Serba-serbi "Birthday Blues"



Semakin bertambahnya umur, semakin kita menyadari bahwa dewasa bukan lagi soal senang. Bukan lagi soal unjuk diri atas kehebatan. Bukan lagi soal siapa yang paling cepat mendapatkan apa. Tetapi, umur yang bertambah adalah tolak ukur apakah seseorang telah berhasil menjadi dirinya sendiri dengan utuh, atau malah sebaliknya.

Belakangan ini, ketakutan akan kegagalan, putus asa yang berkepanjangan, juga harapan yang tak kunjung datang, membuat kita mengerti bahwa tekanan sosial dan ekspektasi yang terlalu tinggi sudah menjadi 'makanan' sehari-hari. Segala sesuatu yang diucapkan saat berdoa atas bertambahnya usia, bukan lagi hal yang patut disenangi, namun justru menjadi hal yang dibebankan kepada dia yang sedang bahagia meniup lilin ulang tahun sambil bernyanyi.

Asumsi-asumsi yang menolak salah, seolah menegaskan bahwa seseorang tidak boleh gagal, tidak boleh lelah, apalagi depresi. Lebay dan berlebihan katanya. Padahal, tidak ada satupun manusia yang mampu menanggung beban seberat itu. Tidak ada yang mampu menampung ingin mereka pada kaki yang bahkan belum kuat menopang diri sendiri.

Mimpi mereka terlalu tinggi pada raga yang sedang menepi, menyendiri, dan kehilangan percaya diri. Mereka takkan pernah tahu. Mereka hanya bisa memberi tuntutan dan harapan yang terus menghujam tanpa henti. Kejam.

Pada kenyataan yang pahit, alih-alih semangat akan bertumbuh jika dipatahkan, nyatanya, jiwa dan jati diri lah yang semakin terpuruk dan hilang dari peradaban. Tinggal hampa yang tersisa di balik senyum yang pura-pura.

Tidak semua orang bisa membiarkan tujuan hidupnya mengalir begitu saja, beberapa dari mereka bahkan setiap malam tidak bisa menutup matanya dengan lega.

"Akan terjadi apa besok? Bagaimana jika gagal? Apa yang harus dilakukan?” Hingga, “Salahkah jika aku mengakhiri hidup?"

Tertekan.

Sementara seseorang sedang merasa sedih tanpa alasan, tidak ada satupun dukungan yang hadir memberi aman. Kehidupan yang diharapkan akan membaik seiring berjalannya waktu, hanya menjadi angan yang tak tahu kapan harus berhenti menunggu.

Bukan salah usia, mereka takkan pernah tahu betapa sulitnya didewasakan oleh keadaan yang hampa tanpa dukungan.

Ya, mereka takkan pernah tahu. Mereka takkan bisa mengerti.

Oleh Dewi Susilawati