Jokowi-Maruf Amin Dinilai Tidak Lakukan Terobosan Kebijakan Masalah Rokok

“Tahun 2022 kembali menjadi tahun yang kelam bagi sektor kesehatan publik nasional. Tidak ada terobosan yang dilakukan Pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah rokok,” kata Koordinator Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim kepada wartawan pada Jumat (27/11/2022).
“Tahun 2022 kembali menjadi tahun yang kelam bagi sektor kesehatan publik nasional. Tidak ada terobosan yang dilakukan Pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah rokok,” kata Koordinator Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim kepada wartawan pada Jumat (27/11/2022).

Gemapos.ID (Jakarta) - Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau menilai gebrakan berarti belum dilakukan Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin mengatasi persoalan epidemi rokok di Indonesia sepanjang 2022. 

Hal ini menjadi perhatian khusus pegiat hak asasi manusia (HAM) dan kesehatan publik nasional. Negara ini dianggap tidak hadir dalam menangani masalah epidemi rokok di Tanah Air.

“Tahun 2022 kembali menjadi tahun yang kelam bagi sektor kesehatan publik nasional. Tidak ada terobosan yang dilakukan Pemerintah RI untuk menyelesaikan masalah rokok,” kata Koordinator Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim kepada wartawan pada Jumat (27/11/2022). 

Apalagi, target penurunan angka perokok anak yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 belum bisa tercapai sampai sekarang. 

Kondisi tersebut terjadi akibat iklan rokok masih menguasai ruang publik, harga rokok masih murah, dan rokok ketengan masih mudah dibeli anak-anak.

Bahkan, ironinya rokok elektrik justru dianggap sebagai solusi masalah kecanduan rokok di Indonesia.

“Hal ini berpotensi menjadi warisan yang buruk bagi Presiden Jokowi, mengingat praktis masa jabatan beliau tersisa kurang dari dua tahun lagi,” ucap Ifdhal Kasim.

Pada kesempatan yang sama Kepala Pusat Studi Center of Human Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD), Roosita Meilani Dewi menyoroti Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu) RI telah memutuskan kenaikan cukai rokok konvensional sebesar 10% untuk 2023 dan 2024.

Selain itu cukai rokok elektrik dinaikkan sebesar 15% terhitung selama lima tahun ke depan.

Angka tersebut dinilai masih jauh di bawah standar yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) dinaikkan minimal sebesar 25% per tahun. 

“Selain itu, kebijakan kenaikan cukai rokok jadi terasa kurang dampaknya, mengingat rokok  ketengan masih mudah diakses masyarakat, khususnya anak-anak. Penjualan ketengan membuat rokok jadi semakin murah. Untuk masalah rokok ketengan ini, Kementerian Perdagangan memang terkesan lepas tangan,” ucapnya. 

Harga Rokok Lebih Murah

Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) mengamini kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dianggap masih belum cukup untuk mengatasi angka perokok masih tinggi di Indonesia. 

Pasalnya, kenaikan harga rokok akibat kebijakan cukai dapat disiasati perokok berpindah ke produk rokok yang lebih murah. Hal ini terjadi akibat perusahaan rokok memilih menjual produk rokok murah dari golongan dua seperti Sampoerna memproduksi rokok merek Marlboro Crafted hanya dijual Rp 7.000-an per bungkus. 

Kemudian, Nojorono Tobacco International menyediakan rokok Minak Djinggo Rempah seharga Rp10.000-an. 

Selanjutnya, Djarum menawarkan rokok Djarum 76 Madu Hitam seharga Rp12.000-an dan Gudang Garam menyuguhkan Gudang Garam Patra dan Sriwedari yang dibanderol Rp11.000-Rp12.000-an.

"Pengusaha juga masih bisa memilih atau mengakali agar bisa menggunakan tarif cukai yang lebih rendah," kata Direktur Kebijakan CISDI Olivia Herlinda. 

Dengan begitu pemerintah diminta mewaspadai eksistensi rokok murah dengan meminimalisir jumlah dan jenis rokok murah pada struktur tarif cukai sekarang. 

"Setiap golongan memiliki dua sampai tiga tarif cukai yang berbeda. Dengan begitu, opsi rokok murah akan selalu ada. Simplifikasi tarif cukai itu kebijakan yang penting untuk memimalkan ketersediaan rokok murah di pasaran," ujarnya.

Dengan begiti CISDI mendorong kebijakan kenaikan cukai yang optimal, yang masih menunggu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Kondisi selisih tarif cukai rokok antargolongan masih sangat lebar juga disebutkan Roosita Meilani Dewi yang memicu masalah downtrading. Hal ini juga mendorong perusahaan rokok memainkan produksi di golongan lebih rendah dengan beragam merek. 

Perusahaan yang menurunkan golongan ini menunjang perpindahan preferensi juga di kalangan masyarakat karena downtrading mempengaruhi Harga Jual Eceran (HJE) dan Harga Transaksi Pasar (HTP).

"Selisih tarif ini sebaiknya didekatkan, dijadikan satu saja tidak perlu ada golongan. Tahapannya dapat melalui PMK yang terbit tiap tahun tarif cukainya didekatkan, dan yang sudah selisih kecil dijadikan satu. Bahkan kalau bisa hanya sesuai jenisnya saja, tanpa ada golongan," ujarnya. 

Regulasi Rokok Elektrik

Pemerhati HAM Nasional, Asep Mulyana, sependapat kenaikan cukai rokok dianggap tidak cukup untuk menekan prevalensi perokok elektrik di Indonesia. 

Penilaian ini didasarkan hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menyebutkan jumlah perokok elektrik meningkat hampir 10 kali lipat sejak 2011.

Asep Mulyana berpendapat regulasi yang diterbitkan pemerintah dianggap masih sangat longgar terhadap rokok elektrik. Idealnya, rokok elektrik diperlakukan sama dengan rokok konvensional.

“Perlu ada peringatan kesehatan bergambar pada rokok elektrik, pelarangan atau minimal pembatasan iklan, promosi, dan sponsor, hingga memasukkan rokok elektrik sebagai produk yang turut diatur dalam peraturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tiap Kota/Kabupaten di Indonesia,” tuturnya.

Regulasi rokok elektrik, dikomentari Adviser Indonesia Institute for Social Development (IISD), Sudibyo Markus, sejatinya akan dimasukkan ke dalam poin revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012. 

Namun, sampai sekarang belum ada kejelasan proses revisi regulasi tersebut oleh Pemerintah RI. 

Dengan demikian, untuk mempercepat proses revisi PP 109 Tahun 2012, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI diharapkan kembali mengajukan Izin Prakarsa ke Presiden Jokowi pada 2022. 

Jadi, isu rokok dinilai tidak masuk ke dalam agenda prioritas utama pemerintahan tersebut hingga kini. 

“Jika memang ada deadlock antar kementerian/lembaga, Presiden seharusnya mengambil inisiatif untuk melakukan Ratas (Rapat Terbatas) Kabinet dan memimpin jalannya diskusi. Seperti ketika pemerintah RI menangani kasus Covid-19 misalnya. Jika kondisi terus seperti sekarang, jangan harap visi Indonesia Emas 2045 dapat tercapai,” tutur Sudibyo Markus. 

Sponsor Rokok di KTT G20

Sementara itu Human Rights Working Group (HRWG) menyayangkan perusahaan rokok seperti HM Sampoerna dan Djarum Foundation dapat menjadi sponsor Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G20.

Kebijakan ini menjadikan Indonesia sebagai negara terburuk dalam kebijakan sektor kesehatan saat KTT G20. 

Kondisi ini bisa dimungkinkan lantaran Indonesia belum melakukan aksesi terhadap Framework Convention on Tobacco Conctrol (FCTC).

“Pemerintah RI tidak firm terhadap isu perlindungan hak anak dan kelompok rentan. Hal ini juga melukai semangat SDGs, di mana secara jelas menuntut komitmen negara-negara dunia untuk melalukan kontrol ketat terhadap produk tembakau atau rokok,” tutur Rafendi Djamin, Senior Advisor HRWG. (adm)