Keluarga Korban Mutilasi di Timika Datangi Jakarta Minta Bertemu Presiden Jokowi

“Artinya, dengan bertemunya ini kami ingin sampaikan bahwa kami keluarga korban, sampai saat ini masih kawal kasus ini,” kata perwakilan keluarga korban mutilasi, Narik Jimil Tabuni kepada wartawan di Graha Oikoumene Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) di Jakarta pada Senin (12/12/2022).
“Artinya, dengan bertemunya ini kami ingin sampaikan bahwa kami keluarga korban, sampai saat ini masih kawal kasus ini,” kata perwakilan keluarga korban mutilasi, Narik Jimil Tabuni kepada wartawan di Graha Oikoumene Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) di Jakarta pada Senin (12/12/2022).

Gemapos.ID (Jakarta) - Keluarga korban mutilasi empat warga Nduga di Timika, Papua meminta bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Panglima TNI, dan Menko Polhukam Mahfud MD secara langsung guna menanyakan soal penanganan kasus tersebut.

“Artinya, dengan bertemunya ini kami ingin sampaikan bahwa kami keluarga korban, sampai saat ini masih kawal kasus ini,” kata perwakilan keluarga korban mutilasi, Narik Jimil Tabuni kepada wartawan di Graha Oikoumene Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) di Jakarta pada Senin (12/12/2022).

Mereka berharap dapat menjumpai Jokowi beserta pejabat-pejabat tersebut sebelum 25 Desember 2022. Langkah ini dilakukannya supaya mereka bisa segera pulang ke Papua untuk bisa merayakan Hari Raya Natal bersama keluarganya.

Narik Jimil Tabuni sudah tiba di Jakarta sejak 27 Oktober lalu yang didukung Panitia Khusus (Pansus) DPRD Provinsi Papua untuk menyurati para petinggi di pemerintah pusat.

"Kalau ada jadwal kami siap untuk ketemu dan sampaikan hal yang sama," ucapnya.

Sebanyak empat tuntutan utama akan disampaikan keluarga korban mutilasi empat warga Nduga di Timika yakni pertama, pihak keluarga meminta agar persidangan terhadap enam pelaku militer dan empat pelaku sipil dalam kasus mutilasi itu dilakukan di Timika.

Kedua, pihak keluarga mendesak persidangan dilakukan transparan dan independen untuk diketahui keluarga korban dan seluruh rakyat Papua juga Indonesia secara umum.

Ketiga, pihak keluarga menuntut agar para pelaku divonis dengan hukuman maksimal, yakni hukuman mati sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.

Keempat, pihak keluarga mendorong agar pelaku dari institusi militer dipecat dan juga menolak persidangan pelaku di pengadilan militer Jayapura dan Makassar.

“Hal ini karena para pelaku, baik TNI maupun yang sipil dibagi. Jadi yang mayor dilemparkan ke Makassar. Kemudian yang kota lainnya kapten dengan empat orang dilemparkan ke Jayapura. Lalu, (pelaku) masyarakat sipil di Timika,” ujarnya.

Sebagai informasi, lima dari enam prajurit TNI yang berdinas di Brigif 20 Timika sebagai terdakwa kasus mutilasi terhadap warga sipil, mulai menjalani persidangan di Mahkamah Militer (Mahmil) III-19 Jayapura, pada Senin (12/12/2022).

Kelimanya adalah Kapten Inf. Dominggus Kainama, Pratu Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra, Praka Pargo Rumbouw, dan Pratu Rizky Oktaf Muliawan. Terdakwa lain adalah Mayor Inf. Hermanto akan disidangkan di Mahmilti Surabaya. 

Kasus mutilasi ini juga melibatkan empat warga sipil, yakni APL alias Jeck, DU, R, dan RMH alias Roy Marthen Howai dan akan disidangkan di Pengadilan Negeri Timika.

Empat korban kasus mutilasi, yaitu Arnold Lokbere, Irian Nirigi, Lemaniol Nirigi, dan Atis Tini berasal dari Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan.

Pada kesempatan yang sama Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan pemisahan persidangan tersangka pelaku kasus mutilasi empat warga Nduga.

Pasalnya, ini tidak sesuai dengan permintaan keluarga korban dan publik.

"Hari ini sebetulnya ada persidangan terpisah antara pelaku militer dan pelaku sipil,” tutur Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar.

Keluarga korban meminta persidangan memakai mekanisme persidangan koneksitas atau persidangan atas tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh militer dan warga sipil yang diperiksa dan diadili di pengadilan umum. 

"Kami memang menduga proses ini akan terjadi karena sejak awal prosesnya cenderung tertutup dan tidak menerima masukan dari banyak pihak, alhasil persidangan hari ini tidak diketahui oleh keluarga korban dan juga pendamping," ujarnya. (adm)