Bagaimana Implementasi Transportasi Umum Perkotaan?

Bis daerah
Bis daerah
Tidak berkembangnya transportasi umum perkotaan, akar masalahnya adalah keterbatasan kapasitas fiskal daerah untuk membangun sistem angkutan umum massal perkotaan. Keterbatasan kelembagaan/otoritas yang mampu mengintegrasikan pengembangan transportasi perkotaan lintas administrasi dan lintas sistem angkutan di kawasan metropolitan. Kajian Bappenas bersama Bank Dunia (2019), antara lain menyebutkan pangsa angkutan umum Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya rata-rata kurang dari 20 persen. Kota Jakarta, Surabaya dan Bandung masuk dalam kota termacet di Asia. Kota Jakarta menduduki peringkat 10 dengan 53 persen tingkat kemacetan dibandingkan kondisi normal atau tidak macet di kota tersebut. Keterbatasan sistem angkutan umum massal menyebabkan kemacetan yang akhirnya berdampak pada kerugian ekonomi. Akibat kemacetan, peningkatan 1 persen urbanisasi di Indonesia hanya berdampak pada peningkatan 1,4 persen PDB per kapita. Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp 65 triliun per tahun. Pada 5 wilayah metropolitan (Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Makassar) kerugian mencapai Rp 12 triliun per tahun. Saat ini, payung hukum untuk pembangunan proyek angkutan massal perkotaan (termasuk dalam hal dukungan Pemerintah), masih belum menyeluruh atau bersifat untuk masing-masing proyek (arbitrary). Dukungan pusat, misalnya, LRT Sumatera Selatan 100 persen, MRT Jakarta 49 persen, LRT Jabodebek berupa sinergi BUMN (PT Adhi Karya, PT Inka, dan PT Kereta Api Indonesia). Selain DKI Jakarta, tidak ada kota yang mampu membangun MRT dan LRT jika hanya mengandalkan APBD. Untuk mengimplementasi kebijakan pengembangan angkutan umum massal perkotaan, diperlukan payung hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres) terkait Pembangunan Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan. Rancangan Perpres antara lain mengatur kebijakan mobilitas perkotaan dan pengembangan kelembagaan dan dukungan fiskal, termasuk (1) kriteria untuk dapat memperoleh dukungan (termasuk syarat kelembagaan otoritas transportasi kawasan metropolitan) dan ruang lingkup, skema, serta bentuk dukungan pendanaan Pemerintah Pusat dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Menurut Bappenas (2021), ada 7 alasan mengapa perlu diterbitkan Perpres Pembangunan Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan? Pertama, kontribusi metropolitan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional relatif lebih rendah dibandingkan negara lain. Hal ini terutama dipengaruhi kemacetan akibat kurangnya pelayanan angkutan umum massa. Kedua, Biaya awal pembangunan angkutan umum massal perkotaan sangat besar. Selain itu, angkutan massal biasanya juga tidak menghasilkan pendapatan yang cukup untuk biaya operasi dan perawatan. Ketiga, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pembangunan angkutan umum berada di Pemda dan terbatas pada satu wilayah administrasi. Namun, Pemda selain DKI Jakarta terkendala keterbatasan fiskal dan kelembagaan, sehingga memerlukan dukungan Pemerintah Pusat. Keempat, Saat ini belum ada aturan yang memungkinkan Pemerintah Pusat memberikan dukungan fiskal kepada Pemda untuk angkutan massal, kecuali KPBU. Dukungan 49% Capex (dalam aturan KPBU) tidak mencukupi untuk angkutan massal, sehingga sampai saat ini belum ada proyek KPBU angkutan massal. Kelima, selama ini, angkutan umum massal di Indonesia dilakukan melalui investasi Pemerintah dengan mekanisme ad hoc, hasilnya kurang optimal. Contohnya MRT hanya terbatas di Jakarta; LRT Sumatera Selatan melalui APBN berdasarkan Perpres Penugasan (dampaknya tidak terintegrasi dan Pemda tidak mampu mengoperasikan); LRT Jabodetabek melalui pendanaan BUMN berdasarkan Perpres Penugasan. Keenam, investasi swasta dalam angkutan umum massal sangat terbatas, umumnya pada pengadaan sarana, pengoperasian dan perawatan. Investasi swasta sangat terbatas antara lain karena pengelola angkutan swasta tidak mempunyai kemampuan mempengaruhi demand angkutan umum, konsesi angkutan perkotaan cukup rumit, karena tiap kota mempunyai kebijakan yang tidak sama, dan terbatasnya operator yang mempunyai kapasitas keuangan yang cukup untuk mengelola angkutan Ketujuh, diperlukan Peraturan Presiden yang memungkinkan Pemerintah Pusat mendukung biaya investasi awal yang diperlukan. Tanggung jawab Pemda berupa menanggung sebagian investasi awal, kekurangan biaya operasi dan perawatan serta menjamin terjadinya integrasi layanan antar moda dan antar wilayah kota metropolitan. Investasi pemerintah untuk biaya modal dan biaya operasi angkutan umum dilakukan banyak negara dan mempunyai alasan yang kuat untuk proyek-proyek yang penghasilkan keuntungan sosial-ekonomi yang besar. Mulai implementasi Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum di kawasan perkotaan (pasal 158 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Untuk mengimplementasikan transportasi umum perkotaan, diterbitkan PM Perhubungan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pemberian Subsidi Angkutan Penumpang Umum Perkotaan. Angkutan Massal Perkotaan merupakan public goods, sehingga Pemerintah menjadi penanggung risiko dalam penyediaannya. Program Buy the Service (BTS) dilakukan dengan membeli layanan (memberikan subsidi 100%) dari operator dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan. Di samping itu, pemda juga harus berperan untuk menjaga keberlangsungan program ini. Pertama, pembuatan halte. Halte dapat berupa bus stop, halte eksisting (revitalisasi) atau kerjasama denga pihak swasta (CSR atau memanfaatkan halte sebagai media iklan). Kedua, melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Sosialisasi dapat berupa kesadaran untuk kembali ke angkutan umum serta tata cara menggunakan angkutan umum. Ketiga, Pemerintah Daerah diharapkan melakukan push strategy seperti pembatasan ruang (ganjil genap) atau waktu (bus priority in peak hour) atau kebijakan lain yang berpihak ke angkutan umum. Keempat, daerah diharapkan melakukan survey kondisi lalu lintas sebelum, saat dan sesudah dilaksanakannya BTS untuk didapat data yang akurat sebagai dasar evaluasi kemanfaatan program. Kelima, Pemerintah Daerah diharapkan juga dapat bersama Pemerintah Pusat untuk sama-sama mendukung program sebagaimana dimaksud serta melihat dampak ekonomi serta lingkungan yang dapat tercipta Tahapan implementasi sudah dimulai tahun 2020 untuk di lima kota, yaitu Medan (Trans Metro Deli melayani 5 koridor dan 72 bus, 345 titik halte), Palembang (Trans Musi Jaya melayani 4 koridor, 66 bus, 151 titik halte). Yogyakarta (Trans Yogya melayani 3 koridor, 44 bus, 113 titik halte), Solo (Batik Solo Trans melayani 4 koridor, 6 feeder, 90 bus, 105 MPU, 828 titik halte) dan Denpasar (Trans Metro Dewata melayani 4 koridor, 105 bus, 186 titik halte). Bus beroperasi selama 17 jam mulai jam 05.00 hingga 22.00. Tahun 2021 akan diimplementasikan di enam kota, yaitu Bogor (6 koridor), Banjarmasin (4 koridor, 77 armada bus, 195 titik halte), Purwokerto (3 koridor, 58 armada bus, 185 titik halte). Makassar (3 koridor, 86 armada bus, 261 titik halte), Bandung (5 koridor, 103 armada bus, 240 titik halte), Surabaya (6 koridor, 132 armada bus, 366 titik halte). Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat