Papua Minta Kewenangan Pemerintahan Sendiri

dpr
dpr
Gemapos.ID (Jakarta) - Rapat Paripurna DPR masa sidang 2021-2022 yang dibuka Ketua DPR Puan Maharani pada Senin (11/1/2021) sempat diwarnai permintaan revisi UU no 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Otonomi Khusus Papua adalah kewenangan khusus yang diberikan dan diakui oleh Pemerintah Pusat kepada Papua untuk mengatur dan mengurus sesuai aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Anggota Komisi VII DPR, Marthen Douw meminta pemerintah untuk memperhatikan isi UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Karena, isi dari otsus tersebut adalah roh yang telah masuk daripada RUU (Rancangan Undang-Undang) tersebut. "Saya meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru melaksanakan Operasi Blok Wabu," katanya. Freeport menduduki wilayah tersebut pada waktu lalu tidak memberikan keuntungan bagi warga Papua. Bahkan, sampai saat ini Papua masih menduduki daftar wilayah paling miskin di Indonesia. Blok Wabu adalah sebuah lahan bekas PT Freeport di Papua yang belum sempat dieksploitasi dan diperkirakan memiliki keuntungan 8,1 juta troy ons. Anggota Komisi V DPR Willem Wandik menambahkan konflik di Papua belum juga mereda sejak dua tahun terakhir. Bahkan, sejumlah korban sudah berjatuhan di Kabupaten Nduga dan Kabupaten Intan Jaya Papua. “Berbagai upaya pemerintah pusat sampai hari ini tidak membuahkan hasil dalam menghadirkan suasana yang aman, damai, adam ayem, dan tenteram," ujarnya. Pemerintah diminta memberikan kewenangan kembali kepada Papua untuk menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Konflik di Papua memerlukan pendekatan local wisdom (kearifan lokal). Pemerintah diminta fokus pada subtansi dari semangat otsus tersebut. "Papua tidak membutuhkan uang, namun yang lebih dibutuhkan Papua adalah kewenangan sesuai dengan otonomi khusus tanah Papua, " tegas nya. Willem juga sempat menyinggung tentang banyak kasus intoleransi sentimen antara golongan, etnis, ras, dan politik identitas, serta ekstimisme di Indonesia. Dia memberikan saran pada pemerintah untuk juga fokus dan meningkatkan pengembangan pendidikan pluralisme dalam kurikulum pendidikan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 87 Tahun 2017. Pluralisme itu bukan bermaksud untuk memaksakan setiap keyakinan yang berbeda untuk diyakini dan diimani oleh orang lain. "Pluralisme merupakan sikap dan pikiran yang terbuka, toleran terhadap setiap perbedaan serta mampu menciptakan rasa harmoni di tengah-tengah kehidupan yang berbeda dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara,” pungkasnya. (m4)