Apa Saja Kebijakan BI Tahan Depresiasi Rupiah Terhadap Dolar AS?

"Dengan tetap berada di pasar sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi, terutama imported inflation melalui intervensi di pasar valas serta pembelian/penjualan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo di Jakarta pada Kamis (3/11/2022).
"Dengan tetap berada di pasar sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi, terutama imported inflation melalui intervensi di pasar valas serta pembelian/penjualan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo di Jakarta pada Kamis (3/11/2022).

Gemapos.ID (Jakarta) - Bank Indonesia (BI) menyatakan stabilisasi nilai tukar rupiah akan terus dilakukannya setiap waktu. 

Kebijakan ini merespon nilai tukar rupiah melemah atas dollar AS berdasarkan Jisdor sebesar 0,18% menjadi Rp15.681 pada Kamis (3/11/2022) sore dibandingkan Rabu (2/11/2022) dari Rp15.652. 

Jisdor adalah Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI. 

"Dengan tetap berada di pasar sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi, terutama imported inflation melalui intervensi di pasar valas serta pembelian/penjualan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo di Jakarta pada Kamis (3/11/2022).

BI juga melanjutkan penjualan/pembelian SBN di pasar sekunder untuk memperkuat transmisi kenaikan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).

Langkan imi guna meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi masuknya investor portofolio asing guna memperkuat stabilisasi nilai tukar Rupiah.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menambahkan indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) mencapai level tertinggi dalam dua dekade terakhir yaitu 114,76 pada 28 September 2022.

Nilai tukar Rupiah sampai dengan 31 Oktober 2022 terdepresiasi 8,62% year to date, relatif lebih baik dibandingkan mata uang sejumlah negara berkembang lainnya.

Negara-negara yang dimaksud seperti India sebesar 10,20%, Malaysia sebesar 11,86%, dan Thailand sebesar 12,23%, sejalan dengan persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif.

"Tren depresiasi nilai tukar negara berkembang tersebut didorong oleh menguatnya dolar AS dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara, terutama AS," ujar dia.

Fed Funds Rate yang diprakirakan lebih tinggi dengan siklus yang lebih panjang mendorong semakin kuat mata uang dolar AS. Jadi, ini berakibat depresiasi terhadap nilai tukar di berbagai negara, termasuk Indonesia. (dtf/din)