Pengamat Sebut Netralitas ASN Diuji saat Menghadapi Pemilu dan Pilkada

Anggota Bawaslu Tanjungpinang Novira Damayanti menyosialisasikan netralitas ASN melalui gambar tempel belum lama ini. (ant)
Anggota Bawaslu Tanjungpinang Novira Damayanti menyosialisasikan netralitas ASN melalui gambar tempel belum lama ini. (ant)

Gemapos.ID (Jakarta) - Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) diuji saat menghadapi pemilu dan pilkada serentak tahun 2024, kata Pengamat Politik dan Pemerintahan dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji Kota Tanjungpinang Endri Sanopaka.

"ASN sebenarnya tidak sulit untuk menghindar atau menolak ketika diajak untuk memberi kontribusi tertentu kepada peserta pemilu dan pilkada. Alasan yang harus disampaikan adalah pelanggaran terhadap UU ASN merupakan tindak pidana pemilu, dengan sanksi yang cukup berat," ucap Endri di Tanjungpinang, Kamis (3/11/2022) seperti keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta.

Ketua STISIPOL Raja Haji itu mengemukakan sejumlah oknum ASN kerap terjebak dalam kepentingan politik karena diiming-imingi jabatan tertentu oleh peserta pemilu dan pilkada. Padahal saat harapan itu tiba mereka malah ditinggalkan oleh peserta pemilu dan pilkada.

Karena itu, kata dia oknum ASN yang tidak netral bukan hanya terlihat saat tahapan kampanye, melainkan setelah proses penghitungan suara.

"ASN yang tidak memiliki integritas sekarang lebih suka main di ujung, bukan di tengah, apalagi awal. Mereka mendekati peserta pemilu dan pilkada yang kira-kira dapat duduk menjadi anggota legislatif atau kepala daerah setelah proses penghitungan suara," ujarnya. 

Dari kondisi itu, menurut dia pengawasan terhadap ASN sebaiknya tidak hanya dilakukan dari awal tahapan pemilu dan pilkada, melainkan hingga sampai pengumuman calon anggota legislatif terpilih dan calon kepala daerah terpilih.

"Dari pengalaman pemilu dan pilkada sebelumnya, maka saya minta Bawaslu RI dan jajarannya hingga di kabupaten dan kota mengawasi ASN hingga setelah penghitungan suara," katanya.

Jadi contoh

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau Dr. Alfiandri mengingatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk tidak terseret dalam politik praktis pemilu maupun pilkada.

"ASN mestinya jadi contoh bagi masyarakat dalam menghadapi pemilu, tidak malah ikut-ikutan mengkampanyekan politisi tertentu," katanya.

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji itu menegaskan pengaruh politik terhadap ASN cukup besar, salah satunya disebabkan pimpinan mereka merupakan politisi baik yang duduk di DPRD maupun sebagai kepala daerah. 

"Kalau tidak teguh pendirian untuk bersikap netral, biasanya terseret dalam arus kepentingan politik praktis pemilu dan pilkada," ujarnya.

Alfiandri juga mengingatkan anggota legislatif dan kepala daerah untuk tidak melibatkan ASN dalam kegiatan politik mereka.

"ASN juga jangan melibatkan diri dalam kampanye pemilu dan pilkada hanya untuk mengejar jabatan tertentu jika politisi itu memenangkan pemilu," ucapnya.

Menurut dia, netralitas ASN berdasarkan UU ASN bukan bersifat imbauan, melainkan perintah yang wajib dilaksanakan.

"Kalau ingin berpolitik praktis sebaiknya berhenti jadi ASN," ujarnya.

Oknum ASN yang tidak netral dalam pemilu biasanya membentuk kelompok sendiri untuk memenangkan caleg atau calon kepala daerah tertentu. Kelompok politik tersebut tentu tidak hanya satu, melainkan bisa lebih dari dua.

Perbedaan kepentingan antara kelompok politik itu tentu dapat mempengaruhi kinerja pemerintahan, selain menyebabkan terjadi konflik.

Di Kepri, kata dia oknum ASN yang berada di kelompok politik itu selalu ada. Beberapa di antaranya sudah mendapatkan sanksi dari Komisi ASN dan pemerintah daerah.

"Saya pikir netralitas ASN itu bukan pilihan, melainkan wajib dilakukan," katanya.

Anggota Bawaslu Kepri Indrawan mengemukakan kasus oknum ASN tidak netral selalu ada dalam setiap pemilu dan pilkada, meski tidak signifikan.

Pada Pilkada Kepri tahun 2020, misalnya jajaran Bawaslu Kepri menindaklanjuti 12 kasus pelanggaran pidana pemilu dan 11 kasus pelanggaran administrasi. Dari 12 kasus pelanggaran pidana itu, beberapa di antaranya melibatkan oknum ASN dan oknum kepala desa.

"Potensi ASN tidak netral pada pemilu maupun pilkada itu cukup besar. Mereka bisa melibatkan diri atau memang diseret kepentingan politik praktis," katanya. (rk)