Kode Etik Jurnalistik dalam Perspektif Islam

8BDA88D9-3C71-4CCC-8727-F2103BC35068
8BDA88D9-3C71-4CCC-8727-F2103BC35068
Gemapos.ID (Jakarta) - Ustaz Abdul Somad turut memeriahkan acara ulang tahun Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) yang pertama pada hari Senin (8/2/2021). Dia menjadi pembicara pertama di segmen pertama dalam serangkaian webinar yang JMSI selenggarakan, yakni dengan mengisi tausiyah bertema “Kode Etik Jurnalistik dalam Perspektif Islam.” Kode etik jurnalistik adalah pedoman moral bagi para jurnalis untuk melaksanakan tugas sehari-hari. Jika kode etik tersebut dibicarakan dalam perspektif Islam maka kode etik tersebut akan dibahas melalui tiga sumber, Hal-hal itu adalah Al-Quran, pernyataan dan perbuatan nabi serta perbuatan sahabat yang disetujui nabi yang disebut sebagai hadist atau sunnah, dan interpretasi ulama berdasarkan Al-Quran dan sunnah, yang disebut ijtihad. Somad pun memaparkan beberapa poin yang harus dilakukan jurnalis menurut kode etik jurnalistik dari perspektif islam. Yang pertama, jurnalis harus paham bahwa manusia lahir dalam keadaan suci, bersih, tidak ada salah, dan tidak ada dosa. Oleh karena itu, jurnalis harus melihat objek sebagaimana keadaan lahirnya dan tidak berdasarkan pemikiran atau perspektif buruk. Ia juga memaparkan bahwa jika ada hal yang negatif dalam pribadi objek tersebut maka jurnalis harus melihat itu sebagai unsur tambahan. Kedua, Somad menuturkan Islam datang untuk menjaga akal, nyawa, keturunan, dan kehormatan. Menjaga kehormatan seseorang juga memiliki kaitan erat dengan kode etik jurnalisme. Menurutnya, jurnalis tidak boleh merusak kehormatan manusia lain. “Kita tidak boleh mencaci maki, tidak boleh sumpah serapah, tidak boleh merusak nama baik, baik itu (secara) personal, suku, agama, bangsa, dan lain sebagainya,” terangnya. Somad menyarankan untuk ulama-ulama di dalam JMSI maupun ulama kode etik jurnalistik untuk membuat kode etik berdasarkan ajaran agama Islam. “Kita ambil yang bersifat universal, kita ambil yang bersifat rahmatan lil alamin, sehingga dia (kode etik jurnalistik) menjadi rahmat bagi para jurnalis, juga objek yang disampaikan oleh jurnalis,” terangnya. Ketiga, ia mengingatkan tentang harus adanya check and balance dalam suatu pemberitaan. Jurnalis tidak boleh hanya mendengar informasi dari satu pihak saja dan harus melakukan konfirmasi, klarifikasi, check and balance, serta check and recheck karena berita yang sudah menyebar tidak mudah untuk ditarik kembali. Somad mengkomparasi bagaimana suatu berita dapat di check and recheck dengan bagaimana seseorang dapat diperbolehkan meriwayatkan hadits. “Orang itu harus tau biografi guru yang menyampaikan berita, lalu kemudian bagaimana kapasitas keilmuannya, dan dia (jurnalis dan narasumber) harus bertemu,” terangnya. Ia pun mengkritik tentang data dalam berita yang saat ini menggunakan metode ‘copy-paste’ dan tetap dapat diterima. Lalu, Somadmengingatkan bahwa Islam melarang muslimin untuk mencaci maki penganut agama lain, walaupun dalam Islam menyembah Tuhan selain Allah adalah dosa besar yang tidak terampuni. Hal ini dikarenakan jika muslimin mencela agama lain maka penganut agama lain juga dapat mencela Allah tanpa memiliki ilmu tentang Allah. Ia menyarankan untuk muslimin dapat mengajarkan Islam dengan bahasa, diksi, dan penjelasan yang tidak memicu terjadinya konflik. “Mencaci maki orang yang tidak menyembah Allah saja tidak boleh, apalagi yang (berbuat dosa) lebih ringan daripada itu,” tegasnya. Somad melarang tindakan generalisasi. Hal ini sudah tertuang di dalam Piagam Madinah. Ia menyebutkan bahwa salah satu poin dari piagam tersebut adalah jika ada orang Yahudi yang melakukan kesalahan, maka orang lain tidak boleh mengatakan”Hey Yahudi!” karena ungkapan Yahudi dinilai sebagai generalisasi. Hal ini tidak diperbolehkan karena setiap orang berbeda, tidak semuanya jahat dan tidak semuanya baik, red. Dengan adanya generalisasi, orang yang tidak bersalah pun akan dinilai salah, begitu pun sebaliknya. Selanjutnya, ia menyatakan tidak membenarkan adanya gosip atau ghibah yang ditulis oleh jurnalis. Menurutnya, terkadang jurnalis tidak bisas membedakan mana yang mempunyai tujuan memberitakan sesuatu dan mana yang menjurus kepada gosip atau ghibah. Dalam Islam, seseorang baru dapat menceritakan suatu keburukan jika sedang berada di dalam tiga situasi sebagai berikut, yaitu pertama, saat menjadi saksi di pengadilan dan ditanya oleh hakim. Kedua, ketika sedang bertanya tentang suatu hukum atau fatwa. Karena, menurutnya tidak mungkin orang lain menjawab pertanyaan tanpa memahami pertanyaannya secara keseluruhan. Terakhir, ketika jurnalis ingin menunjukkan mana yang haq (kebenaran) dan batil (kesalahan). Ia menegaskan bahwa yang dapat melakukan peran dalam menunjukkan haq dan batil adalah media. Karena, masyarakat umum memiliki keterbatasan waktu dan tempat dalam mendapatkan informasi. Media juga tidak dianggap bergosip ketika membahas kebatilan, namun sedang menunjukkan mana yang salah dan benar. Berikutnya, Somad juga meminta jurnalis untuk menghindari hal-hal berbau ponografi dengan memilih diksi atau kata yang paling minim dampak negatifnya. Ia pun mencontohkan Al-Quran yang menjelaskan banyak hukum, namun tetap menggunakan kalimat yang sangat lembut. “Ketika menceritakan hubungan kelamin, ia (Al-Quran) katakan, ‘kamu menyentuh kulit perempuan’. Menurut Abu Hanifah atau Imam Hanafi, bahasanya secara tekstual menyentuh kulit, tapi substansi makna yang dimaksud adalah hubungan kelamin,” jelasnya. Terakhir, ia pun mengingatkan bahwa sebesar biji sawi pun berita yang benar disampaikan maka jurnalis akan mendapatkan kebaikannya, begitu juga dengan menyebarkan berita yang tidak benar walaupun hanya sebesar tapak kaki semut yang hitam di atas batu yang hitam di malam yang kelam namun menimbulkan masalah bagi bangsa dan umat maka jurnalis juga akan mendapatkan dosanya. Somad urnalis yang tidak amanah seperti itu disebut sebagai pengkhianat dan pengkhianat termasuk orang yang munafik. Orang munafik sendiri dalam Islam memiliki tiga ciri-ciri yakni, jika ia berucap ia berdusta, jika ia berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia khianat. Ia pun berharap para jurnalis tidak hanya berorientasi pada dunia, namun juga diiringi dengan semangat spiritualitas yang di dalamnya terdapat semangat iman, sehingga para jurnalis dapat menjadi orang yang bertanggung jawab dalam setiap tulisan, berita, dan apa pun yang disebarkan.