Polisi Virtual Restorative Justice atas UU ITE

Slamet Uliandi.
Slamet Uliandi.

Gemapos.ID (Jakarta) - Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri melakukan soft launching 'Virtual Police'. Polisi ini akan mengutamakan peringatan virtual sebagai bentuk pencegahan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian ketimbang penindakan. 

Dengan demikian, kebijakan tadi sejalan dengan surat edaran polri tentang kesadaran budaya beretika dunia digital. Salah satu poin surat edaran itu terkait upaya damai kasus UU ITE yang harus diprioritaskan penyidik demi dilaksanakannya restorative justice yang terdapat dalam program Virtual Police.

"Dengan kebijakan Bapak Kapolri bahwa penindakan itu bersifat ultimum remedium, jadi upaya terakhir," kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi.

Berikut ini merupakah langkah-langkah peringatan yang diberikan polisi sebelum dilakukannya penindakan.

1. . Polisi Minta Pendapat Ahli

Slamet mengemukakan tim patroli siber telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE sebelum memberikan peringatan virtual ke terduga pelanggar UU ITE. Ia menegaskan peringatan virtual itu dilakukan berdasarkan pendapat ahli sehingga bukan pendapat subjektif penyidik kepolisian.

"Saat dia upload, kemudian tim verifikasi melaporkan ke Mabes, ditanya kepada saksi ahli pidana, saksi ahli bahasa, saksi ahli UU ITE," ujarnya. 

Setelah tiga hal tersebut terpenuhi, baru kepolisian mengirimkan peringatan tersebut sehingga tidak subjektif oleh penyidik, rapi sudah melalui tahapan verifikasi oleh tim ahli. 

2. Polisi Beri Pesan Peringatan

Dittipidsiber melakukan patroli siber di media sosial (medsos) mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoaks serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram. Kemudian tim patroli Dittipidsiber akan mengirim pesan berupa direct message (DM) melalui WhatsApp atau media lainnya berupa peringatan.

Di dalam pesan tersebut disampaikan konten itu mengandung pelanggaran atau hoaks, saat orang melakukan kesalahan seperti mengunggah konten pada jam dan tanggal sekian. Konten ini berpotensi pidana SARA dengan ancaman hukuman penjara'. 

3. Polisi Beri pesan peringatan kedua

Penyidik memberikan pesan peringatan itu dua kali ke seseorang yang diduga mengunggah konten hoaks atau ujaran kebencian. Dalam waktu 1x24 jam maka konten tersebut harus diturunkan.

4. Polisi melakukan pemanggilan klarifikasi

Jika posting tidak diturunkan, penyidik akan memberikan peringatan lagi, tetapi jika tidak ada perubahan, maka akan ditingkatkan ke tahap pemanggilan untuk dimintai klarifikasi. Undangan klarifikasinya itu bersifat tertutup jadi orang tidak usah tahu karena privasi.

Namun kalau sudah dilakukan tahapan itu kemudian tidak mau kooperatif. "Sesuai perintah Bapak Kapolri, cara-cara humanis itu harus dikedepankan karena ini program 100 hari beliau polisi yang humanis," ujarnya. 

5. Penindakan berdasarkan restorative justice

Dittipidsiber juga menyampaikan sejumlah strategi untuk melakukan pencegahan, pertama dilakukan edukasi. Kemudian memperkuat kewaspadaan masyarakat terhadap potensi ancaman kamtibmas, meningkatkan pelayanan kinerja kepolisian demi keadilan dan kebermanfaatan hukum.

Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses yang pertama edukasi. Kemudian, peringatan virtual, setelah dilakukan peringatan virtual kita lakukan mediasi, restorative justice.

Setelah restorative justice dilanjutkan pelaporan polisi, sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum Hal ini mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice sehingga terciptanya ruang siber yang bersih, sehat, beretika, produktif dan beragam. 

Tindak pidana yang bisa dilakukan dengan cara restorative justice, misalnya pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Ia menyebut pelaku yang terlibat di kasus tersebut bisa tidak ditahan, karena restorative justice mengedepankan keadilan dan keseimbangan antar pelaku dan korban.

"Tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice, yaitu pertama pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Itu terdapat dalamUU ITE Pasal 27 ayat 3, Pasal 207 penghinaan terhadap penguasa, Pasal 310 dan Pasal 311. 

Untuk tindak pidana tersebut pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan itu tidak akan dilakukan penahanan mulai hari ini dan dapat diselesaikan dengan cara restorative justice. Tidak bisa ditahan, karena sudah dikeluarkan oleh Kapolri kepada seluruh jajaran apabila akan naik sidik harus dilakukan gelar secara virtual oleh Mabes Polri.

"Bukan berarti tidak dilakukan penahanan terus kita semena-mena, artinya kita sama sama koreksi diri," tuturnya. 

Slamet memaparkan kepolisian tidak akan menindak seseorang yang melakukan kritik terhadap pemerintahan. Kritik tersebut harus disampaikan secara beradab, tetapi jika kritik disampaikan dengan ujaran kebencian dan hoaks, maka akan ditindak.

"Dia tahu kok kritik itu mengandung hoaks, mengandung ujaran kebencian ditambah-tambah atau diedit, sehingga kalau bicara kritik kepada pemerintah kita tidak akan sentuh," ucapnya.