mekanisme hukum telah diatur dalam hal Pimpinan KPK akan melakukan upaya hukum maupun menjadi terdakwa atau diputus bersalah. Lengkapnya, mekanisme sidang etik pun telah diatur dalam ketentuan.

Terhadap materi atau substansi kasus Ketua KPK yang belakangan ini menghebohkan masyarakat, tentunya kita tidak dapat memastikan atau menduga-duga tentang apa yang sebenarnya terjadi. Namun kasus ini mengingatkan kepada masyarakat bahwa celah di sektor penegakan hukum tetap masih ada dan memerlukan perubahan. Agaknya persoalan ini memang menjadi salah satu temuan atau catatan penting dalam program pemberantasan korupsi dan upaya peningkatan kepercayaan publik terhadap sektor penegakan hukum. Kita membutuhkan perubahan besar untuk dapat mendukung penciptaan sistem peradilan dan penegakan hukum yang bersih, berintegritas, profesional, dan akuntabel.

Visi ke Depan 

Melihat dari persoalan-persoalan tersebut, khususnya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun peradilan, maka timbul kesadaran bahwa sektor hukum di Indonesia masih cukup minim dan memerlukan reformasi atau perubahan dan transformasi yang signifikan. Transformasi tersebut dilakukan dengan peningkatan transparansi, profesionalisme, serta komitmen dan upaya besar untuk melakukan reformasi kultur dan struktur yang berorientasi pada kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat secara luas. Pengawasan yang lebih ketat sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mekanisme kontrol yang bersih dan berintegritas. Dalam hal ini diperlukan juga komitmen Pemerintah untuk melakukan reformasi penegakan hukum dan menjamin kesejahteraan dan keamanan aparat penegak hukum dan peradilan. Konsentrasi pada penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas lebih diperlukan daripada meningkatkan kuantitas.

Belajar dari kasus pemerasan dalam penanganan kasus korupsi dan penanganan kasus lainnya, memperlihatkan bahwa mafia hukum masih eksis dan memanfaatkan celah-celah penegakan hukum yang selama ini masih selalu menjadi rahasia umum. Tidak jarang banyak pihak melihat bahwa sektor penegakan hukum dan peradilan merupakan sektor “transaksional” yang dapat diarahkan sesuai dengan seberapa besar kekuatan dan kekuasaan daripada nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum.

Namun kita tidak boleh pesimis karena dengan diungkapnya kasus tersebut memperlihatkan masih adanya kesadaran dan komitmen untuk memperbaiki institusi penegakan hukum dan peradilan. Apresiasi tentu pada pihak Polri (dalam hal ini Polda Metro Jaya) yang berani mengambil sikap untuk penetapan tersangka tanpa memandang bahwa yang bersangkutan adalah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga anggota keluarga besar Polri. Tentunya, publik akan menunggu kelanjutan dari proses hukum terhadap kasus ini dan Komisi III DPR tentu tetap akan mengawasi pelaksanaannya agar tidak kemudian menjadi sebuah keraguan atau dilakukan secara tidak adil dan melanggar hak-hak hukum yang bersangkutan. Komisi III DPR tetap akan melihat dari sisi prosedur dan mekanisme, baik untuk tindak lanjut proses penegakan hukum maupun ketatanegaraan, yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Semoga dunia hukum kita akan semakin membaik, adil, seimbang, berkepastian hukum serta mampu mengayomi seluruh kepentingan masyarakat. Semoga sistem hukum di Indonesia mampu mendukung upaya bersama dalam menciptakan masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan sosial.

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, Anggota  Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan