Pikirkan Wadah Penampung Mantan Anggota FPI

ahmad nurwahid2-gemapos
ahmad nurwahid2-gemapos
Gemapos.ID (Jakarta) - Pembubaran Front Pembebasan Islam (FPI) memberi berpengaruh bagi peta terorisme jika ini tidak dilakukannya kontra radikalisasi dan penampungan mantan anggota FPI. "Penampungan yang dimaksud adalah wadah atau sarana untuk para anggota eks-FPI ini untuk dilakukan kontraradikalisasi," kata Direktorat Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ahmad Nurwahid di Jakarta belum lama ini. FPI dinilai berideologi pragmatis dan memiliki kecenderungan pada politik. Jadi, mereka mendapat banyak tawaran atau banyak tukar pendapat masalah kebijakan negara. Menyinggung pergantian calon kapolri yang beragama non-muslim, lanjut Wahid, akan berpengaruh bagi kehidupan sosial dan politik di Indonesia. Karena isu agama kental dengan radikalisme. "Radikalisme mengatasnamakan agama adalah musuh agama dan musuh negara. Musuh agama karena paham, perilaku dan tindakannya bertentangan dengan ajaran agama yaitu menimbulkan perpecahan pada agamanya sendiri," ujarnya. Masyarakat dan instansi-instansi terkait diminta selalu waspada terhadap kemungkinan aksi terorisme di Tanah Air pada 2021. Pencegahan ini diharapkan dengan pembangunan infrastruktur secara baik dan adil. Terorisme tidak terlepas dari paham radikalisme lantaran terorisme sebagai hilir atau tindakan dan radikalisme adalah hulunya atau pahamnya. Hubungan antara terorisme dan radikalisme adalah teroris sudah pasti berpaham radikal, namun mempunyai paham radikal belum tentu akan menjadi teroris. "Beberapa faktor yang membuat manusia memiliki pemahaman radikal, yaitu politisasi agama, pemahaman agama menyimpang, intoleransi, kemiskinan dan kebodohan, kesejangan dan ketidakadilan. Selain itu sistem politik dan hukum lemah dan kondisi mental psikologi (kebencian dan dendam. Paham radikalisme sebagai hulu dari tindakan terorisme masih menjadi permasalahan di Indonesia. Hal ini akibat belum terdapat regulasi yang dapat menjerat radikalisme secara pidana. UU No 5 Tahun 2018 membuat instansi-instansi terkait bisa bertindak sebelum terjadi sesuatu, namun perlu ditambahkan penjabaran indikasi-indikasi khusus di dalam undang-undang tersebut. UU tentang paham radikalisme yang terdapat di Indonesia hanya UU No 27 Tahun 1999, namun UU itu hanya membahas tentang pelarangan ideologi komunisme, marxisme, dan lenninsme. Seharusnya UU tersebut direvisi menjadi larangan ideologi komunisme, marxisme, leninisme, dan seluruh ideologi yg bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. “Kalau ini belum ada, sampai kapan pak Shodiq (anggota Densus 88) ini menangkap teroris, sementara pohon radikalismenya itu masih tumbuh subur?” jelasnya. Akar masalah terorisme adalah ideologi. Hampir semua tahanan terorisme di Indonesia menginginkan Indonesia mengganti sistem pemerintahannya dengan sistem khilafah. Hal ini diakibatkan oleh ideologi pemahaman keagamaan yang menyimpang atau mengalami distorsi. "Radikalisme dan terorisme tidak dimonopoli oleh satu agama namun terdapat di setiap agama, sekte, kelompok bahkan individu," paparnya. UU No 5/2018 menyebutkan tiga strategi yang dapat dilakukan mencegah aksi terorisme, yaitu kesiapsiagaan nasional (dengan cara memperkuat ideologi nasional terhadap ideologi radikal melalui character building). Kemudian, kontra radikalisasi (untuk yang belum terpapar radikalisme dengan parah) dan deradikalisasi (dengan target narapidana maupun mantan narapidana terorisme). Delapan strategi dan kebijakan efektif dan aplikatif dalam menghadapi terorisme.
  1. Membuat regulasi yang kuat dan luas untuk mencegah paham radikalisme dan terorisme
  2. Penguatan kelembagaan dan komitmen yang berintegritas, kuat, berani, dan tegas serta melaksanakan koordinasi dengan instansi-instansi terkait.
  3. Memperkuat dan melibatkan masyarakat, terutama organisasi masyarakat moderat dan civitas akademi karena perkembangan radikalisasi masih masif di kampus-kampus, dengan memberdayagunkaknnya secara optimal. Penanggulangan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, namun juga diperlukan peran serta masyarakat.
  4. Memutus penyebaran dengan screening ketat di lingkungan ASN, TNI/Polri, dan pegawai BUMN dan memberi sanksi yang tegas pada pihak yang terlibat radikalisme dan terorisme.
  5.  Memutus jalur dan media propaganda dengan sertifikasi ustadz dan khatib, memastikan takmir masjid dikelola oleh ustadz moderat, kontrol ketat infrastruktur propaganda baik media cetak maupun elektronik.
  6. Memutus kaderisasi dgn mengevaluasi dan mencabut izin lembaga pendidikan yang mengajarkan intoleransi dan paham takriri, dan meremajakan kurikulum pendidikan yang berwawasan kebangsaan.
  7.  Memutus logistik radikalisme dan terorisme dengan melakukan kontrol dan larangan penyaluran bantuan CSR perusahaan dan melarang bantuan asing yang mendukung kegiatan sektarianisme.
  8. Character building- akhlak kebangsaan dan revolusi mental dengan penguatan nasionalisme dan empat konsensus nasional dengan pendekatan tasawuf/agsakta  yang mudah terpapar radikalisasi.
Wahid menceritakan pengalamannya bertemu dengan tersangka terorisme dari kaum eksakta yang mudah terpapar radikalisasi. Kaum eksakta yang berlatarbelakang agamanya dapat hidayah ingin tobat biasa berpikir praktis, logis dan tekstualitis. "Jadi [mereka] berpikir Al-Quran itu sudah benar, wahyu Allah, [lalu] kenapa harus ditafsirkan? Cukup dibaca sudah jelas terjemahannya," tukasnya. (m4)