Kode Etik Jurnalistik dalam Perspektif Islam
Hal ini dikarenakan jika muslimin mencela agama lain maka penganut agama lain juga dapat mencela Allah tanpa memiliki ilmu tentang Allah. Ia menyarankan untuk muslimin dapat mengajarkan Islam dengan bahasa, diksi, dan penjelasan yang tidak memicu terjadinya konflik. “Mencaci maki orang yang tidak menyembah Allah saja tidak boleh, apalagi yang (berbuat dosa) lebih ringan daripada itu,” tegasnya. Somad melarang tindakan generalisasi. Hal ini sudah tertuang di dalam Piagam Madinah. Ia menyebutkan bahwa salah satu poin dari piagam tersebut adalah jika ada orang Yahudi yang melakukan kesalahan, maka orang lain tidak boleh mengatakan”Hey Yahudi!” karena ungkapan Yahudi dinilai sebagai generalisasi. Hal ini tidak diperbolehkan karena setiap orang berbeda, tidak semuanya jahat dan tidak semuanya baik, red. Dengan adanya generalisasi, orang yang tidak bersalah pun akan dinilai salah, begitu pun sebaliknya. Selanjutnya, ia menyatakan tidak membenarkan adanya gosip atau ghibah yang ditulis oleh jurnalis. Menurutnya, terkadang jurnalis tidak bisas membedakan mana yang mempunyai tujuan memberitakan sesuatu dan mana yang menjurus kepada gosip atau ghibah. Dalam Islam, seseorang baru dapat menceritakan suatu keburukan jika sedang berada di dalam tiga situasi sebagai berikut, yaitu pertama, saat menjadi saksi di pengadilan dan ditanya oleh hakim. Kedua, ketika sedang bertanya tentang suatu hukum atau fatwa. Karena, menurutnya tidak mungkin orang lain menjawab pertanyaan tanpa memahami pertanyaannya secara keseluruhan. Terakhir, ketika jurnalis ingin menunjukkan mana yang haq (kebenaran) dan batil (kesalahan). Ia menegaskan bahwa yang dapat melakukan peran dalam menunjukkan haq dan batil adalah media. Karena, masyarakat umum memiliki keterbatasan waktu dan tempat dalam mendapatkan informasi. Media juga tidak dianggap bergosip ketika membahas kebatilan, namun sedang menunjukkan mana yang salah dan benar. Berikutnya, Somad juga meminta jurnalis untuk menghindari hal-hal berbau ponografi dengan memilih diksi atau kata yang paling minim dampak negatifnya. Ia pun mencontohkan Al-Quran yang menjelaskan banyak hukum, namun tetap menggunakan kalimat yang sangat lembut. “Ketika menceritakan hubungan kelamin, ia (Al-Quran) katakan, ‘kamu menyentuh kulit perempuan’. Menurut Abu Hanifah atau Imam Hanafi, bahasanya secara tekstual menyentuh kulit, tapi substansi makna yang dimaksud adalah hubungan kelamin,” jelasnya. Terakhir, ia pun mengingatkan bahwa sebesar biji sawi pun berita yang benar disampaikan maka jurnalis akan mendapatkan kebaikannya, begitu juga dengan menyebarkan berita yang tidak benar walaupun hanya sebesar tapak kaki semut yang hitam di atas batu yang hitam di malam yang kelam namun menimbulkan masalah bagi bangsa dan umat maka jurnalis juga akan mendapatkan dosanya. Somad urnalis yang tidak amanah seperti itu disebut sebagai pengkhianat dan pengkhianat termasuk orang yang munafik. Orang munafik sendiri dalam Islam memiliki tiga ciri-ciri yakni, jika ia berucap ia berdusta, jika ia berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia khianat. Ia pun berharap para jurnalis tidak hanya berorientasi pada dunia, namun juga diiringi dengan semangat spiritualitas yang di dalamnya terdapat semangat iman, sehingga para jurnalis dapat menjadi orang yang bertanggung jawab dalam setiap tulisan, berita, dan apa pun yang disebarkan.