Dampak Korona Meluas

dampak korona
dampak korona
Sebanyak 64 kasus positif corona virus disease 2019/covid-19 (virus korona) bertambah menjadi 514 kasus tersebut di Indonesia sampai Minggu (22/3/2020) pukul 12.00 WIB. Angka ini diprediksi terus naik sampai April 2020 apabila ini tidak diantisipasi secara tepat dan cepat. Padahal, tingkat kesembuhan dan tingkat kematian belum sebanding masing-masing sebesar 29 kasus dan sebesar 48 kasus. Kenaikan ini bisa terjadi akibat penularan melalui batuk, influenza, dan bersentuhan dari seseorang ke orang lain. Selain itu lantaran memegang fasilitas umum seperti transportasi publik, infrastruktur publik, dan layanan publik. Peningkatan kasus positif covid-19 juga akibat belum diperoleh kejelasan siapa saja yang sudah terpapar dan daerah mana saja yang terjangkiti virus tersebut untuk ditangani. Sampai sekarang pemetaan ini hanya dilakukan terhadap suatu lokasi yang terdapat korban jiwa dan pasien saja. Namun, potensi suatu wilayah mengalami penularan covid-19 belum dilakukan pemerintah secara merata. Upaya rapid test (uji cepat) sebagai salahsatu langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk ini yang mulai dijalankannya. Langkah ini kurang tepat apabila dilakukan secara random (acak), karena infeksi covid-19 tidak dapat dideteksi dari gejala-gejala awal batuk, pilek, dan sesak nafas. Namun, ini bisa saja menimpa orang yang kelihatan sehat, karena masa inkubasinya selama 14 hari. Pemerintah perlu meniru tindakan yang dilakukan Korea Selatan (Korsel) yang melakukan rapid test secara massal. Walaupun, sejumlah tantangan dihadapi yakni kesiapan infrastruktur, topografi wilayah, dan jumlah penduduk. Untuk memastikan dan pemetaan wabah covid-19 tidak ada cara lain pemerintah perlu melakukannya. Hal ini juga untuk menghitung apa saja yang perlu disiapkan pemerintah. Pembangunan Rumah Sakit (RS) Darurat Virus Korona di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat dapat diapresiasi sebagai ikhtiar pemerintah menyiapkan diri menangani covid-19. Namun, jarak dari RS dan tempat tinggal pasien perlu dipikirkan pemerintah sebagai jalan keluarnya. Begitupula pembangunan RS sejenis di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Walaupun ini bisa ditujukan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang pulang dari luar negeri yang diduga terjangkit covid-19. Namun, penguatan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di tiap kelurahan bisa diutamakan bagi pertolongan pertama pasien covid-19 sebelum di bawa ke RS. Kemudian, ini bisa dilanjutkan ke RS yang bisa menangani covid-19. Langkah lain berupa pembatasan interaksi masyarakat di area umum apalagi ruang tertutup, bahkan penutupan sejumlah kantor dan pembatasan transportasi publik. Walaupun demikian berbagai upaya ini tidak membuat sebagian pihak yakin pemerintah mampu mengatasi covid-19. Salah satu pihak yang dimaksud adalah pelaku pasar yang menganggap pertumbuhan ekonomi akan anjlok akibat covid-19. Hal ini telah diakui Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi domestik hanya tumbuh sebesar 4,2%. Kekhawatiran pelaku pasar dilakukannya dengan melakukan aksi jual saham dan rupiah. Langkah ini diperkirakan terus berlangsung sampai pemerintah dinilai sanggup mengatasinya dan memulihkan perekonomian domestik. Pemerintah dinilai tidak bisa meredam gejolak pembelian produk-produk pendukung kesehatan seperti masker dan hand sanitizer (pencuci tangan). Begitupula bahan pokok yang diisukan langka tidak hanya karena keterbatasan jumlahnya tetapi pemasok dan distributornya. Upaya Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan menjadi 4,5% guna mendorong kredit untuk perputaran usaha dinilai tidak efektif. Pasalnya, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan dunia usaha disertai pembatasan perjalanan transportasi massal. Selama pembatasan ini menimbulkan kerugian bagi bisnis, karena ada penghentian kegiatan untuk menghasilkan produk. Ekspor tidak dapat dilakukan bukan akibat berbagai negara menguranginya, tapi produk yang akan diekspor semakin berkurang akibat penurunan produksi. Andalan utama pertumbuhan ekonomi dari konsumsi dalam negeri tidak bisa dilakukan akibat semakin banyak pemutusan hubungan kerja (PHK). Para pekerja tidak memiliki uang untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Pemerintah harus berpikir keras bagaimana menggerakan perekonomian dengan memberi insentif kepada swasta. Pemberian bantuan tunai langsung hanya akan menyelesaikan persoalan sesaat dan tidak mendorong masyarakat akan bersikap mandiri. Dengan begitu kabinet harus bisa mempraktikan apa yang bisa dikerjakan bagi masyarakat. Tidak hanya berpikir menghabiskan anggaran guna mencapai penyerapan anggaran yang tinggi. Lepas itu mari kita berbuat sesuai dengan latarbelakang profesi dan kompetensi guna mempercepat pemulihan wabah covid-19. Kemudian, ini bisa mendorong pemulihan ekonomi. (mam)