Populisme Islam Ancam Kebhinekaan Indonesia

Saiful Mujani
Saiful Mujani
Genapos.ID (Jakarta) - Populisme Islam mengancam kebhinekaan Indonesia sebagai negara-bangsa dan menurunkan kualitas demokrasi. Populisme ini tidak hanya datang dari kelompok politik agama, melainkan juga kelompok nasionalis. Demikian salah satu kesimpulan yang muncul dalam orasi kebangsan Saiful Mujani yang diselenggarakan dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia dan Dies Natalis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 18 Agustus 2020. Sejak 1998, demokrasi Indonesia mengalami kemajuan, terutama dalam aspek hak-hak politik.Namun sepanjang enam tahun terakhir mengalami sedikit kemunduran dalam hal-hal yang banyak berkaitan dengan kebinekaan kita sebagai negara-bangsa. “Yang jadi masalah bagi kebinekaan Indonesia adalah apabila Islamisasi itu merupakan produk kebijakan negara atau pemerintah meskipun hanya berlaku bagi yang beragama Islam,” ujarnya Apabila itu terjadi, maka Piagam Jakarta kembali hidup dalam demokrasi Indonesia sekarang: Jadi, sebuah kebijakan negara, pusat atau daerah, yang hanya berlaku bagi orang Islam, dan tidak berlaku bagi non-Islam. “Kebijakan negara yang demikian adalah kebijakan sektarian dan diskriminatif, mengingkari konstitusi kita yang inklusif terhadap kebinekaan agama,” tuturnya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Buehler (2013) yang memaparkan bahwa sejumlah kebijakan publik yang eksklusif, hanya mengakomodasi kepentingan satu kelompok Islam (sektarian), mendiskriminasi non-Islam, telah dibuat di banyak daerah. Sepanjang1999-2009 sedikitnya169 kebijakan publik di berbagai daerah, provinsi dan kabupaten/kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah. Saiful mengemukakan banyak negara yang berpenduduk mayoritas Muslim menerbitkan kebijakan publik terkait dengan syariat Islam yang dilakukan oleh wakil rakyat dari partai berideologi Islam. Namun, itu tidak dilakukan partai-partai berideologi Islam akibat jumlahnya terlalu kecil dibandingkan partai-partai nasionalis. Sebuah studi menyebutkan kebijakan publik yang bermuatan syari’ah justru dilakukan oleh legislator daerah dari banyak partai nasionalis, bukan hanya partai berideologi Islam seperti PKS. (Buehler 2013) “Di antara legislator dari partai-partai nasionalis itu, di banyak daerah, tidak peduli dengan platform partai mereka yang menjunjung tinggi kebinekaan ketika mereka dihadapkan dengan gerakan, jaringan, dan lobi kelompok Islam yang punya agenda menerapkan syariat Islam dalam kebijakan publik di daerah,” paparnya. Banyak politisi nasionalis di daerah meleleh ketika dijanjikan oleh kelompok Islam bahwa mereka bakal mendapatkan banyak dukungan pemilih dalam pemilu. Demikian juga kepala daerah. Saiful menyebut gejala tunduknya legislator dan kepala daerah pada agenda kebijakan syari’ah. Karena, alasan dukungan elektoral merupakan karakteristik dari apa yang dikenal sebagai populisme Islam: keyakinan bahwa agenda-agenda dan kebijakan-kebijakan berbasis sentimen Islam yang diskriminatif terhadap non-Islam mendapat dukungan besar dari orang Islam. “Di tangan politisi demikian, Indonesia bisa menjadi negara syariah tanpa harus ada partai Islam yang kuat, tanpa harus dipimpin presiden yang berideologi Islam, tanpa harus mengubah UUD kita yang inklusif bagi kebinekaan itu, dan tanpa gerakan bersenjata seperti dilakukan DI/TII,” ungkapnya. “Bila populisme Islam dan Islamisasi Indonesia itu menguat maka kebinekaan yang menjadi fondasi negara-bangsa kita menjadi terancam,” pungkasnya. (din)