Masjid Lautze Tuntaskan Toleransi dan Pembauran

masjid lautze
masjid lautze
Gemapos.ID (Jakarta) - Sebuah gedung bernuansa oriental didominasi ornamen berwarna merah, kuning, dan hijau terlihat di Jalan Lautze nomor 87-89, Pasar Baru, Jakarta Pusat yang dikenal sebagai Masjid Lautze. Bagian dalam gedung ini sebagian besar berwarna putih dikombinasikan dengan ornamen lis kayu berbentuk kubah berwarna merah di setiap sisi tembok. Hal lainnya terdapat dalam Masjid Lautze adalah ornamen kaligrafi dengan aksara Mandarin. Ornamen ini diperoleh dari berbagai pihak yakni buah tangan para pengunjung, Anak Karim Oei, Ali Karim Oei, dan salah satu pendiri Yayasan Karim Oei. Tampilan gedung didesain mirip dengan bangunan di Kampung Pecinan atau Kelenteng agar warga etnis Tionghoa tidak merasa canggung datang ke sana sekaligus belajar mengenal Islam. Langkah ini terbukti ampuh menarik warga Indonesia etnis Tionghoa tidak malu berkunjung dan belajar mengenal Islam. Bahkan, beberapa pengunjung memilih sebagai mualaf hingga berjumlah 1.500 Muslim sampai awal 2021. Masjid Lautze memiliki cabang di Jalan Tamblong, Bandung, Jawa Barat, dengan nama  Masjid Lautze 2. Cabang lainnya berlokasi di sektor 6/7 Gading Serpong, Tangerang Selatan, dengan nama Masjid Al Muhajirin Lautze yang berdekatan dengan perumahan warga. “Kita usahakan memfasilitasi orang yang mau mengenal Islam,” kata Pengurus Masjid Lautze, Yusman Iriyansah Kesan pembauran dengan sekitar lingkungan yang bersebelahan dengan ruko khas kawasan Pecinan dan tak memiliki kubah. Semula Masjid Lautze adalah ruko yang disewa untuk pengoperasian badan hukum bernama Yayasan Karim Oei. Kemudian, Yayasan Karim Oei berfungsi sebagai pusat informasi dan pengenalan Islam bagi warga Tionghoa.  Pendirian yayasan ini guna menghormati Oei Tjeng Hien (Karim Oei) pada 1991. Dia merupakan seorang laki-laki mualaf dari etnis Tionghoa yang mendedikasikan hidupnya untuk Indonesia sepanjang hidupnya. Selanjutnya, Oei menjadi tokoh ternama di Muhamadiyah. Bahkan, dia sempat dipercaya sebagai pemimpin harian di Masjid Agung Istiqlal pada era 1970-an yang bertanggungjawab atas operasional tempat tersebut. Yusman mengungkapkan saat itu para pengurus Yayasan Karim Oei bingung mencari donatur untuk pembelian bangunan tersebut. “Bantuan datang dari B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Dia beli rukonya dan dihibahkannya kepada Yayasan Karim Oei,” ujar Yusman. Dengan demikian, Masjid Lautze diresmikan oleh B.J Habibie yang menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendekiawab Muslim Indonesia (ICMI) pada 1994. Peresmian Masjid Lauze juga sebagai salah satu upaya untuk menuntaskan masalah pembauran antar-etnis yang pada masa itu masih sangat beresiko. Jadi, ini dapat menciptakan kerukunan meski antar etnis, antar suku, dan antarkeyakinan. Sebelum pandemi Covid-19 Masjid Lautze mengundang pemeluk agama lain untuk mengisi kegiatan acara Halal Bi Halal saat Lebaran dengan seni musik hingga seni tari. Hal ini dapat dilihat juga dari semakin banyak wisatawan tertarik melihat dan beribadah di Masjid Lautze. Mereka juga mengikuti Ceramah Mingguan (Cermin) yang berisi ajaran kebaikan yang diajarkan oleh Islam. Wisatawan yang datang tidak hanya dari etnis Tionghoa, namun ini juga berasal dari Amerika, Australia, hingga Jepang. Mereka belajar mengenai Islam di Masjid Lautze dan beberapa memutuskan untuk mualaf. Masjid Lautze sudah melebihi ekspektasi para pendirinya yang hanya ingin mengenalkan Islam pada etnis Tionghoa pada 1990-an. Masid ini juga menjadi penghubung negara dan etnis selain Tionghoa dalam mengenal Islam. (Mochamad Ade Maulidin)