Mencari Peran Partai Politik di Era Digital

aji setiawan
aji setiawan
Politik menurut bahasa Yunani “Politikos” berarti dari, untuk, atau terkait hubungan dengan warga negara”, politik adalah praktik dan teori untuk mempengaruhi orang lain. Pengertian sempitnya politik mengacu pada pencapaian atas posisi pemerintahan dalam melatih, mengorganisir, dan mengawasi masyarakat, khususnya dalam suatu negara. Selanjutnya, dikatakan politik adalah satu bidang studi yang pada praktiknya mendistribusikan suatu kekuasaan dan menunjukan sumber daya dalam suatu kehidupan bermasyarakat (populasi merupakan hierarki yang terorganisir) serta memiliki konteks hubungan antar masyarakat. Nimmo merangkum definisi “politik” dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America, yakni sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perilaku dibawah kondisi konflik sosial. Politik pada dasarnya juga seperti komunikasi merupakan suatu tindakan yang melibatkan pembicaraan. Dalam hal ini tidak sekadar pembicaraan dalam arti sempit tetapi dalam arti yang luas, baik yang bersifat verbal (lisan atau tulisan) maupun yang bersifat nonverbal (berbagai gerak, isyarat, maupun tindakan). Enam hal yang ditekankan dalan ilmu politik, yaitu kekuasaan, negara, pemerintahan, fakta-fakta politik, kegiatan politik, organisasi masyarakat. Sedangkan objek ilmu politik meliputi dua hal yaitu: Material (objek ini berwujud pada perjuangan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan objek negara, kekuasaan, pemerintah, fakta-fakta politik, kegiatan politik, dan organisasi masyarakat). Formal (pengetahuan, pusat perhatian). Dengan demikian, Syarbaini menyimpulkan ada lima konsep tentang ilmu politik, yaitu (1) sebagai usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, (2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah, (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan, (4) kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, dan (5) sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting. Banyak para ilmuwan politik yang menjelaskan tentang sejarah politik walaupun sering bias terhadap sejarah kontemporer. Pada umumnya mereka percaya bahwa tugas ilmuwan politik menawarkan penjelasan-penjelasan retrodiktif bukannya prediksi-prediksi yang kritis dan sangat deskriptif. Mereka yakin bahwa kebenaran terletak pada arsip-arsip pemerintah. (O’Leary, 2000: 790). Selain itu secara garis besar, politik cenderung terbagi dua kubu: Pertama, Hight politics (politik tinggi), yaitu yang mempelajari perilaku politik para pembuat keputusan elit; mereka percaya bahwa kepribadian dan mekanisasi para elit politik adalah kunci pembuat sejarah. Mereka juga percaya bahwa perluasan kekuasaan dan kepentingan diri dapat menjelaskan perilaku sebagian besar kaum elit. Kedua, Low politics (politik bawah), atau politik dari bawah. Mereka percaya bahwa perilaku politik massa memberikan kunci untuk menjelaskan episode-episode politik utama seperti halnya beberapa revolusi yang terjadi. Selain itu bagi mereka kharisma, plot, maupun blunder para pemimpin kurang begitu penting dibanding dengan perubahan nilai-nilai kepentingan dan tindakan kolektivitas. Teknologi digital, adalah teknologi yang tidak lagi menggunakan tenaga manusia, atau manual. Tetapi cenderung pada sistem pengoperasian yang otomatis dengan sistem komputerisasi atau format yang dapat dibaca oleh komputer. Teknologi digital pada dasarnya hanyalah sistem penghitung yang sangat cepat yang memproses semua bentuk-bentuk informasi sebagai nilai-nilai numeris.[6] Dalam teori politik, rendahnya partisipasi politik dapat teratasi oleh faktor modernisasi dan meningkatnya komunikasi massa.[7]. Sehingga bisa dikatakan teknologi digital sebagai produk modernisasi dan alat komunikasi yang memiliki massa yang besar, sangat mungkin sekali turut memberikan andil pada peningkatan angka partisipasi masyarakat pada suatu politik Jika membicarakan sistem digital maka tidak akan terlepas dari perkembangan teknologi. Politik digital atau istilahnya lainnya Cyberpolitics (politik di dunia maya) memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada saat ini. Teknologi secara umum didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan seseorang terhadap suatu objek dengan atau tanpa bantuan alat mekanis, untuk melakukan suatu perubahan dalam objek tersebut. Teknologi digital memiliki peranan dalam dunia politik, yakni bagaimana cara seorang tokoh politik dapat melakukan komunikasi politik yang baik dan tepat. Teknologi komunikasi atau informasi adalah istilah yang merujuk pada teknologi komunikasi modern yang terutama mencerminkan aplikasi komputer, telekomunikasi, atau kombinasi dari keduanya. Termasuk televisi yang disiarkan secara global, dan tentu termasuk perangkat yang digunakan sebagai media sosial seperti i-pad dan smartphone. Schiller mengatakan data yang diperoleh lewat satelit –penginderaan-jauh (remote sensing satellite) yang diluncurkan suatu negara maju dapat digunakan untuk memantau hasil panen, mengeksplorasi kandungan logam, gas, dan minyak, pengelolaan hutan, inventori sumber alam nasional, pengendalian banjir, dan penentuan konsentrasi kekayaan ikan bagi industri perikanan, pemetaan rute pipa lewat pegunungan, ekstrapolasi model geologis, prediksi wilayah batuan yang retak untuk pengendalian keselamatan dalam penambangan. Data tersebut dapat digunakan oleh negara itu untuk bernegosiasi dengan negara lain. Untuk tujuan itu, negara maju tersebut dapat bersekongkol dengan negara maju lainnya untuk mengeruk kekayaan alam negara miskin atau negara berkembang yang belum mampu mengolah sumber alamnya sendiri. Informasi yang disiarkan televisi lewat satelit komunikasi dapat dimanfaatkan oleh penguasa untuk mengembangkan dan mengendalikan konflik sosial (termasuk konflik antar negara). Clarke dan Knake (2010) membahas bagaimana pemanfaatan teknologi di era digital khususnya internet, menjadi ajang baru dalam “perang antar Negara” dan bagaimana Negara dapat bertahan dalam peperangan cyber tersebut. Maka tidak mengherankan jika teknologi digital digunakan oleh seorang pemimpin suatu negara untuk mengancam pemimpin negara lain. Contohnya, pada bulan Agustus 1999, Jose Ramos Horta mengancam bahwa jika Indonesia tidak menyelenggarakan referendum bagi kemerdekaan timor timur, maka pasukan cyber dari seluruh dunia akan meretas sistem komputer pemerintah Indonesia yang vital, terutama dalam bidang pertahanan dan perbankan. Perkembangan teknologi di era digital sekarang ini telah memudahkan aspek politik untuk masuk lebih mudah dan lebih terbuka. Dalam hal ini media massa memiliki peranan yang penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat modern di Indonesia termasuk kehidupan berpolitik. Para tokoh memanfaatkan media massa dengan berbagai tujuan, untuk mempercepat proses perubahan sosial di Indonesia, untuk kampanye politik, advertensi dan propaganda. Penggunaan media massa untuk suatu kampanye tampaknya sangat esensial dalam kehidupan politik. Khususnya televisi, surat kabar, dan internet akan menjadi media utama dalam meningkatkan citra diri politisi. Di Indonesia peran teknologi komunikasi dengan sistem digital dapat digunakan sebagai katalisator pertumbuhan demokrasi, antara lain lewat wacana publik, pertukaran pendapat, dan kebebasan pers. Salah satu pemanfaatannya adalah untuk memperlancar dan mempercepat pemilihan umum (kampanye, perhitungan suara, dan penyampaian hasilnya. Dengan demikian teknologi komunikasi dapat memperkuat dan meningkatkan mutu demokrasi. Setelah pemilihan umum tahun 1971, tingkat partisipasi politik rakyat Indonesia mengalami penurunan secara teratur. Pada Pemilu 1971, tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,6 persen, dengan jumlah Golongan Putih (golput) hanya 3,4 persen. Memasuki Pemilu era reformasi, Pemilu 1999, tingkat partisipasi pemilih menyentuh 92,6 persen. Tapi angka Golput menjadi semakin tinggi pada Pemilu Legislatif 2004, yaitu 15,9 persen. Dengan kata lain, tingkat partisipasi politik pemilih menurun drastis menjadi 84,1 persen. Pada Pilpres 2004, tingkat partisipasi politik semakin menurun menjadi 78,2 persen dan jumlah Golput 21,8 persen. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih terus mengalami penurunan hanya 70,9 persen. Pada Pilpres 2009, tingkat partisipasi politik pemilih menurun menjadi 71,7 persen dan jumlah golput mencapai 28,3 persen. Pada Pemilu Legislatif 2014, tingkat partisipasi politik pemilih mengalami peningkatan signifikan sebanyak 5 digit persen, dari 70 persen menjadi 75 persen. Fenomena Golput yang sebelumnya dikhawatirkan meningkat tajam, ternyata tidak terjadi. Peningkatan partisipasi politik pemilih ini bisa jadi dipacu oleh kehadiran teknologi digital (sosial media) di dunia politik. Setidaknya satu fakta yang penting bahwa jumlah pemilih pemula pada Pileg 2014 mencapai 50 juta pemilih. Artinya, bukan sesuatu yang terlalu jauh untuk dikorelasikan, jika sosial media mungkin saja menjadi faktor yang memantik ketertarikan pemilih pemula untuk berpartisipasi secara politik. Karena politik sudah mulai dekat dengan dunia mereka, yakni dunia digital.   Media Sosial  Penggunaan media sosial tidak sekadar sarana untuk mempererat silaturahmi namun sudah membahas pada isu-isu politik, kebijakan pemerintah, perilaku para tokoh publik. Media sosial telah menjadi bagian dalam setiap kehidupan masyarakat termasuk ranah politik yang bisa dimanfaatkan untuk sarana komunikasi, mempromosikan diri, sosialisasi, termasuk promosi partai politik untuk membangun citra partai. Pemanfaatan media sosial untuk berpolitik biasanya akan terlihat ketika akan diselenggarakannya pemilu untuk kampanye politik. Selain itu dalam era digital pemanfaatan media sosial oleh sejumlah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di Indonesia dimanfaatkan sebagai salah satu alat komunikasi untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya memanfaatkan Facebook, Twitter,Instagram, dan Youtube sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pendapat tentang isu-isu terkini baik politik, sosial, budaya yang terjadi di tengah masyarakat. Meski pada pemerintahan sebelumnya televisi dan radio sudah dimanfaatkan meski tidak ada yang mencapai pada ranah media sosial untuk upaya interaksi dengan masyarakatnya. Perubahan yang terjadi di era digital ini seiring dengan pesatnya penetrasi internet di dunia. Jika pada akhir 2000 pengguna internet di dunia 360,9 juta, pada akhir 2013 jumlahnya sudah 2,8 miliar atau 39 persen dari jumlah penduduk dunia 7,4 miliar. Menurut data Internet World Stats, jumlah terbanyak pengguna internet 2014 berada di Asia (1,26 miliar) disusul Eropa (566,2 juta), Amerika Latin dan Karibia (302 juta), Amerika utara (300,2 juta), Afrika (240,1 juta), Timur Tengah (103,8 juta), dan Australia-Oseania (24,8 juta). Partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam mewujudkan Negara Indonesia yang demokratis. Dalam bahasan kali ini, partai politik mempunyai tugas untuk memberikan penanaman nilai-nilai untuk kedewasaan berpolitik (Pendidikan Politik) terhadap masyarakat khususnya terhadap pemilih pemula. Hal inilah yang menjadi salah satu wujud fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dimana dimaksudkan, dengan adanya pendidikan politik yang diberikan oleh partai politik mampu mencegah atau meminimalisir terjadinya konflik di kalangan pemilih pemula dalam menuju proses berdemokrasi. Pemilih pemula sendiri diartikan sebagai pemilih yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya dan masuk sebagai syarat pemilih diantaranya; 1. Seseorang yang sudah berumur 17 tahun, 2. Sudah/pernah menikah, Dan 3. Purnawirawan. Kenapa harus pemilih pemula yang harus difokuskan dalam pemberian Pendidikan Politik? Hal ini dikarenakan Pemilih Pemula saat ini sedang berada di jaman era globalisasi yang mengakibatkan arus informasi menjadi semakin tidak terbatas dan tidak dibatasi. Pemilih Pemula diibaratkan sebagai bibit emas untuk menumbuhkan pohon demokrasi yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi pemilih pemula menjadi salah satu urgensi yang harus sama-sama dipikirkan. Pemilih pemula yang tidak pandai memilah informasi akan mudah sekali terkena berita palsu (hoax). Berita palsu (hoax) inilah yang nantinya mampu menjadi sumber konflik ditengah masyarakat. Banyak faktor yang mengakibatkan munculnya berita palsu (hoax), diantaranya adalah: 1. Banyaknya akun palsu, dunia digital yang serba tidak terbatas memungkinkan seseorang memiliki lebih dari satu akun, dan jika akun-akun tersebut membuat berita yang tidak benar serta dibagikan secara bersamaan, maka berita tersebut akan lebih cepat muncul kepermukaan dan akan lebih cepat dikonsumsi oleh masyarakat. 2.Euforia kebebasan berpendapat, setelah reformasi masyarakat merasa memiliki kebebasan dalam berpendapat, sehingga masyarakat lupa akan batasan moral dan etika dalam membagikan segala hal di media sosial. 3.Ingin cepat berbagi informasi, ciri khas masyarakat Indonesia yang suka bercerita mengakibatkan masyarakat Indonesia tidak bisa membedakan mana cerita yang harus diceritakan kepada banyak orang. Tidak bisa membedakan mana ranah privat dan mana ranah publik. 4. Karakter masyarakat, masyarakat Indonesia yang belum paham memilah dan malas mencari kebenaran dari suatu berita mengakibatkan berita palsu (hoax) sangat cepat dikonsumsi serta dijadikan paradigma berpikir sampai kesimpulan bertindak. Solusi, untuk mencegah munculnya faktor-faktor tersebut adalah dengan memberikan Pendidikan Media (Literasi Media) kepada masyarakat khususnya pemilih pemula. Dalam hal ini, partai politik sebagai sarana pengatur konflik dengan memberikan pendidikan politik harus mampu menanamkan nilai-nilai yang bisa membuat pemilih pemula dewasa dalam berpolitik (melakukan partisipasi aktif dalam politik). Melihat kondisi Indonesia yang beragam maka Literasi Media yang harus dibangun adalah Literasi Media yang memuat nilai-nilai keberagaman, dimana partai politik harus mampu meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya pemilih pemula bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya akan perbedaan, perbedaan yang ada di Indonesia merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga apabila terjadi perbedaan pendapat dalam suatu berita yang tersebar di masyarakat. Masyarakat tidak mudah tersulut api yang akhirnya menimbulkan konflik yang berdampak pada perpecahan terhadap persatuan dan kesatuan suatu bangsa. Mengapa harus memulai dengan Literasi Media melalui pendekatan keberagaman, hal ini dikarenakan melalui pendekatan kebhinnekaan atau kewargaan (citizenship education) dan kewargaan digital (digital citizenship) berfokus pada upaya mempersiapkan individu yang melek informasi dan warga yang bertanggung jawab, melalui studi hak, kebebasan, dan tanggung jawab. Upaya ini telah banyak digunakan dalam masyarakat yang rawan konflik kekerasan (Osler dan Starksey, 2005). Untuk itu, partai politik sebagai sarana pengatur konflik secara kongkrit harus mempunyai program kerja yang mampu menanamkan nilai-nilai keberagaman tersebut. Hal ini bisa diawali dengan media atau afiliasi media yang dibuat oleh Partai Politik tidak berisi konten-konten yang berbau SARA sehingga memunculkan stigma negatif para pendukung partai politik/ calon dari partai politik tersebut terhadap lawan politik. Dari sisi kompetensi, literasi media dalam pendidikan kewarganegaraan harus mampu melahirkan kemampuan literasi media yang tinggi ditandai oleh: 1) daya kritis dalam menerima dan memaknai pesan. 2) kemampuan untuk mencari dan memverifikasi pesan, 3) kemampuan untuk menganalisis pesan dalam sebuah diskursus, 4) memahami logika penciptaan realitas oleh media, 5) kemampuan untuk mengkonstruksi pesan positif dan mendistribusikannya kepada pihak lain. Menurut Wijetunge dan Alahakoon (2009) melalui model Empowering 8 (E8) ini, kemampuan melakukan literasi informasi dengan penelusuran suatu berita hoax dilakukan melalui 8 tahapan praktik untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber 2) Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik. 3) Seleksi dan merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai. 4) Organisasi, evaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi. 5) Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka. 6) Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan dapat menunjukkan perbandingan dari kedua kelompok pemberitaan sehingga dinilai keakurasiannya. 7) Penilaian output, berdasarkan masukan dari Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain. 8) Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai situasi. Dari beberapa solusi dan penjelasan diatas dapatt dicari peran partai politik dalam melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat khususnya pemilih pemula, diharapkan masyarakat nantinya dapat menyelidiki benar atau tidak informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, apalagi memuat fitnah, hingga anjuran kekerasan, maka informasi itu tak perlu disebarkan. Kalau sumber tidak jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal dan tidak bermanfaat, maka tidak usah disebarkan. Di sisi lain, media massa mainstream termasuk media berita online, diharapkan tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun media tersebut berafiliasi dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Media boleh saja diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi news room harus dipimpin orang yang kompeten dan bermoral dalam mengabdi kepada publik luas. (Wakil Sekretaris DPC PPP Kabupaten Purbalingga, Aji Setiawan)