Penyelesaian Konflik antara Masyarakat dan Perusahaan Sawit

palm-kelapa-sawit
palm-kelapa-sawit
Gemapos.ID (Jakarta) Konflik antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat seringkali terjadi di Indonesia. Dalam waktu dua dekade terakhir terdapat 69 konflik antara perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat setempat. Sejumlah 32 kasus berhasil diteliti. Hasil penelitian Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI). Dari 32 kasus, 66% permasalahan berpusat pada permasalahan skema plasma (bagi hasil) dan 47% berpusat pada permasalahan penyerobotan lahan. Serta hampir semua kasus disebabkan oleh kedua masalah tersebut, bahkan ada yang lebih. Peneliti senior KITLV Leiden Ward Berenschot permasalahan skema plasma berakar pada tidak terealisasinya lahan plasma seperti dalam pernjanjian, terealisasinya lahan plasma namun keuntungan bagi masyarakat terlalu kecil bahkan tidak ada, atau koperasi yang dibentuk untuk managemen skema plasma tidak berfungsi karena tidak adan transparansi antara penjalan koperasi tersebut terhadap anggotanya. Permasalahan terbanyak disebabkan oleh penyerobotan lahan oleh perusahaan kelapa sawit. Padahal secara hukum dan standar indsutri kelapa sawit, perusahaan wajib mendapatkan izin dari masyarakat untuk membuka lahan kelapa sawit, namun tidak semua perusahaan mengupayakan perizinan ini sehingga masyarakat merasa dicurangi. Dalam beberapa kasus juga terdapat perusahaan yang melakukan pendekatan terhadap seorang tokoh masyarakat yang tidak mewakili anggotanya dengan tidak memberikan informasi yang akurat dan tidak lengkap tentang dampak dari pembangunan perkebunan, melakukan intimidasi menggunakan preman, dan transparansi pembayaran kompensasi ke masyarakat yang kurang baik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebenarnya banyak masyarakat yang tidak menolak adanya perkebunan kelapa sawit, namun mereka meminta timbal balik yang lebih baik dari adanya perkebunan kelapa sawit tersebut. Masyarakat ingin adanya kompensasi yang adil atas tanah mereka yang hilang, meminta sebagian tanah mereka dikembalikan, dan adanya peluang bagi masyarakat lokal untuk berkontribusi dalam perusahaan kelapa sawit tersebut. Semetara itu menurut Perwakilan gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sadino mengatakan bahwa persoalan kepastian lahan dan hukum di Indonesia adalah sumber dari masalah antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat setempat. Menurutnya banyak hutan yang diakui sebagai milik masyarakat tidak didukung dengan adanya bukti sertifikat. Sementara hukum agraria tidak dapat diterapkan di seluruh wilayah sehingga hal ini menyebabkan perusahaan menjadi sulit dan bingung harus melakukan komunikasi dengan siapa jika tidak ada bukti sertifikat. Ia memberi saran bahwa adanya kepastian lahan dan hukum akan mempermudah adanya solusi dalam penyelesaian konflik antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. Masyarakat seringkali mengungkapkan perasaan protesnya dengan melakukan demo dan audiensi dengan pihak berwenang di tingkat lokal. Namun mirisnya pengusaha sering mengkriminalisasi para pemimpin protes. Terdapat 94 kali penangkapan di kasus yang diteliti di Kalbar. Dari 32 kasus yang diteliti, 66% konflik hampir, bahkan ada yang, tidak berhasil sama sekali diselesaikan. Konflik yang berhasil diselesaikan pun memakan waktu yang sangat lama dengan rata-rata lima tahun. Peneliti KITLV Leiden Ahmad Dhiaulhaq menjabarkan bahwa hal ini disebabkan oleh karena tidak berhasilnya pihak berwenang di tingkat lokal dalam memediasi proses penyelesaian konflik antara perusahaan masyarakat dan masyarakat. Dari 26 upaya pemerintah daerah, DPRD, dan polisi dalam memediasi konflik antara perusahaan kelapa sawit dan masyarat, hanya tiga kasus yang dapat mencapai kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat dan kesepakatan itu memang diimplementasikan. Sementara itu juga terdapat lima kasus yang di bawa ke pengadilan dan lima lainnya melakukan penyelesaian sengketa RSPO. Penyelesaian masalah dengan fasilitas ini jarang digunakan karena adanya kendala hukum, biaya, kekurangpercayaan dan rumitnya prosedur. Terdapat tiga kasus yang dimenangkan oleh masyarakat di pengadilan pun, perusahaan tidak mengimplementasikan putusan pengadilan tersebut. Mediator profesional lebih diminati sebagai penyelesaian masalah daripada pengadilan karena lebih efektif dalam menjadi jembatan bagi perusahaan dan masyarakat dalam penyelesaian konflik kelapa sawit. POCAJI menyarankan pemerintah daerah untuk memastikan bahwa perusahaan sudah mendapatkan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan dari masyarakat lokal sebelum membuka lahan kelapa sawit dan memantau terimplementasinya perjanjian tersebut. POCAJI juga menyarankan dibentuknya lembaga mediasi tingkat provinsi atau kabupaten untuk menyelesaikan masalah, meningkatkan kemampuan pihak berwenang dalam menyelesaikan konflik, dan tegas menjatuhkan sanksi pada perusahaan yang tidak kooperatif dalam penyelesaian konflik. Serta pemastian penegakkan hukum tidak ditekan oleh pelaku bisnis. Pemerintah kabupaten juga memiliki peran yang penting dalam mencegah terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit. “Semua aturan dalam perkebunan sudah ada, tinggal dijalankan. Perangkatnya juga sudah ada, tinggal dikerjakan. Kabupaten bisa memberi teguran kepada perusahaan, tapi perusahaan juga harus dilindungi sebab telah ada izin. Jika tidak ada izin, kabupaten bisa beri sanksi tegas,” jelas Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Heronimus Hero. Sementara itu Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menjelaskan bahwa upaya penyelesaian konflik kelapa sawit lebih banyak dilimpahkan kepada perangkat desa dalam melakukan mediasi dan pendekatan terhadap dua pihak yang bertikai. (m3)