Produk Haram Bisa Beredar Akibat Omnibus Law

Ikhsan-Abdullah-01
Ikhsan-Abdullah-01
Gemapos.ID (Jakarta) - Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengemukakan Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) berpotensi melemahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama (Kemenag) sebagai penyelenggara Sistem Jaminan Halal. Karena, produsen bisa mengklaim produknya halal, sehingga mereka bisa dikesampingkan mengurusi sertifikasi halal. "Hal yang sangat tidak tepat di dalam Ketentuan Omnibus Jaminan Produk Halal adalah ketentuan 'self declare' ini adalah sesuatu yang diharamkan Undang-Undang No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebelum ada ketentuan Omnibus Law," katanya pada Rabu (7/10/2020). Sebelumnya, Sistem Jaminan Halal tergolong ketat dalam memberikan sertifikasi halal suatu produk. Namun, Omnibus Law memberikan peluang produsen melakukan deklarasi mandiri produknya halal. "Ini melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia," ujarnya. Semula MUI dan Kemenag dapat diberdayakan untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan edukasi kepada dunia usaha tentang berbagai hal terkait produk halal seperti cara memproduksi barang yang halal. Jadi, tidak semua UMKM bisa menggunakan bahan produksi seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela dan sagu. Banyak UMKM menggunakan bahan utama dari daging, margarin, room butter, bahan penolong, dan bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi. Hal ini berpotensi terkontaminasi materi tidak halal yang masih harus ditelusuri kehalalannya. "Halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam kluster perizinan dan kemudahan berusaha, tetapi halal itu adalah hukum syariah Islam yang menjadi domain dan kewenangan ulama," jelasnya. Pendekatan kehalalan produk bukan hanya didekati dengan ilmu fikih saja melalui deklarasi mandiri kehalalan. Namun, kehalalan produk harus menggunakan pendekatan teknologi pangan mengecek kandungan hasil produksi. Jika kehalalan hanya menggunakan pendekatan fikih saja dapat menjadikan produk tidak jelas riwayat kandungan materinya. Jadi, hal ini membutuhkan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan Fatwa oleh MUI. (mam)