Sustainable Transport Award, Memerlukan Proses

Djoko Setijowarno3
Djoko Setijowarno3
Kota Jakarta sudah dapat menjadi laboratorium transportasi perkotaan di Indonesia. Kota-kota lain tidak perlu lagi belajar transportasi ke luar negeri. Teori transportasi dari manca negara menjadi referensi dan sekarang sudah menjadi solusi di Jakarta. Selamat bagi Pemrpov. DKI Jakarta dan warga Jakarta yang telah memenangkan Penghargaan Sustainable Transport Award (STA) Tahun 2021. Jakarta mendapatkan anugerah sebagai “honorable mention” di ajang Sustainable Transport Award 2019 yang diumumkan di Fortaleza, Brazil. Penghargaan ini berikan pertama kali tahun 2005 pada Kota Bogota (Kolombia). Menyuplik dari laman www.seward.org, tahun sebelumnya dimenangkan Pune (India, 2020), Fortaleza (Brazil, 2019), Dar es Salaam (Tanzania, 2018), Santiago (Chile, 2017), dan Yichang (China, 2016). Kemudian, Belo Horizonte, Rio de Janeiro, dan San Paulo (Brazil, 2015), dan Buenos Aires (Argentina, 2014). Selanjutnya, Mexico City (Mexico, 2013), San Francisco (Amerika Serikat, 2012), Medellin (Colombia. 2012), Guangzhou (China, 2011), Ahmedabad (Italia, 2010), dan New York (Amerika Serikat, 2009). Berikutnya, Paris (Perancis, 2008), London (Inggris, 2008), Guayaquli (Equador, 2007), Seoul (Korea Selatan, 2006). Kota Jakarta diganjar gelar ini atas usahanya dalam mengembangkan sistem Bus Rapid Transit (BRT) Transjakarta, serta keberhasilan dalam menaikkan jumlah penumpang hingga 200% dalam waktu kurang dari 3 tahun. Selain kenaikan jumlah penumpang Transjakarta yang fantastis, Jakarta juga dinilai berhasil mengintegrasikan sistem BRT dengan layanan mikrobus (angkot) serta kehadiran sistem metro (MRT) pertama yang memberikan tambahan opsi moda angkutan umum bagi warga Jakarta. Jakarta juga dinilai berhasil meningkatkan fasilitas pejalan kaki dan akses menuju stasiun dan halte angkutan umum serta menciptakan hub-hub untuk mengintegrasikan pelbagai moda. Sustainable Transport Award (STA) merupakan ajang penghargaan tahunan yang diberikan kepada kota yang telah menunjukkan komitmen, kemauan politik, serta visi dalam bidang transportasi berkelanjutan dan pembangunan perkotaan. Sejak tahun 2005, penghargaan ini diberikan setiap tahunnya kepada kota yang telah menerapkan strategi inovatif dalam bidang transportasi berkelanjutan dan diberikan kepada kota-kota yang berhasil meningkat mobilitas penduduknya, berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara dan meningkatkan keselamatan dan akses bagi para pejalan kaki dan pesepeda. Setiap tahun ITDP dan Sustainable Transport Award Commitee menyeleksi dan mencari kota-kota di dunia yang telah menerapkan inovasi untuk program transportasi berkelanjutan. STA merupakan ajang penghargaan tahunan yang diberikan pada kota yang telah menunjukkan komitmen serta visi dalam bidang transportasi perkotaan berkelanjutan dan pembangunan perkotaan. Tahun ini Jakarta berhasil menjadi juara dan mengalahkan kota-kota besar lainnya di dunia, seperti San Fransisco (Amerika Serikat), Frankurt (Jerman), Auckland (Selandia Baru), Moscow (Rusia), Buenos Aires (Argentina)dan Sao Paulo (Brazilia). Komitmen kepala daerah Secara objektif memang, Jakarta dalam lima tahun terakhir mengalami perbaikan yang signifikan untuk sektor transportasinya, memiliki Bus Trans Jakarta, LRT dan MRT yang memberikan pelayanan bagus, dan perbaikan pelayanan Transjakarta. Selain itu peran PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (KAI) menata KRL Jabodetabek mulai tahun 2013 dengan mengangkut sekitar 350 ribu penumpang perhari. Sekarang sudah mencapai 1 juta penumpang per hari. Demikian pula dengan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) yang dibentuk oleh Kementerian Perhubungan tahun 2016 turut memberikan kontribusi perbaikan kondisi transportasi di Jakarta. Agar kesuksesan Jakarta membangun dan mengembangkan dapat terjadi di daerah lain, perlu komitmen bersama, khususnya dari pemerintah pusat dan daerah. Agak susah kalau tidak dibantu (pemerintah) pusat. Selain intervensi pemerintah pusat, komitmen kepala daerah juga diperlukan. Sayangnya, komitmen pemerintah daerah di banyak daerah kebanyakan masih minim. Tidak hanya itu, anggaran yang minim, tidak sebesar DKI Jakarta, juga jadi halangan. Tahun 2019, dalam komitmen membangun transportasi massal di Jakarta dalam jangka waktu 10 tahun, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di hadapan pemerintah pusat mengatakan, anggaran yang dibutuhkan untuk membangun transportasi mencapai Rp 605 triliun. Dana itu dipakai untuk menambah armada dan jangkauan Transjakarta, MRT, serta kereta ringan (LRT). Bagaimanapun, Jakarta sudah bisa menjadi kota percontohan penataan transportasi perkotaan bagi kota-kota lain di Indonesia. Keberhasilan itu, sekali lagi, terwujud karena komitmen seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun swasta. Gubernur terdahulu, misalnya, juga memiliki andil. Gub. Sutiyoso melakukan gebrakan dengan memulai operasi Busway Trans Jakarta di tiga koridor. Dilanjutkan Gub. Fauzi Bowo melanjutkan untuk koridor berikutnya dan mulai merintis pembangunan MRT di Lebak Bulus. Era Gub. Joko Widodo menancapkan mulainya pembangunan MRT di Dukuh Atas, penataan trotoar, bus tingkat wisata. Gub. Basuki Tjahaja Purnama menuntaskan pembangunan 13 koridor Busway Trans Jakarta, penggunaan bus lantai rendah (low deck), Simpang Susun Semanggi, penataan dan pelebaran trotoar yang sebagian dapat dimanfaatkan jalur sepeda dan memulai angkot gratis pada 10 rute saat jam sibuk pagi dan sore. Masa kepemimpinan Gub. Jarot Saiful Hidayat yang relatif pendek 4 bulan melanjutkan program yang sudah dikerjakan Gub. Basuki Tjahaja Purnama sebelumnya. Kemudian, munculnya BPTJ (Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) dengan Bus Trans Jabodetabek dan Bus JR Connexion sejak 2016 atau PT KCI dengan operasionalisasi KRL Jabodetabek sejak 2013 adalah wujud kepedulian pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Pengukuhan program Pola Transportasi Makro (PTM) dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, Kereta Api, Sungai dan Danau serta Penyeberangan di DKI Jakarta juga berperan. Program PTM mempunyai strategi yang meliputi pengembangan angkutan umum, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan kapasitas jaringan. PTM yang dibuat dalam perda menjadi penguat para gubernur DKI untuk mewujudkan transportasi yang humanis di Jakarta. Setiap kepala daerah atau gubernur di Jakarta memiliki kontribusi dengan inovasi masing-masing. Kendati begitu, PR lain soal jalur sepeda masih menanti. Jalur sepeda yang kini disediakan masih perlu dipastikan faktor keamanan dan kenyamanannya bagi pengguna sepeda. Sekarang jalur sepeda tidak berkeselamatan, ini yang masih menjadi PR DKI Jakarta, yang artinya belum selesai. Pengaturan ojek daring yang hingga kini masih berpolemik. Beberapa terminal penumpang masih perlu dibenahi, seperti Terminal Tanjung Priok, Terminal Kampung Rambutan. Kebijakan pelat kendaraan bermotor Ganjil Genap yang sudah berjalan dapat segera digantikan dengan kebijakan jalan berbayar (electronic road pricing atau ERP). Sekarang, kebijakan pelat kendaraan bermotor Ganjil Genap dirasa kurang memberikan kontribusi mengatasi kemacetan lalu lintas di jalan, karena cenderung warga membeli kendaraan bermotor yang berbeda pelat nomor kendaraan. Juga ada upaya pemalsuan plat nomor kendaraan bermotor bagi yang belum sanggup membeli kendaraan bermotor. Penegakan hukum dengan bantuan teknologi informasi (electronic traffic law enforcement atau ETLE) sangat membantu meringankan petugas Kepolisian Lalu Lintas untuk tidak harus ke lapangan lagi. Penegakan hukum pelanggar lalu lintas seperti ini lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Ojol masih semrawut, kebijakan larangan sepeda motor di Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin juga masih dihapuskan padahal ini baik sekali. Trotoar yang sudah rapi dan bersih dari PKL di Kawasan Stasiun Tanah Abang, kemudian diijinkan PKL berjualan. Kendati sudah dibuatkan lahan berdagang pengganti, namun kesemrawutan di trotoar yag dipenuhi PKL tersebut sulit ditertibkan seperti sedia kala. Jadi jangan sekali-kali masukkan transportasi menjadi janji politik yang desdruktif. Karena akan ada yang dikorbankan di lapangan. Hal lain yang juga jadi PR dan perlu dipastikan adalah integrasi antar-moda serta penertiban trotoar dari pangkalan ojek, parkir mobil serta pedagang kaki lima. Integrasi sudah berjalan dalam hal integrasi fisik dan integrasi jadwal perjalanan. Sementara integrasi pembayaran sedang dalam proses berlanguns. Jika kelak, integrasi pembayaran dapat terwujud, cukup satu tiket (one ticket) untuk semua moda transportasi umum. Pengguna transportasi umum dapat berlangganan tiket transportasi umum untuk harian, mingguan atau bulanan. Keberhasilan Kota Jakarta menata transportasi dapat dijadikan contoh para kepala daerah di kota-kota lain di Indonesia untuk untuk menata transportasi kotanya. Tahun 2020, Ditjenhubdat Kementerian Perhubungan telah mulai membantu penataan transportasi umum perkotaan di daerah dengan skema pendanaan pembelian layanan (buy the service) di lima kota. Kelima kota itu adalah Medan, Palembang, Yogyakarta, Surakarta dan Denpasar. Selain itu, akan dilanjutkan dengan program bantuan pembangunan infrastruktur sepeda di beberapa kota. Penyediaan transportasi umum harus disertai pula dengan penataan jalur sepeda dna fasilitas pejalan kaki. Kota-kota tersebut, kelak dapat dipersiapkan untuk mengikuti ajang Sustainable Transport Award di tahun mendatang. Setidaknya ikut untuk mengukur seberapa jauh pencapaian program yang sudah dikerjakan dalam menuju transportasi berkelanjutan. Semua pencapaian kesuksesan memang perlu proses dan pasti ada progres jika dilakukan dengan sungguh-sungguh. Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyaratakatan MTI Pusat