Jagung Belum Usut Kasus HAM Papua

KontraS-Papua
KontraS-Papua
Gemapos.ID (Jakarta)-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meragukan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dilakukan oleh pemerintah. Hal itu terlihat dari Kejaksaan Agung (Kejagung) mengembalikan berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM di Paniai, Papua kepada Komisi Nasional (Komnas) HAM. "Pengembalian hasil penyelidikan Paniai kepada Komnas HAM kembali menggunakan alasan repetitif yakni belum tepenuhinya kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat, baik pada syarat formil maupun materiil," kata Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Dimas Bagus Arya Saputra di Jakarta pada Minggu (22/3/2020). Langkah ini tidak terjadi jika sejak awal Jaksa Agung (Jagung) memberikan supervisi atau berkoordinasi dengan Komnas HAM. Apalagi, kasus ini terjadi pada 2014 di mana pemerintahan telah dijalankan oleh Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Pengembalian berkas tidak hanya merugikan korban, karena undue delay. Hal ini juga memperlihatkan impunitas kronis dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. “Kepastian hukum terlanggar dan kemungkinan keberulangan peristiwa tersebut bisa terjadi di masa depan,” ujarnya, Dimas menilai proses hukum kasus Paniai tidak membutuhkan alasan dan putusan politik seperti usulan DPR dan Keputusan Presiden (Kepres). Sebab, ini bisa diselesaikan melalui Pengadilan HAM sesuai dengan Undang-Undang (UU) nomor 26 Tahun 2000. "Data-data masih jelas, saksi, dan bukti masih ada, bahkan ada kesatuan yang jelas menandakan adanya struktur komando yang resmi. UU Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 20 tentang Pengadilan HAM menyebutkan Komnas HAM berwenang menemukan bukti permulaan yang cukup suatu peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM berat. Bukti permulaan dinilai kurang lengkap apabila hasil penyelidikan tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Kasus Paniai merupakan pelanggaran hak-hak anak, hak-hak perempuan, hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup. Jadi, alasan belum tepenuhi kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat tidak dapat diterima. Data Kontras menyebutkan peristiwa yang terjadi pada tanggal 7-8 Desember 2014 menewaskan empat orang anak, yakni Simeon Degei, Pius Youw, Okto Apinus Gobai, dan Yulian Yeimo. Peristiwa itu juga melukai 17 orang akibat dari tindakan pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI-POLRI, yaitu Timsus 753. "Presiden harus mengambil sikap dan menggunakan kapasitas politiknya dalam kasus Paniai, karena Presiden memiliki tanggung jawab moril, hukum, dan politik atas kasus ini,” jelasnya. Tindakan bolak-balik berkas merupakan salah satu pola negara untuk terus melakukan pengingkaran, penyangkalan, dan pelarian terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Padahal, Jokowi telah memberikan instruksi kepada Jagung untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan. “Presiden juga telah memastikan akan melakukan pemulihan korban dan keluarga korban, menginisiasi dialog damai, dan mengakhiri pendekatan keamanan atau militeristik untuk mencegah peristiwa–peristiwa serupa berulang di masa depan,” tegasnya. Jagung harus segera melakukan koordinasi dengan Komnas HAM supaya tidak mengulang proses birokratisasi hukum yang akan menambah duka korban dan keluarganya. Proses hukum untuk penyelesaian kasus Paniai harus segera dijalankan secara cepat. Selain itu Komisi Kejaksaan sebagai lembaga pengawas kinerja Kejagung mengambil peran untuk mengawasi kinerja Kejagung dalam proses penyelesaian kasus Paniai. Hal ini supaya tidak menciderai independensi Kejagung sebagai sebuah badan eksekutif. Kejagung mengembalikan berkas penyelidikan Peristiwa Paniai di Papua kepada Komnas HAM karena dinilai belum memenuhi syarat formil dan materiil, Kamis (19/3/2020) kemarin. “Tim jaksa penyidik pada Direktorat HAM Berat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI, telah mengembalikan berkas penyelidikan kasus dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa di Paniai, Papua kepada Komnas HAM selaku penyelidik,” tutur Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono pada Jumat (20/3/2020). Hal ini dilakukan Kejagung kepada Komnas HAM akibat kurang kelengkapan materiil berkas. Hasil penyelidikan belum memenuhi unsur pada pasal yang akan disangkakan pada Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia (Pengadilan HAM). Sebelumnya, Komnas HAM menyerahkan berkas penyelidikan peristiwa tersebut ke Kejagung pada 11 Februari 2020. Lembaga ini telah Peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Hal ini diputuskan dalam Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020. Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh Tim Ad Hoc, yang bekerja selama lima tahun mulai 2015-2020. Dalam Peristiwa Paniai, terjadi kekerasan penduduk sipil yang berakibat empat orang yang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan. (mam)