Wajah Demokrasi Dalam Kebangsaan Kita

aji setiawan2
aji setiawan2
Kata "demokrasi" untuk menyebut sistem yang melibatkan pemilu multipartai, pemerintahan perwakilan, dan kebebasan berbicara, baca artikel Demokrasi liberal. Untuk kegunaan lain, baca artikel Demokrasi (disambiguasi). Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Seorang wanita memasukkan surat suara pada putaran kedua pemilu presiden Prancis tahun 2007. Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari (dêmos)"rakyat" dan (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM. Untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Prancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara antara abad ke IV SM sampai dengan abad ke VI SM. Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara. Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini[5] sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani. Jadi, ini berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi. Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Prancis. Demokrasi adalah merupakan sistem penyelenggaraan negara yang paling banyak digunakan sebagai model tata pemerintahan dewasa ini. Demokrasi merupakan salah satu sarana untuk pencapaian tujuan rakyat dalam suatu negara. Oleh karenanya demokrasi sesungguhnya hanyalah merupakan suatu alat dalam praktik untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, kedamaian, keamanan, dan tentu keadilan bagi seluruh rakyatnya. Sebagai suatu alat, demokrasi juga berdampingan dengan model sistem penyelenggaraan negara yang lainnya, baik monarki, totaliter, revolusioner dan lain-lain. Sebagai suatu alat, maka rakyat suatu negara atas dasar konteks historis dan geografis serta politisnya adalah yang paling absah untuk menentukan atau menyukai suatu bentuk sistem politik. Ada suatu bangsa yang merasa pas kalau sistemnya revolusioner, ada yang lebih sepakat dengan demokrasi, atau bahkan tidak jarang yang merasa puas dengan sistem monarki. Puas atau tidaknya rakyat suatu bangsa sangat tergantung dari kesejahteraan dan keadilan yang dinikmati oleh mereka. Oleh karenanya, tidak heran dalam upaya pencapaian suatu kondisi yang layak dan memuaskan, sejarah suatu bangsa akan melalui proses panjang untuk pencarian jatidirinya. Ideologi apa yang di pakai, sistem ekonomi seperti apa yang hendak dianut, bahkan juga model tata pemerintahan bagaimana yang hendak diaplikasikan. Amerika Serikat dalam keadaannya saat ini telah menempuh perjalanan panjang demokrasi, mungkin hingga 200 tahunan. Ada juga suatu negara yang dapat mendampingkan demokrasi dengan monarki yang masih dipegang kuat, misalnya Inggris dan Australia. Ada juga suatu negara di Afrika yang asalnya sistem monarki kemudian ada kudeta yang ingin mendudukkan pemerintahan demokratis. Namun beberapa tahun kemudian kembali sebagai monarki. Semua itu tidak lain adalah kehendak rakyat yang menginginkan sistem dan pola apa yang akan dipakai. Namun demikian, hingga kini memang sistem demokrasilah yang paling banyak diminati. Karena demokrasi lebih banyak memberikan peluang besar untuk tiap warga negara ikut bersuara dan berserikat. Termasuk pula membuka ruang luas kepada siapapun warganya untuk ikut ambil bagian dalam proses penyelenggaraan negara, memilih dan dipilih. Walaupun sistem demokrasi telah menjadi yang paling banyak dipakai di dunia, namun ternyata aplikasi dari demokrasi sendiri sangat variatif. Varian aplikasi demokrasi itu tidak lain juga merupakan upaya untuk mengkontekskan demokrasi dengan keadaan yang ada di masing-masing negara. Kontrak sosial di antara warga, termasuk pula negosiasi politik sebagai suatu bentuk kesepakatan, baik itu antar elit-elit, maupun elit dengan warga akan menjadi pertimbangan utama dalam rangka perumusan konsep demokrasi di masing-masing negara. Demokrasi di Amerika tentu berbeda dengan demokrasi di Korea Utara. Demokrasi di Jerman Timur tentu berbeda dengan yang berlaku di India. Inilah nampaknya, demokrasi sering dijadikan jargon dalam rangka untuk mengukuhkan suatu pemaknaan demokrasi yang idealitasnya adalah suara rakyat dan keinginan rakyat. Tidak hanya di negara-negara asing tersebut, di Indonesia pemaknaan demokrasi ternyata juga sangat bervarian. Era kemerdekaan, hingga tahun 1959 Indonesia memakai sistem demokrasi liberal. Ketika itu partai-partai dengan sedemikian banyaknya. Saking bebasnya berpolitik ketika itu, partai-partai saling bersaing dengan idenya dan saling kritik satu sama lain. Walaupun mereka menginginkan kebaikan untuk negara baru Indonesia, namun sebagai akibat dari sistem yang belum tertata dengan baik, kabinet parlementer saat itu sangat sering berganti-ganti. Sehingga mengakibatkan, kondisi negara tidak kunjung stabil, karena energi banyak tercurah ke soal-soal politik. Demikian pula, ketika era Orde Lama di mana kebebasan terpasung, hak-hak berpolitik dari rakyat dibatasi, termasuk pula banyaknya pembubaran partai politik yang mana mengakibatkan pola kekuasaan tersentralisasi ke struktur presiden. Era ini pun menurut penggagasnya yakni Presiden Soekarno juga disebut dengan demokrasi, yakni demokrasi terpimpin. Soekarno ingin rakyat solid dulu di bawah kepemimpinannya, mengkonsolidasikan kekuatan untuk beberapa agenda perjuangan yang harus diatasi. Misalnya penguatan ekonomi, pemertahanan NKRI dan termasuk pula sebagai suatu strategi konsolidasi antar kekuatan-kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman luar. Bahkan kata Soekarno ketika itu, buat apa berdemokrasi, atau berperilaku liberal kalau rakyat kelaparan. Ketika era Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, demokrasi lagi-lagi masih merupakan pilihan sistem penyelenggaraan negara Indonesia. Dengan suatu upaya untuk mengawinkan dan membuat sinergis antara demokrasi dengan konteks ke indonesiaan, ketika itu diaplikasikan yang namanya Demokrasi Pancasila. Namun, dalam perjalanannya yang terjadi adalah demokrasi semu yang formalistis. Yakni prosedur-prosedur demokrasi dipenuhi dan diberikan landasan hukum. Walaupun prosedur-prosedur itu telah diatur sedemikian rupa dengan suatu hegemoni kekuasaan dari sekelompok pihak yang berkuasa ketika itu. Partai diadakan, namun disederhanakan menjadi tiga. Pemilu diselenggarakan rutin, namun penuh kecurangan dan rekayasa. Struktur pemerintahan sebagai suatu unsur pembagian kekuasaan ada, namun semuanya secara hegemonik tunduk pada kuasa presiden. Tiada check and balancies dalam penyelenggaraan negara. DPR, MPR, BPK, dan MA semua seolah manut pada Presiden. Di era reformasi ini, yang juga dikatakan era demokrasi. Nampak sekali tidak sama penerapannya dengan penyebutan demokrasi pada era-era sebelumnya. Di era ini, kita tidak pernah lagi menyebut demokrasi Pancasila, sebutan demokrasi liberal pun tidak pernah terdengar. Nampaknya, di era sekarang sudah tidak diperlukan lagi kata sifat yang mungkin justru membingungkan. Sekarang kebebasan dalam politik luar biasa sekali. Check and Balancies sudah mulai diterapkan dengan baik dalam lembaga-lembaga negara. Parpol bebas berdiri, suara rakyatpun dihargai one man one vote. Caleg sudah tidak memakai nomor urut. Otonomi daerah sudah lebih luas diberikan. Ada pembagian dana yang jelas antara pusat dan daerah dan sebagainya. Semangat ini harus diapresiasi sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan demokrasi di Indonesia yang paling dirasa pas dan memenuhi harapan orang banyak. Suatu dinamika ide yang senantiasa memperbarui yang lama yang kurang baik dan mencari sesuatu yang baru yang lebih menjanjikan. Walaupun tetap harus senantiasa berakar pada jati diri bangsa. Sejarah telah membuktikan itu semua, oleh karenanya demokrasi Indonesia sudah seharusnyalah dibangun oleh orang Indonesia sendiri dan tidak menjiplak negara lain. Aji Setiawan, Penulis bertempat tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah