Sumpah Pemuda, Persatuan Nasional dan Tantangan Bangsa

Lukisan di Jakarta pada tahun 1985 dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda. (net)
Lukisan di Jakarta pada tahun 1985 dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda. (net)

"Putusan Kongres" Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda adalah rekonstruksi simbol yang sengaja diciptakan oleh Sukarno untuk menyatukan kembali bangsa Indonesia dengan tujuan menghindari perang saudara oleh aksi-aksi pemberontakan.

Peran pemuda sangatlah strategis sebagai pewaris bangsa dalam melaksanakan ideologi Pancasila, menjaga kebhinekaan demi tetap tegaknya NKRI.

Sejarah telah mengajarkan bagaimana kepeloporan pemuda sejak melek pendidikan akibat "Politik Etis" hingga melahirkan Kebangkitan Nasional. Walaupun bermula dari persatuan yang didasari primordialisme namun akhirnya memunculkan kesadaran kolektif untuk membangun konsensus dan bermuara pada ikrar persatuan nasional.

Membangun kepemudaan Indonesia bertujuan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang bertakwa, memiliki integritas moral, humanis yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia, serta manusia yang menyadari atas pentingnya menjaga lingkungan yang berkelanjutan demi tanah air Indonesia. 

Sumpah Pemuda bermakna penting sebagai ikrar pemuda untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu.

Begitu hebatnya tekad para pendiri bangsa yang digawangi tokoh-tokoh pemuda lintas suku dan agama demi tercapainya cita-cita terbebas dari belenggu penindasan kolonialisme dan imperialisme untuk melahirkan Indonesia yang merdeka.

Pergumulan ide gagasan dan ideologi telah dilalui bangsa Indonesia dengan berbagai tantangan. Karena sejatinya revolusi belumlah usai. 

Ada konsekuensi yang harus dibayar ketika bangsa ini menghianati arti persatuan.

Dan waktu terus berputar untuk menghadapkan kita pada pilihan apakah mampu mengelola sebuah perbedaan menuju kemajuan atau terjebak dalam euforia kebebasan yang menghakimi perbedaan?

Saat ini Indonesia dalam situasi menghadap sejumlah tantangan diantaranya:

1) Demokratisasi (politik identitas, politisasi agama, money politik, politik belum dimaknai sebagai adu gagasan/program), 

2) Disrupsi (perubahan secara besar-besaran, terutama dalam teknologi informasi), 

3) Degradasi mental (meningkatnya kejahatan intelektual dan belum maksimalnya penegakan hukum), 

4) Distorsi informasi (media sosial masih dibanjiri hoaks), 

5) Distrust (krisis kepercayaan), 

6) Delusi (tidak bisa membedakan fakta dan tidak), 

7) Defisit (berkurang/hilangnya sumber penghasilan dampak Covid dan dampak perang).

Faktor tersebut sangat mempengaruhi upaya bangsa Indonesia untuk mencapai lompatan menuju bangsa maju yang diproyeksikan sebagai 5 (lima) negara dengan kekuatan ekomoni terbesar di tahun 2045.

Dan dalam 8 (delapan) tahun terakhir ini seakan sesama anak bangsa begitu mudahnya untuk diadu domba.

Padahal bangsa Indonesia memilki Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang besar sebagai modal mencapai negara maju.

Ketika negara maju saat ini mengalami krisis angkatan kerja usia produktif, Indonesia malah mendapatkan bonus demografi. 

Bonus Demografi adalah besarnya proporsi penduduk usia produktif (rentang usia 15-64 tahun) sebagai evolusi kependudukan dalam sebuah negara.

Tinggal bagaimana mengelola bonus demografi tersebut menjadi Sumber Daya Manusia (SDM) yang sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, patuh dan taat pada hukum, berdaya saing, memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, serta kebangsaan sebagaimana ikrar Sumpah Pemuda yang mencintai tanah airnya, mencintai bangsanya dan menjunjung bahasa persatuan.

Maka tidak bisa ditawar bahwa meningkatkan kualitas SDM diberbagai sektor, efisiensi, peningkatan produktifitas dan daya saing serta melakukan riset dan inovasi merupakan sebuah kebutuhan.

Revolusi mental harus diinjeksi secara terus menerus serta membangun paradigma untuk tak lagi kita berorientasi continental karena faktanya kita belum optimal memanfaatkan potensi laut, tak lagi menunda-nunda waktu karena produktifitas membutuhkan kerja cepat dan terukur, tak lagi tergantung kekayaan alam berlimpah karena tanpa kualitas SDM kita hanya akan jadi penonton di negeri sendiri.

Dalam memperkuat demokratisasi dengan meningkatkan ruang partisipasi maka harus ada komitmen menghormati perbedaan dan tidak boleh merampas kemerdekaan hak asasi orang lain. Tidak mengaduk-aduk ruang publik dengan ranah privat dengan politik identitas. 

Jika dalam forum global kita mampu membangun solidaritas kemanusiaan dan memimpin forum negara maju melalui G20, mengapa dalam persaudaraan kebangsaan kita harus terus memelihara pertikaian karena perbedaan pilihan politik?

Marilah kita berihtiar bahwa kita mampu menikmati politik dengan gembira dan cerdas. Kita telah dipersatukan menjadi Indonesia. Nama Indonesia baru diperkenalkan pada tahun 1850. Oleh ilmuwan Inggris bernama GW Earl, awalnya menawarkan pilihan nama "Indunesians" dan "Malayunesians".

Lalu oleh ilmuwan Inggris lainnya, JR Logan lebih memilih nama "Indunesians" dalam artikel berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Dari pilihan nama inilah kemudian menjadi Indonesia.

Sebelumnya kepulauan cantik di katulistiwa yang diapit Samudera Hindia dan Pasifik ini oleh masyarakat India dikenal dengan nama Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), orang Tiongkok menyebutnya Nanhai (Kepulauan Laut Selatan), orang Eropa menyebutnya Kepulauan Hindia Timur untuk membedakan dengan India serta Majapahit menyebutnya Nusantara.

Karena Nusantara pecah dan dijajah oleh Belanda maka diganti nama menjadi Hindia Belanda (Nederlands-Indie) atau Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost-Indie). Nama ini tercantum dalam dokumen VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang berlangsung ratusan tahun.

Atas penindasan akibat kebijakan Cultuurstelsel (tanam paksa) dan kerja Rodi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Johannes Van Den Bosch timbul reaksi iba dari tokoh liberal, Van Deventer pada tahun 1890 mendesak parlemen Belanda untuk melindungi hak-hak bangsa yang dijajah maka lahir kemudian kebijakan Politik Etis (Ethische Politiek) atau politik balas budi tahun 1901 melalui program irigasi, edukasi dan emigrasi.

Maka pemerintah Hindia Belanda mendirikan School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen (STOVIA) di Batavia tahun 1902 sebagai pengganti Sekolah Dokter Djawa.

Kemudian membangun sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) tahun 1914 bagi anak-anak bangsawan Bumiputera. Setelah lulus dari HIS melanjutkan pendidikan ke MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) setingkat SMP, kemudian Algemeene Middelbare School (AMS), Hoogere Burgerschool (HBS) setingkat SMA. 

Pada tahun 1920 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Technische Hoogeschool te Bandoeng yang disingkat TH te Bandoend atau THB sebagai perguruan tinggi teknik (ITB saat ini) dan Recht Hoogeschool (Fakultas Hukum) di Batavia pada 1924 (UI saat ini). 

Dengan Politik Etis mulai lahir kelompok priyayi yang terdidik. Tidak sedikit pula orang-orang "Hindia" bersekolah ke Belanda. 

Lulusan STOVIA banyak melahirkan tokoh pergerakan diantaranya Sutomo, Tjipto "Gunawan" Mangunkusumo, Wahidin Sudirohusodo, Soeradji Tirtonegoro (keempatnya pendiri Budi Utomo) dan Tirto Adi Suryo. 

Sementara Sukarno adalah lulusan THB.

Pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda mendirikan Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) pada tahun 1908. 

Masa ini kemudian disebut era Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan lahirnya organisasi Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908.

Selanjutnya Budi Utomo menginspirasi berdirinya berbagai organisasi pemuda kedaerahan seperti Tri Koro Dharmo (Jong Java), Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, dan lain lain.

Sebagai tonggak kebangkitan nasional yang telah melahirkan tokoh-tokoh pergerakan, pemikir dan penulis tumbuh menjadi sebuah euforia. Hal ini tentu karena kata kuncinya adalah "revolusi pendidikan". 

Melihat pentingnya literasi untuk memajukan pengetahuan dan memperluas jangkauan kaum Bumiputera (bukan terbatas pada kelompok bangsawan), maka Tirto Adi Suryo mencetak surat kabar mingguan “Medan Priyayi” tahun (1909-1912).

Pada tahun 1911 Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam. Oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada tahun 1912 diubah menjadi Sarekat Islam. Sementara Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah.

Ketika mengenyam pendidikan di Belanda Tan Malaka pada tahun 1925, menulis buku "Naar de Republiek", gagasan cita-cita membangun sebuah Republik. Kemudian menulis buku kedua "Massa Actie" tahun 1926.

Pada tahun 1926, Hasyim Asy’ari dan beberapa tokoh ulama mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). 

Sementara Sukarno semasa mengenyam pendidikan di Bandung pada tahun 1926 menyampaikan gagasannya dengan artikel pada surat kabar "Soeoleh Indonesia Moeda", dengan judul "Nasionalisme, Islam dan Marxisisme". 

Untuk menyatukan beragam gagasan pemikiran dalam satu tujuan mencapai cita-cita bangsa maka dilaksanakan Kongres Pemuda I pada tanggal 30 April - 2 Mei 1926.

Kongres Pemuda I menghasilkan keputusan penting yakni:

1) Cita-cita Indonesia merdeka menjadi cita-cita seluruh pemuda Indonesia

2) Seluruh perkumpulan pemuda berupaya untuk menggalang persatuan organisasi pemuda dalam suatu wadah

3) Mengakui dan menerima cita-cita persatuan Indonesia

Dalam pengaruh tekanan kolonialisme Belanda maka kelompok terdidik Hindia (Bumiputera) mulai berani mempopulerkan identitas baru "Indonesia" maka pada tahun 1926, Perhimpunan Hindia diganti menjadi Perhimpunan Indonesia yang kemudian menjadi organisasi politik dan tahun 1927 Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Kemudian dilaksanakan Kongres Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada tanggal 30 Agustus - 2 September 1928. PPKI dibentuk sebagai wadah semua kekuatan politik termasuk pemuda. 

Sebagai tindak lanjut dari hasil keputusan Kongres Pemuda I untuk memperkuat persatuan dan merumuskan cita-cita bangsa maka dilaksanakan Kongres Pemuda II pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928.

Atas persetujuan Mohammad Hatta dan Sukarno maka Sugondo Djojopuspito terpilih menjadi Ketua Kongres Pemuda II.

Persetujuan tersebut didasari atas pertimbangan karena Sugondo adalah anggota PPI (Persatuan Pemuda Indonesia), wadah pemuda yang bukan berdasarkan kesukuan dimana Hatta adalah ketuanya.

Kemudian ditunjuk RM Djoko Massaid dari Jong Java sebagai wakil ketua dan Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond sebagai sekretaris serta Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond menjadi bendahara.

Panitia Kongres Pemuda II lainnya adalah Joham Mohammad Tjaja (pembantu I), R. Kaca Sungkana (pembantu II), RCL Senduk (pembantu III), Johanes Leimena (pembantu IV), dan Rochjani Soe'oed (pembantu V).

Dengan meninggalkan ego primordial (kesukuan) Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, Indonesische Studie Club, Perhimpunan Indonesia, Jong Islamieten Bond, dll bersatu menghasilkan "Putusan Kongres". 

Sebelum kongres ditutup pada tanggal 28 Oktober 1928 diperdengarkan lagu “Indonesia” karya Wage Rudolf Supratman.

Adapun "Putusan Kongres" Kongres Pemuda II yakni:

Pertama:

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kedua:

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Ketiga:

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pasca ikrar persatuan dalam entitas keIndonesiaan, eskalasi perlawanan atas penindasan penjajah makin meningkat baik perlawanan fisik maupun perjuangan diplomasi (intelektual). 

Para aktifis pergerakan mulai ditangkap Belanda seperti Sukarno atas tuduhan makar kepada pemerintah Hindia Belanda yang dijebloskan ke penjara Banceuy.

Dalam persidangan Sukarno tahun 1930 menulis pembelaan yang diberi judul "Indonesia Menggugat".

Lewat pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggugat mampu membuka mata dunia internasional betapa kejamnya perlakuan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan. Bung Karno tetap dijatuhi hukuman dan dijebloskan di penjara Sukamiskin.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin masif menangkap aktifis kemerdekaan, namun tetap memperluas kesempatan Bumiputera untuk mengenyam pendidikan tinggi dengan membangun Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Kemanusiaan) di Batavia pada 1940 (UI saat ini), dan setahun kemudian membangun Faculteit van Landbouwweteschap (Fakultas Pertanian) di Bogor (IPB saat ini). 

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami serangkaian agresi militer dan tengah dihadapkan pada ujian persatuan lewat kemunculan gerakan-gerakan pemberontakan dan separatis.

Dalam menghadapi pemberontakan dan untuk memperkuat kesatuan bangsa terutama di kalangan pemuda maka pada Kongres Bahasa II pada tanggal 28 Oktober 1954 istilah "Putusan Kongres" hasil Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 oleh Presiden Sukarno diganti menjadi "Sumpah Pemuda". 

Sumpah Pemuda kemudian dijadikan Sukarno sebagai senjata ideologi untuk "memukul" gerakan-gerakan pemberontakan dan separatis.

Presiden Sukarno kemudian menerbitkan Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 yang menetapkan tanggal 28 Oktober sebagai Hari Sumpah Pemuda.

"Hikmah yang dapat kita petik dalam memperingati Sumpah Pemuda ialah bahwa dalam keadaan bagaimana pun dan di atas segala-galanya kita adalah satu nation. Tidak peduli apa agama, keyakinan politik dan golongannya. Nation kita adalah nation yang berjuang, anti imperialisme, patriotik dan demokratis," Sukarno.

"Saya akan merebahkan diri di dalam hutan dan minta ampun kepada Allah SWT karena telah mendurhakai kemerdekaan bangsa Indonesia dan mendurhakai Sumpah Pemuda yang keramat itu," pesan Sukarno kepada pemberontak.

 

I Ketut Guna Artha, Ketua Presidium Nasional Jaringan Kerja Akar Rumput Bersama Ganjar (Jangkar Baja)