Perempuan dan Anak Terdampak Pandemi Covid-19

IMG20200909123228_compress2
IMG20200909123228_compress2
Gemapos.ID (Jakarta) – Pandemi Covid-19 berdampak bagi kehidupan masyarakat di semua negara termasuk Indonesia. Salah satu kelompok masyarakat itu adalah perempuan dan anak. Pengaruh yang terlihat dari pandemi Covid-19 seperti peningkatan tekanan dan emosional dalam hubungan dan peran timbal balik yang berakibat gesekan dan persoalan keharmonisan keluarga. Masyarakat dan pemerintah harus turun tangan mengatasi dan memberikan solusi bagi masalah tersebut. Mereka diharapkan bisa bersinergi melewati masa-masa pandemi Covid-19. Untuk mengetahui secara mendalam bagaimana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) merespon ini, Wartawan Gemapos.ID Esra Ambarita dan Fernandez Hutagalung menemui Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu di ruang kerjanya pada Rabu, 9 September 2020. Berikut petikan wawancara selengkapnya. Bagaimana Anda melihat perempuan dan anak di Indonesia menghadapi pandemi Covid-19? Kondisi ekonomi memiliki dampak besar terhadap perempuan dan anak, bukan hanya laki-laki. Kalau kita lihat dari suatu konsumsi keluarga misalnya, kita bisa melihat di situ banyak peran perempuan terutama terkait masa pengasuhan akan menjadi berat, misalnya anak-anak yang tadinya sekolah, sekarang harus belajar di rumah dengan mempergunakan IT (Information Technology). Ini menjadi masalah besar, pertama apakah ibu punya waktu atau tidak untuk bisa menemani anaknya. Kedua, apakah ibu memiliki kapasitas bisa mendidik anaknya di rumah dengan mendampinginya dengan berbagai macam pelajaran di sekolah. Ketiga dampak IT, tidak selalu positif, dia seperti pedang bermata dua, satu dia bisa membuka akses anak terhadap berbagai informasi dan bisa dampak negatif, anak bisa kecanduan gawai, anak bisa mengakses ruang pornografi. Dari sisi anak, banyak isu yang terkait dengan Covid-19, misalnya data di kami menunjukkan isu perkawinan anak jadi meningkat selama masa pandemi Covid-19. Kemudian, isu perceraian menjadi meningkat, jadi perselisihan keluarga itu jadi naik. Apakah lingkungan sekitar bisa berperan mengatasi persoalan tersebut? Yang paling efektif menangani berbagai masalah terkait perempuan dan anak adalah bagaimana membangun gerakan bersama melindungi anak dan perempuan. Pada beberapa wilayah jalan keluar yang diambil oleh masyarakat adalah membuat forum-forum tempat belajar anak dan melakukan akses internet bersama. Kementerian pendidikan sudah memberikan fasilitasi biaya akses internet tapi buat anak bukan hanya akses internetnya, tapi bagaimana orang yang bisa mendampingi dia jadi poin penting. Pengasuhnya itu dulu bisa dilakukan oleh guru di sekolah, semenjak sekolah dilakukan di rumah, ini jadi masalah besar, karena kapasitas orang tua belum tentu sama dengan kapasitas guru. Peran masyarakat bisa menggantikan peran guru di sekolah. Pada beberapa kelompok masyarakat mereka patungan mencari volunteer yang mampu mendampingi anak seperti di sekolah. Peran masyarakat menjadi penting untuk bisa menggantikan peran orang tua. Bagaimana Anda memandang banyak orang tua 'menyerah' menghadapi berbagai tekanan akibat pandemi Covid-19? Kementerian Pemberdyaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengembangkan berbagai bahan edukasi yang berbasis IT, membantu keluarga dengan berbagai pengetahuan, misalnya bagaimana menjadi ibu melahirkan, ibu hamil, dan ibu nifas. Kita juga memberikan informasi ekonomi perempuan yang bekerja sama dengan PNM Mekar. Seluruh nasabah PNM Mekar diberikan pemahaman mengenai bagaimana mencegah kekerasan, bagaimana melindungi dirinya, dan menyayangi anak. Bagaimana Anda memandang sebagian pihak menyarankan penundaan pernikahan?  Sekarang sudah banyak pernikahan konsep drive thru. Masyarakat punya solusi sendiri terkait bagaimana mereka merencanakan pernikahan sekarang. Malahan, teman-teman anak saya bilang kalau mau nikah sekarang waktunya, karena nggak ada stigma masyarakat. Kita bisa nikah dengan cara yang paling sederhana. Masalah yang penting adalah kesiapan dua orangnya yang mau nikah, perempuan dan laki-laki siap jadi orang tua. Filosofi pernikahan juga bukan hanya dia, tapi dua keluarga yang bergabung menjadi satu dan ada mandat dari Tuhan, karena dia nanti punya generasi penerus punya anak. Pernikahan sesuatu yang harus dipersiapkan dengan matang, menurut saya bukan bagaimana prosesi pernikahannya tapi kesiapannya itu tadi untuk menikah. Bagaimana tanggapan Anda tentang saran sebagian orang menunda kehamilan bagi perempuan saat pandemi Covid-19? Kembali kepada hakikat membentuk keluarga untuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Kalau kita mau punya anak yang harus dipikirkan baik-baik oleh laki-laki dan perempuan adalah merencanakan hidup keluarganya. Paling tidak ada empat hal yang harus dipersiapkan dengan baik, pertama adalah legalitas pasti sebelum nikah, legalitas dan paham mengenai kesetaraan gender supaya ketika dia  membentuk keluarga. Dia sudah terbangun mindset, saya laki-laki mengerti dan menghormati perempuan dan saya perempuan mengerti dan menghormati laki-laki. Bagaimana rasa sayang-menyayangi, siap secara secara fisik, siap secara ekonomi, siap secara sosial budaya dan siap secara sosial kultural. Apakah pemerintah sudah mengkampanyekan protokol kesehatan bagi masyarakat secara efektif? Kalau pemerintah sudah terus-terusan bagi-bagi masker di mana-mana sampai kemudian mulai pemberian tilang. Kita sebenarnya bagian dari meningkatkan sensitifitas pengetahuan dan attitute yang berubah dalam beberapa tahun ke depan gaya begini (menggunakan masker) sebelumnya menemukan vaksinnya. Sekarang tinggal bagaimana seluruh komponen bangsa bergerak, jadi bukan cuman pemerintah bicara mengenai bagaimana mencegah Covid-19. Kadang-kadang omongan pemerintah itu enggak terlalu efektif pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Apa pesan Anda supaya keluarga supaya lebih peduli kepada anggota-anggotanya di tengah pandemi Covid-19? Kepada seluruh orang tua di Indonesia ini agar paham mengenai apa yang kita hadapi di era pandemi Covid-19, karena itu kita wajib mencegah dan melindungi anak-anak dan keluarga kita di rumah. Kemudian, laksanakan protokol kesehatan dengan baik yakni jaga jarak, cuci tangan, perbaiki sanitasi, dan pakai masker. Itu sebenarnya sudah life style dari setiap keluarga di Indonesia. Kasus terakhir di Korea Selatan, itu Kasus Starbuck menjadi pusat penyebaran baru, karena ada 50 orang lebih tapi tidak satupun petugas Starbuck yang kena. Karena, mereka menggunakan ini (masker) dan cuci tangan dan ganti baju sebelum mereka pulang. Enggak ada satu pun yang kena, padahal dia tuh jadi episentrum baru penyebaran pandemi Covid-19. Ada lebih dari 50 orang yang kena. Bagaimana kualitas anak di Indonesia? Kualitas sekarang menurut saya jauh lebih baik, tetapi masalah pendidikan bukan hanya pendidikan kognitif tetapi juga pendidikan karakter yang mungkin perlu dorongan besar untuk bagaimana kita memastikan setiap anak dalam 30 tahun sampai 50 tahun ke depan memiliki karakter yag kuat. Orang Jepang melatih bagaimana tahan banting anak untuk mencintai negerinya. Jadi penting itu mencintai negerinya, mencintai budayanya, orang Jepang kemanapun pergi orang tahu dia orang Jepang, karena enggak berubah gayanya. Bagaimana kita mampu membangun karakter anak-anak agar dia mampu menjadi karakter yang tinggi dan berkarakter yang kuat. Bagimana Anda menanggapi anak yang harus bekerja untuk bertahan hidup? Pilihan anak bekerja sebenarnya harus dihindari oleh setiap orang tua dan keluarga. Maka itu membentuk keluarga harus ada kesiapan di empat pilar itu tadi, ekonomi, fisik, sosial budaya secara psikologi. Pada saat dia dititipkan Tuhan seorang anak, dia harus mampu tadi, jangan disuruh kerja, berarti dia hubungannya dengan Tuhan juga enggak bagus itu mempekerjakan titipan Tuhan. Apa tantangan yang dihadapi KPPA menjalankan kerjanya? Menurut saya menjadi tantangan buat KPPA ke depan mendorong mindset mengenai kesetaraan gender, karena isu gender itu temporal spasial berdasarkan ruang dan waktu itu beda-beda. Kalau kita ngomong isu gender di Sumatera Barat dengan ngomong itu gender di Sumatera Utara berbeda, karena ada budaya yang mempengaruhi di belakangnya, budaya perilaku nenek kakek kita. bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki itu kan berbeda-beda menjadi perempuan dan laki-laki yang ideal sesuai dengan harapan KPPA yang selaras dan seimbang itu tadi yang jadi tantangan kita. Bagaimana isu ketimpangan gender? Yang KPPA laksanakan adalah gender dari sisi konstruksi sosialnya, konstruksi sosial yang membedakan laki-laki dan perempuan. Jadi pengalaman, akses, dan kontrol menjadi perempuan dan laki-laki yang berbeda . Karena, itulah maka gender berdasarkan ruang dan waktu. Isu gender waktu jaman Kartini dengan di jaman Anda berbeda. Jaman Kartini mau sekolah susah, sekarang waktu jaman Anda sekolah gampang, SD SMP SMA disubsidi pemerintah, Data BPS tentang angka partisipasi sekolah perempuan di 15 provinsi sudah melampaui laki-laki. Kalau 100 itu angka ideal pada beberapa provinsi, 15 provinsi itu angkanya sudah 100 lebih yakni 110 dan 127, berarti ada laki-laki yang hilang. Ketika kita bicara isu gender dari bidang pendidikan yang jadi masalah isu gendernya itu ketimpangan besarnya terjadi dari drop out-nya. Perempuan tinggi dropout-nya. Dari isu kesehatan angka kematian yang tinggi sampai sekarang, kita belum bisa nurunin. Kemudian, dari sisi ketenagakerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerjanya rendah, ini yang isunya macam-macam perempuan harusnya di rumah ngurusin dapur, jadi dia nggak usah kerja. Ketika suami dalam keluarga meninggal, siapa yang menghidupi keluarganya, maka perempuan menggantikan peran. Karena, itulah setiap keluarga sebenarnya harus mempersiapkan anak perempuannya bisa survive dan life skill. Apa hubungan kekerasan dengan investasi? Setiap orang punya hak untuk mendapat pekerjaan yang sebaik-baiknya, perempuan maupun laki-laki, tapi kemudian kalau dia mengalami kekerasan apapun bentuk kekerasannya, maka sia-sialah. Negara sudah bayar berapa 20% dari total APBN untuk sekolah, lima persen dari total APBN sudah kita bayar untuk supaya orang bisa sehat, ada program-program dikeluarkan untuk ketenagakerjaan, tapi semua akan menjadi sia-sia kalau orang itu mendapatkan kekerasan.