Teknologi CCS Berpotensi Libatkan Sektor Migas dalam Perdagangan Karbon

Ilustrasi: Perdagangan karbon (foto: gemapos/ istock)
Ilustrasi: Perdagangan karbon (foto: gemapos/ istock)

Gemapos.ID (Jakarta)- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yakini adanya potensi besar yang dihasilkan dari sektor migas yang terlibat aktif di dalam perdagangan karbon melalui penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS).

Adapun, Direktur Teknik Migas dan Lingkungan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Mirza Mahendra mengatakan dalam keterangan resmi, Kamis (9/11), potensi ekonomi karbon sangat penting diidentifikasi untuk mendorong perdagangan karbon di Indonesia. 

“Saat ini sudah ada wadah perdagangan karbon di mana Indonesia telah memiliki bursa karbon,” ujarnya. 

Kemudian Mirza mengatakan, perdagangan karbon dan isu terkait semakin menjadi perhatian berbagai pihak. Seiring komitmen untuk mencapai emisi nol di berbagai negara, perdagangan karbon adalah salah satu cara mencapai emisi nol (net zero emision).

Indonesia, kata dia, melihat peluang menjadi hub kawasan CCS/CCUS di ASEAN yang akan menjadi peluang besar juga bagi negara lainnya untuk mengurangi emisi dari industri yang sulit mencapai Net Zero Emission. 

Di sektor energi khususnya migas, dapat secara aktif mengikuti perdagangan karbon dengan penerapan teknologi penangkapan karbon atau biasa dikenal Carbon Capture, and Storage (CCS). 

Sementara itu, Dirjen Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menyatakan, emisi yang ditangkap menggunakan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dapat dimonetisasi lebih jauh dengan cara diperdagangkan di bursa karbon. Nantinya kegiatan ini akan didukung oleh sejumlah regulasi. 

Saat ini, Kementerian ESDM dan kementerian terkait sedang mempersiapkan Peraturan Presiden untuk CCS di luar wilayah kerja migas. Lewat peraturan ini, Indonesia juga sedang mempertimbangkan penerapan CCS lintas batas untuk mendukung permintaan penyimpanan CO2 internasional.

“Perpres tersebut juga akan berhubungan dengan Perpres Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait,” ujar Tutuka belum lama ini. 

Tutuka mengatakan benang merah dari beleid tersebut ialah memungkinkan karbon yang ditangkap bisa diperdagangkan di bursa karbon. Sebagai gambaran skema monetisasi karbon, Co2 yang telah tersimpan harus didaftarkan terlebih dahulu, kemudian divalidasi.

Pada proses ini akan ada penyusunan laporan hasil dan kewenangan, serta verifikasi. Jika lolos, KLHK akan menerbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE). Baru kemudian sertifkat itu bisa diperdagangkan di bursa karbon. 

Ia yakin, ketika CCS berjalan potensi perdagangan karbon dari industri migas akan sangat besar. Tutuka menjelaskan, saat ini sudah ada 15 proyek CCS/CCUS yang dikembangkan dan tersebar di seluruh Indonesia.

Salah satu yang paling maju ialah yang dilakukan oleh BP yang prosesnya sudah masuk di Plan of Development (PoD). 

Ketua Carbon Trade Indonesia (IDCTA) Riza Suarga mengatakan, isu perdagangan karbon perlu diberi ruang lebih luas. Pada perhelatan acara Carbon Digital Conference (CDC) Indonesia 2023,  menyediakan kesempatan bagi pihak-pihak terkait untuk berbagi pengalaman dan penjajakan bisnis perdagangan karbon.

“Dari ratusan peserta CDC, ada yang telah berpengalaman mengembangkan teknologi untuk mengintegrasikan data pemantauan karbon. Integrasi data itu membantu mengenal pasar lebih baik,” ujarnya. 

Terakhir, CDC 2023 juga dihadiri regulator yang membagikan pengalaman soal sinkronisasi kebijakan untuk menunjang perdagangan karbon. Ada juga sesi khusus di antara perwakilan perusahaan Jepang, salah satu kelompok bisnis besar di Indonesia. (ra)