Social Distancing, WFH, Mudik, dan Lockdown

coronavirus-phishing-featured
coronavirus-phishing-featured
Gemapos.ID (Jakarta)-Kasus positif corona virus disease 2019/covid-19 (virus korona) terus menanjak setiap hari. Namun, laju ini tidak seimbang dengan orang yang sembuh, bahkan angka kematian lebih menonjol. Sampai Minggu (29/3/2020) pukul 12.00 disebutkan Juru Bicara (Jubir) Pemerintah Untuk Penanganan Virus Korona terjadi 1.285 kasus positif covid-19. Dari angka itu hanya sembuh 64 orang dan 114 meninggal dunia. Dari analisa pemerintah, kenaikan kasus positif covid-19 adalah penularan di masyarakat. Mengapa ini terjadi? Padahal, Pemerintah Pusat telah meminta social distancing (menjaga jarak) dilakukan antar mereka. Bahkan, work from home/WFH (bekerja dari rumah) telah dicanangkan Pemerintah Pusat. Kalaupun, bekerja tetap mesti berlangsung dilakukan oleh jumlah orang seminimal mungkin dengan waktu yang sesingkat mungkin. Bagi pekerjaan administratif bisa saja dilakukan demikian, tapi bagaimana pekerjaan di lapangan yang harus bertemu orang banyak. Apalagi, pekerjaan itu hanya bisa dilakukan memakai alat-alat produksi. Kalau itu dihentikan bagaimana perusahaan menghasilkan pendapatan tidak hanya untuk pemilik, namun ini juga bagi pekerja. Apakah adil perusahaan tidak memiliki pemasukan, tetapi organisasi bisnis ini harus memberikan upah setiap bulan. Apalagi, pekerja harian yang hanya memperoleh pendapatan yang dihitung dari yang dihasilkan setiap hari. Bahkan, pedagang, tukang ojek, supir taksi bisa makan apa jika mereka tidak melakukan aktivitasnya sepanjang hari. Bagi pekerja yang menganggap sudah tidak ada lagi yang tidak dapat dilakukannya, maka mereka beramai-ramai kembali ke kampung kumpul bersama keluarga. Filosofi Jawa,” Mangan ora Mangan Sing Penting Kumpul”, yang artinya makan tidak makan yang penting kumpul. Walaupun, sebagian mereka menyadari berpotensi membawa covid-19. Karena, penyebar ini tidak hanya dari orang yang sudah memperlihatkan gejala-gejala pilek, batuk, demam, dan sesak nafas. Namun, orang yang kelihatannya sehat bisa saja sedang menjalani masa inkubasi yang berlangsung selama 14 hari. Apabila itu sudah dilewati berbarengan rapid test (uji cepat)  dinyatakan negative, maka dia memang tidak mengandung covid-19. Pemerintah Pusat sudah menghalau mereka dengan informasi tersebut, tapi ini dikalahkan oleh filosofi tersebut. Begitupula himbauan Pemerintah Provinsi (Pemprov) sampai Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tidak mempan. Gula manis insentif sebesar Rp1,5juta per bulan dan berbagai insentif lain seperti pengalihan dari insentif ke 10 destinasi lokal, mudik bersama, dan keringana cicilan bank dan perusahaan pembiayaan tidak digubris. Karena, proses memperoleh itu bisa dibayangkan dalam penerapan social distancing, WFH, dan birokrasi tidak hanya di pemerintah, tetapi di swasta yang berbelit-belit menjadi tidak menarik baginya. Mengetahui berbagai upaya itu tidak bisa sukses dilakukan pemerintah pusat, sebagian pemkot dan pemkab telah melakukan lockdown (karantina wilayah) yang diklaim hanya pembatasan wilayah. Namun, sebelum melakukan itu apakah sudah dikoordinasikan dengan pihak terkait seperti bagaimana masyarakat tetap bisa mendapatkan uang dan menukarkan itu dengan bahan makanan pokok. Langkah ini dikhawatirkan semakin menambah penderitaan rakyat yang semula ingin menolong, tetapi ini hanya mengambil jalan pintas untuk penyelesaian penyebaran covid-10. Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota, dan pemerintah kabupaten hendaknya memikirkan penanganan covid-19 secara komprehensif. Jangan hanya mengambil keputusan menyelesaikan satu persoalan secara singkat, tetapi ini menimbulkan persoalan baru. Walaupun, ini wabah penyakit terbesar yang kali pertama dihadapi semua negara. Namun, ini tidak membuat alasan kebijakan yang diambil tergagap-gagap. Sekali lagi mari bergandengan tangan berbuatlah antarsesama sesuai kemampuan masing-masing. Semoga wabah covid-19 cepat diperoleh bagaimana solusi menghadapinya. (mam)