Deklarasi Bali, Garis KTT G20, dan Gosip Digital

Presiden  Jokowi saat bertolak menuju Bangkok, Thailand, melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Kamis (17/11/2022), usai penyelenggaraan KTT G20. (ist)
Presiden Jokowi saat bertolak menuju Bangkok, Thailand, melalui Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Kamis (17/11/2022), usai penyelenggaraan KTT G20. (ist)

Sukses perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15-16 November 2022 bukannya tanpa kritik, namun kritik yang muncul justru tidak substansial, misalnya isu lingkungan hidup yang justru sudah menjadi salah satu tema yang dibahas dalam KTT yang dihadiri 17 dari 20 negara anggota itu

Ada pula kritik lain yang menyoal utang sebagai "dampak ikutan" dari hasil-hasil KTT G20, namun kritik itu justru muncul dari bukan ahlinya, karena kritik bukan muncul dari ahli ekonomi, melainkan bersumber dokter. Itu mirip tema olahraga yang bersumber ahli agama. Mana nyambung? Ibarat gosip berbasis medsos (gosip digital).

Bukan tidak boleh mengkritik, namun kalau bukan bersumber dari keahlian pasti akan ada bias, apalagi kritik justru muncul saat KTT G20 masih setengah perjalanan, sehingga terkesan pengkritik itu asal kritik saja, tanpa memantau proses pelaksanaan KTT G20 dari hari ke hari.

Apalagi, ada bermunculan pula gosip yang justru bukan substansial (sesuai tema KTT G20), melainkan menjurus pada personal, seperti Ibu Negara Iriana terpeleset, Biden tersandung, Bahasa Inggris ala Presiden Jokowi, sepatu Sri Mulyani, panggilan "kakak" dari Jokowi kepada Presiden China Xi Jinping, dan sebagainya.

Gosip digital itu bukan hanya tidak substansial sama sekali, namun sangat sensasional untuk urusan viral semata, karena sifatnya sangat individual dan jauh dari kepentingan publik. Ya, hanya kepentingan personal yang bisa saja politis/pemilu, ekonomis/bisnis, SARA, radikal, dan sebagainya.

Secara jurnalistik, kritik tanpa narasumber yang kompeten/ahli itu layak ditinggalkan karena hanya membuang-buang energi alias tidak bermanfaat. Juga, kritik yang personal atau bukan substansial, layak diabaikan, karena tidak terkait dengan kepentingan publik sama sekali, kecuali orang benci memang tanpa logika.

Bahkan, ada pula komentar bahwa pemerintah membungkam demokrasi untuk kepentingan negara-negara maju atau negara anggota KTT G20, padahal aksi demonstrasi itu tetap berjalan, sehingga komentar bahwa ada pembungkaman demokrasi itu tidak ada sebagaimana yang diisukan.

Memang ada pembatasan kawasan untuk demonstrasi, yang bukan berarti membungkam, karena aksi tetap ada, tapi ada pembatasan untuk menghormati tamu (tamu negara). Gubernur Bali Wayan Koster mengibaratkan tindakan membanting gelas saat ada tamu berkunjung ke rumah adalah tidak bijak atau kurang menghormati tamu.

Tidak hanya kepada tamu, penghinaan lewat gosip digital juga dialamatkan kepada tuan rumah, yakni Ibu Negara Iriana Jokowi, seperti akun twitter @KoprofilJati yang diduga menyindir atau menghina Ibu Negara itu mencapai trending nomor satu di Twitter Indonesia dengan 23,8 ribu cuitan.

Akun @KoprofilJati itu memosting foto Ibu Negara Iriana Jokowi yang sedang berfoto berdua dengan Ibu Negara Korea Selatan Kim Keon-hee di acara KTT G20, lalu diisi dengan narasi, "Bi, tolong buatkan tamu kita minum" dan "Baik, Nyonya." Mayoritas warganet menilai cuitan itu menghina.

Ya, mayoritas pengguna media sosial masih belum cakap memasuki dunia maya untuk hal-hal bermanfaat bagi kehidupan, melainkan hanya seputar gosip secara digital, seperti penghinaan, ujaran kebencian, SARA, radikalisme, dan hal-hal yang tidak menghargai perbedaan yang sudah menjadi sunnatullah (hukum alam) untuk saling mengenal dalam kemanusiaan secara indah.

Terkait tema lingkungan yang menjadi sorotan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi pada hari kedua KTT G20 (16/11/2022), agaknya menjadi salah satu dari tiga tema utama G20, yakni energi terbarukan (energi dan perubahan iklim).

Dua tema utama lain yang dibahas pada hari pertama (15/11/2022) adalah transformasi digital/digitalisasi ekonomi (sesi pertama) dan desain/arsitektur kesehatan global (sesi kedua). Bahkan, KTT G20 di Bali juga menyodorkan tema "plus" yang bukan tema utama KTT, yakni pentingnya menghentikan konflik Rusia-Ukraina yang sangat mempengaruhi tatanan ekonomi global.

Ya, Kepemimpinan Indonesia pada G20 telah berhasil menghasilkan "Deklarasi Pemimpin G20 Bali", meski awalnya diragukan banyak pihak. Dalam penyusunan deklarasi berjumlah 52 paragraf tersebut, penyikapan perang di Ukraina merupakan hal yang paling alot dan sangat diperdebatkan.

Diskusi mengenai hal ini, dakui Presiden Jokowi berlangsung sangat alot dan akhirnya para pemimpin G20 menyepakati isi deklarasi, yaitu condemnation perang di Ukraina karena telah melanggar batas wilayah, melanggar integritas wilayah.

G20 membahas dampak perang terhadap kondisi perekonomian global. Perang di Ukraina telah mengakibatkan penderitaan masyarakat dan memperberat ekonomi global yang masih rapuh akibat pandemi yang menimbulkan risiko terhadap krisis pangan, krisis energi, dan potensi krisis finansial.

Intinya, penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir tidak dapat diterima. Penyelesaian konflik secara damai, upaya mengatasi krisis, serta diplomasi dan dialog, sangat penting. Zaman sekarang tidak boleh perang. Pada saat kritis ekonomi global saat ini, G20 harus mengambil tindakan yang nyata, tepat, cepat dan perlu, dengan menggunakan semua alat kebijakan yang tersedia. Hal itu untuk mengatasi tantangan bersama, termasuk melalui kerja sama kebijakan makro internasional dan kolaborasi nyata.

"Khittah" G20

Selain pesan perdamaian atau penghentian perang yang merupakan tema "plus", G20 Bali juga dinilai berhasil dalam tiga tema yang menjadi khittah (garis/tujuan perjuangan) G20, yakni transformasi digital/digitalisasi ekonomi, desain/arsitektur kesehatan global, dan energi terbarukan (energi dan perubahan iklim).

Buktinya, G20 Bali menghasilkan beberapa hasil konkret, antara lain terbentuknya "pandemic fund" yang hingga KTT usai (16/11/2022) terkumpul 1,5 miliar Dolar AS, meski komitmen dukungan masih berproses. Juga, pembentukan dan operasionalisasi resilient and sustainability trust di bawah Dana Moneter International (IMF) sejumlah 81,6 miliar Dolar AS untuk membantu negara-negara yang menghadapi krisis.

Selain itu, tema energi/lingkungan juga menyepakati komitmen bersama, yakni setidaknya 30 persen dari daratan dunia dan 30 persen lautan dunia dilindungi di tahun 2030. Hal ini sangat bagus dan melanjutkan komitmen mengurangi degradasi tanah sampai 50 persen di tahun 2040 secara sukarela. "Saya kira hasil yang konkret itu," kata Presiden Jokowi.

Juga, energy transition mechanism, khususnya untuk Indonesia, memperoleh komitmen dari Just Energy Transition Programme sebesar 20 miliar Dolar AS. Pada acara peluncuran Indonesia Energy Transition Mechanism Country Platform, Presiden Asian Development Bank (ADB) Masatsugu Asakawa juga berencana mengalokasikan dukungan dana lebih dari 2 miliar Dolar AS untuk mendukung transisi energi di Indonesia.

Kucuran dana dari ADB itu diproyeksikan, salah satunya untuk menutup lebih cepat PLTU Cirebon di Jawa Barat yang berkapasitas 660 megawatt. ADB telah meneken nota kesepahaman kerja sama dengan Cirebon Electric Power (CEP), PT PLN (Persero), dan Indonesian Investment Authority (INA) yang menjadi dasar kemitraan tersebut.

Terkait transformasi digital, anggota G20 menghasilkan Bali Leaders' Declaration atau Deklarasi Bali yang juga mencakup isu transformasi digital. Dari 52 hal yang dimuat pada Deklarasi Bali, sekurang-kurangnya terdapat enam poin yang menunjukkan komitmen G20 pada perkembangan terkini dunia digital.

Anggota G20 pada Deklarasi Bali sepakat bahwa dunia perlu menambah kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan digital dan literasi digital masyarakat, khususnya untuk perempuan dan kelompok rentan. Pelatihan literasi digital juga akan diberikan kepada pelajar, guru, pimpinan sekolah dan profesi lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Hal itu penting untuk mencegah gosip digital, penghinaan, ujaran kebencian, SARA, radikalisme, dan hal-hal yang tidak menghargai perbedaan.

Anggota G20 dalam Deklarasi Bali juga mengemukakan terdapat peningkatan permintaan untuk pekerja yang mahir menggunakan teknologi yang sedang berkembang, pendidikan dan pelatihan, penambahan dan pelatihan ulang untuk memenuhi permintaan itu.

Sambil mengembangkan kemampuan dan literasi digital masyarakat, anggota G20 sepakat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi yang aman dan berkapasitas tinggi, untuk pemulihan dan pemberdayaan di berbagai sektor pendidikan, termasuk untuk membangun sistem pangan dan agrikultur yang tangguh dan berkelanjutan, menciptakan pekerjaan dan pengembangan kapasitas manusia yang berkelanjutan dan layak, menambah produktivitas dan berpihak pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Forum itu mendukung penerapan Peta Jalan G20 untuk Meningkatkan Pembayaran Lintas Batas, G20 Roadmap for Enhancing Cross-Border Payments. Mereka mendorong bank sentral dan otoritas keuangan publik dan industri pembayaran bekerja sama untuk meningkatkan pembayaran lintas batas.

Anggota G20 menyatakan dukungan untuk Kerangka Kerja Inklusi Finansial Yogyakarta yang dipandu oleh Rencana Aksi Inklusi Finansial G20 2020 (Yogyakarta Financial Inclusion Framework guided by the G20 2020 Financial Inclusion Action Plan).

Keberpihakan anggota G20 pada digitalisasi dan pengembangan keuangan yang berkelanjutan juga ditunjukkan melalui dukungan terhadap G20/OECD High-Level Principles on Financial Consumer Protection yang diperbarui dan G20/OECD High-Level Principles on SME Financing.

Deklarasi Bali juga membahas ekosistem aset kripto, termasuk stablecoin. Anggota G20 sepakat bahwa aset kripto harus diawasi dan tunduk pada regulasi, pengawasan dan pemeriksaan untuk mengurangi potensi risiko terhadap stabilitas finansial.

Mereka menerima usulan Dewan Stabilitas Keuangan G20 (Financial Stability Board) untuk membuat kerangka kerja internasional yang komprehensif untuk regulasi aset kripto. G20 melihat adalah penting bagi publik untuk mengetahui risiko aset kripto, memperkuat regulasi dan mendukung kesempatan yang sama selagi dunia memetik manfaat inovasi.

Deklarasi Bali juga menyoroti disrupsi yang terjadi pada dunia kerja sebagai konsekuensi dari teknologi digital dan otomasi. Digitalisasi dan pandemi juga memberikan tantangan bagi banyak negara, terutama kepada perempuan, anak muda, pekerja usia tua, pekerja migran dan penyandang disabilitas. Diperkirakan ada 2 miliar penduduk di dunia yang belum bisa mendapatkan akses ke internet, termasuk di Indonesia.

Isu transformasi digital pada Presidensi G20 Indonesia dibahas melalui sherpa track Digital Economy Working Group (DEWG) dan Digital Economy Minister Meeting (DEMM). Forum itu memiliki tiga bahasan utama, yaitu konektivitas digital dan pemulihan pascapandemi COVID-19; kecakapan digital dan literasi digital; dan arus data lintas batas negara.

Deklarasi Bali menuai apresiasi dari sejumlah kepala negara dan pemerintahan yang menghadiri KTT G20. Perdana Menteri Inggris Raya Rishi Sunak mengatakan, Deklarasi Bali bersifat substantif, komprehensif dan berorientasi pada aksi. Deklarasi Bali juga dinilai menyatakan pesan yang jelas untuk mengakhiri perang Rusia dengan Ukraina.

Apresiasi juga datang daru Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau yang menganggap Indonesia mampu memimpin G20 di tengah situasi sulit dan ketegangan politik serta berhasil menggiring pencapaian kesepakatan akhir. Kepemimpinan/presidensi Indonesia mampu menghasilkan Deklarasi Bali untuk G20 (G20 Bali Leaders' Declaration), meski proses untuk mencapai konsensus atau kesepakatan di forum G20 tidak pernah mudah.

Trudeau memuji Deklarasi Bali berhasil memuat pernyataan sikap yang tegas, terutama dalam menyikapi invasi Rusia di Ukraina berikut dampaknya, yang dapat memicu krisis pangan dan perekonomian dunia. Kalau banyak pemimpin dunia mengakui kepemimpinan Indonesia, khususnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo, dalam ajang bergengsi itu, mengapa kita sendiri tidak memberikan penghargaan yang sama? (rk)