Gugatan UU ITE Pernah Ditolak MK pada 2009

mahfud md 2
mahfud md 2
Gemapos.ID (Jakarta) - Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menerima permohonan gugatan UU ITE Pasal 27 pada 2009. Pemohon meminta pasal ini dihapus akibat terkait pencemaran nama baik dan menghalangi kebebasan berpendapat. Namun, permohonan penggugat ditolak Ketua MK Mahfud MD tertuang dalam putusan Nomor 2/PUU-VII/2009. Kebebasan berekespresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat dinilai sebagai salah satu pilar demokrasi. "Tatkala kebebasan tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral dari para blogger, maka yang terjadi justru kontra demokrasi seperti, kebohongan publik, pelanggaran asas praduga tidak bersalah, dan sebagainya,” demikan isi putusan MK tersebut. Gagasan demokrasi, kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran, dan pendapat akan menjadi sarana yang membuka ruang bagi perbedaan pendapat. Hal ini juga menciptakan tempat menyampaikan kritik dan informasi. "Ruang tersebut harus dimanfaatkan dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip moral yang ada di Indonesia," jelasnya. Kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat adalah bentuk dari kedaulatan rakyat di Indonesia yang berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Namun, kebebasan a quo tidak dapat hanya dilaksanakan demi kepentingan dan selera atau hanya milik para blogger, tetapi juga milik seluruh rakyat Indonesia. “Kebebasan a quo dan demokrasi merupakan dwi tunggal yang saling membutuhkan," lanjutnya. Bahkan saling menghidupi kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat. Tidak boleh menjadi pisau untuk membunuh privasi, harga diri, dan kehormatan anggota-anggota masyarakat. "Demikian pula, demokrasi tidak boleh menjadi pisau untuk membunuh kebebasan berkekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat,” lanjut MK. MK menilai pasal 27 ayat 4 UU ITE tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Alasan lainnya adalah teknologi informasi udah sangat terbuka hingga hampir tanpa batas. Keterbukaan ini memberikan banyak manfaat. Namun juga memberikan dampak negatif apabila norma-norma hukum, norma-norma agama dan norma ditinggalkan. "Teknologi informasi juga membuat masyarakat dapat berinteraksi secara cepat maka masyarakat dituntut berhati-hati. Karena, tidak ada filter pembatas yang dapat menangkal nilai-nilai negatif ketika berinteraksi dengan pihak lain. Masyarakat yang berkecimpung di dunia maya berpotensi besar dalam meyalahgunakan fasilitas yang disediakan teknologi. Jadi, uu ini telah menyediakan batasan-batasan antara domain publik dan mana yang melanggar hak-hak privasi orang lain. UU ITE Pasal 27 ayat 3 berguna untuk menjaga ketertiban hukum di dalam interaksi manusia di media siber, yang secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada dunia nyata. Korban kejahatan di dunia maya akan merasakan dampaknya dalam jangka waktu yang sangat panjang dan meluas. Karena, tidak adanya batasan yang mampu membatasi penggunaan, kapan saja, dan dimana saja pengguna dapat membuka fitur-fitur di dalam dunia maya. Kebebasan a quo yang tidak diimbangi dengan tanggung jawab moral dari para blogger akan mengakibatkan kontra demokrasi, seperti kebohongan publik, pelanggaran asas praduga tidak bersalah, dan sebagainya. UU ITE juga berfungsi untuk menjaga kebebasan a quo tersebut agar tidak masuk ke dalam lingkaran supra kekuasaan yang tidak tersentuh oleh siapapun. Bahkan, dalam UU ITE para pengguna/pengelola web masih memiliki kemerdekaan untuk melakukan kontrol sosial, selama konteksnya masih dalam ranah publik dan tidak mengganggu privasi seseorang. Guru besar Willem Frederik Korthals Altes memberikan contoh putusan Hoge Raad pada Maret 2009 yang membebaskan seseorang dari jerat pidana atas pencemaran nama baik atas sekelompok orang. Karena, ini berorientasi keagamaan kelompok tersebut. Petimbangan hukum Hoge Raad adalah orang tersebut tidak mengkritik institusi dan bukan individu. Dengan kata lain, Hoge Raad mengakui pencemaran nama baik yang menyerang nama baik dan kehormatan individu dapat dijatuhi pidana. Sementara itu, kebebasan bagi netizen adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Geoge Bonaventure Hwang Chor Chee mengatakan hal tersebut sejalan dengan beberapa negara, termasuk Singapura. Hukum tentang pencemaran nama baik yang dilakukan melalui internet atau media tradisional. Sebab itu, pelaku pencemaran nama baik a quo dapat dituntut secara pidana atau digugat secara perdata.