Layanan OTT Perlu Diatur Dalam RUU Penyiaran

Anthony Leong
Anthony Leong
Gemapos.ID (Jakarta) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mendukung media penyiaran berbasis internet (streaming) diatur dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32/2002 tentang Penyiaran agar pemerintah dapat melakukan pengawasan terhadap konten atau informasi yang ditayangkan. "Kami dukung rencana revisi UU Penyiaran agar layanan digital over the top (OTT) atau tayangan berbasis internet ini juga harus tunduk pada Undang-Undang Penyiaran," kata Ketua Hubungan Media Badan Pengurus Pusat (BPP) HIPMI, Anthony Leong di Jakarta pada Jumat (3/7/2020) Televisi "streaming" seperti Netflix, GoPlay dan Viu selama ini  bebas menayangkan konten atau film tanpa ada yang mengawasi. Sementara itu televisi konvensional atau juga disebut televisi "free to air" (FTA) sangat diatur kontennya melalui Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran (P3SPS) oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). "Ini tidak fair karena adanya aturan untuk penyelenggara konvensional dan tanpa aturan untuk penyiaran 'streaming'. Selain itu, OTT asing yang banyak beredar di negara kita, banyak mendapatkan penghasilan dari iklan tapi tidak bisa dikenakan pajak," ujarnya. Pengawasan penyiaran pada platform daring sudah lebih dulu dilakukan oleh beberapa negara maju seperti Turki dan Singapura. Langkah ini sebagai upaya penegakan hukum, keamanan nasional hingga moralitas. "Media itu agen sosialisasi, entah media cetak atau media sosial, offline maupun online. Semua sama-sama dapat membentuk dan menggiring opini masyarakat," jelasnya. Fungsi pengawasan sebenarnya lebih ke arah untuk menjaga keamanan nasional, bukan sekedar sensor kepantasan pada konten dengan kategori dewasa yang berbau pornografi. Bila perlu bisa dilakukan harmonisasi antara Netflix dan Youtube dengan televisi FTA dan kreator konten nasional seperti yang dilakukan di Australia. Pemerintah Negeri Kanguru telah meminta Netflix dan YouTube untuk menayangkan konten lokal dan meminta mereka bergabung dengan televisi bebas bayar. "Dengan mengadopsi kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah Australia, akan tercipta keadilan dalam industri penyiaran," tukasnya, Sebelumnya, stasiun televisi RCTI dan iNews mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan definisi penyiaran pada UU Penyiaran yang sudah ada. Keduanya mendorong agar perusahaan penyedia layanan streaming film dan video on demand (VoD) dilakukan pengawasan terhadap isi siaran mereka. Tidak hanya kepada OTT asing tapi hal seperti itu berlaku juga pada OTT lokal/nasional. Kedua stasiun televisi tersebut khawatir bakal muncul konten-konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila lewat layanan perusahaan OTT. Gugatan ini terungkap dalam permohonan judicial review di laman resmi MK. (ant/moc)