Gemapos.ID (Jakarta) - Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menyatakan para pelaku terorisme dapat menggunakan data pribadi warga negara Indonesia (WNI) yang bocor untuk menambah keanggotaan organisasi teroris. Beberapa modus penyalahgunaan data pribadi yang sering dialami oleh korban kebocoran data adalah menerima berbagai pesan singkat berisikan tautan. Hal tersebut itu juga digunakan pelaku pencurian data pribadi dapat melakukan phishing atau pengelabuan terhadap korban untuk memperoleh data pribadi yang sensitif, seperti kata sandi atau PIN kartu kredit. "Dengan modus tersebut, pelaku kejahatan dapat menguras seluruh tabungan dalam rekening korban maupun simpanan uang yang berada di dompet digital milik korban," kata Ketua CISSReC, Pratama Pershadha, ada Minggu (21/11/2021). Modus ini mulai menjadi tren mengalami perkembangan sehingga tidak hanya menimbulkan kerugian finansial bagi korban yang mengalami pencurian data. Namun, ini juga mengecoh Densus 88 Antiteror ketika menangani kasus terorisme. "Jadi, kemarin Densus menggerebek teroris, ada list-nya banyak, ada KTP-nya banyak. Setelah dicek, ternyata KTP yang digunakan adalah KTP orang lain (yang tidak memiliki afiliasi dengan jaringan terorisme, red.)," ujarnya. Berbagai peristiwa tersebut telah menunjukkan Indonesia membutuhkan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi untuk menjamin keamanan masyarakat Indonesia. Selain itu hak untuk memperoleh keadilan dan pertanggungjawaban, dari kasus-kasus kebocoran data pribadi. "'Kan ngeri kalau kita tiba-tiba didatangi oleh Densus, dibilang kita teroris, padahal kita tidak melakukan apa-apa," ucapnya.