BKKBN Sebut Kematian Ibu-Bayi Jadi Ukuran Derajat Kesehatan Suatu Bangsa

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Seminar Hasil Kajian Kebijakan Program Penurunan Stunting yang diikuti daring di Jakarta
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Seminar Hasil Kajian Kebijakan Program Penurunan Stunting yang diikuti daring di Jakarta

Gemapos.ID (Jakarta) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan bahwa tinggi rendahnya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan sebuah ukuran derajat kesehatan suatu bangsa.

“Sebenarnya, angka kematian ibu dan kematian bayi adalah ukuran dari derajat kesehatan bangsa. Sedangkan kemiskinan ekstrem menjadi bagian penting untuk mencapai SGDs, yang kita targetkan tidak boleh ada orang kelaparan,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Seminar Hasil Kajian Kebijakan Program Penurunan Stunting yang diikuti daring di Jakarta, Kamis.

Hasto mengatakan bahwa hal tersebut betul-betul harus dibenahi untuk bisa meningkatkan taraf kualitas kesehatan bagi perempuan dan bayi. Sebab, AKI dan AKB nantinya akan berkaitan erat dengan angka kelahiran total (TFR).

Sebagaimana yang ditunjukkan hasil Supas pada 2015, AKI di Indonesia menyentuh 305 per 100 ribu kelahiran hidup. Sementara AKB mencapai 24 per 100 ribu kelahiran hidup. Sebagai upaya baru dalam peningkatan hidup ibu dan bayi, pemerintah dalam SGDs menargetkan rasio angka kematian ibu berkurang menjadi hingga kurang dari 70 per 100 ribu kelahiran hidup.

Kemudian mengakhiri kematian bayi baru lahir dan balita, dengan berusaha menurunkan angka kematian neonatal setidaknya hingga 12 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita 25 per 1000 kelahiran hidup.

Dengan memasukannya ke dalam SGDs, pemerintah akan menjamin akses universal terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk keluarga berencana, informasi dan pendidikan, dan integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional.

Hal lainnya yang patut diperhatikan jika menyangkut kesehatan bangsa adalah terjadinya kemiskinan ekstrem dan anak yang lahir stunting. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada Maret 2021, jumlah penduduk yang mengalami kemiskinan ekstrem di Indonesia mencapai 27,54 juta jiwa atau sebesar 10,14 persen.

Sedangkan pada September 2021, jumlah penduduk yang mengalami kemiskinan ekstrem dinyatakan turun menjadi 26,50 juta jiwa atau 9,71 persen. Kemiskinan patut diwaspadai karena dapat berdampak pada berkurangnya asupan gizi keluarga akibat dana yang tidak mencukupi, sehingga anak bisa berakhir stunting dan mengakses layanan kesehatan yang layak.

“Stunting menjadi bagian dari indikator kualitas sumber daya manusia yang luar biasa. Sehingga ini menjadi hal penting yang semua kepala daerah rasakan. Stunting menjadi musuh kita bersama,” katanya.

Hasto menambahkan, sejak 2013, rata-rata penurunan angka stunting belum pernah mencapai dua persen. Dia berharap pada 2022 melalui data SSGI, tren penurunan stunting akan terus berlanjut seperti saat ini yang menjadi 24,4 persen dari 27,7 persen pada 2019.

Namun, ketiga masalah itu dapat teratasi bila pemerintah tidak hanya menentukan target dalam SGDs, melainkan juga membangun suatu komunikasi konvergensi yang baik, sehingga semua orang termasuk keluarga dapat berfokus mengentaskan masalah itu secara serentak di semua wilayah.

“Kita juga tunggu hasil dari SSGI 2022, mudah-mudahan harapannya (penurunan stunting) bisa di atas atau tiga persen per tahun sesuai permintaan Presiden dan cita-cita kita. Semoga kita diberikan kemudahan dalam mencapai target itu,” ujarnya.(ri)