Anggota DPR, Nyoman Parta Soroti Masalah Garam di Indonesia

Anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Parta. (dok)
Anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Parta. (dok)

Gemapos.ID (Jakarta) - Anggota Komisi VI DPR RI Nyoman Parta mengungkap Indonesia sebagai negara maritim menempati urutan ketiga negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia yang membentang sepanjang 99.083 kilometer (km). 

Posisi Indonesia hanya berada di bawah Kanada dan diatas Norwegia dengan garis pantai masing-masing sepanjang 202.080 km dan 58.133 km. 

Dengan garis pantai yang besar tersebut, Indonesia dipandang punya lahan potensial yang besar untuk tambak garam.

Demikian disampaikan Nyoman Parta saat rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan PT Garam Indonesia di Senayan, Jakarta, Senin (5/9/2022).

“Namun sayang bagai situasinnya sangat paradoks. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi garam di Indonesia sebesar 1,09 juta ton pada 2021. Jumlah tersebut turun 20,44% dari tahun sebelumnya yang sebesar 1,37 ton,” kata Nyoman Parta. 

Produksi garam tersebut menuerutya hanya mencapai 61,9% dari target nasional yang ditetapkan pada tahun 2021. 

“Sepanjang tahun lalu, KKP menargetkan produksi garam nasional sebanyak 2,1 juta ton.  Adapun, produksi garam nasional pada 2021 tak bisa mencukupi kebutuhan garam nasional. Karenanya, pemerintah mengimpor garam hingga 2,83 juta ton pada tahun lalu,” ujarnya.

Parta menyebut, ada berbagai faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat produksi garam nasional, mulai dari musim kemarau basah yang membuat produksi garam rakyat tidak optimal, pemanfaatan teknologi yang belum merata hingga ongkos produksi yang mahal dan harga jual garam sering tak menentu.

“Selain faktor-faktor diatas terdapat juga permasalah lain yang kerap luput yaitu produk garam petani kecil sering terhambat perihal standarisasi yang kerap di judge kurang seperti kandungan NaCl rendah,” kata dia. 

Menurutnya, garam rakyat tidak bisa memenuhi standar untuk kebutuhan industri karena NaCL garam rakyat hanya 92 %, sedangkan standar yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian dengan syarat Perindustrian sebesar 97%- 99%.  

“Jadi standarisasi yang dibuat terlalu tinggi menyusahkan garam-garam yang diprodukasi oleh rakyat dan akhirnya memberikan karpet merah untuk garam import untuk kebutuhan industry,” ujarnya. 

Padahal, garam hasil produksi organik petani rakyat dari garis pantai indonesia menurut Parta tidak hanya ada kandungan NaCl-nya saja, namun kaya akan kandungan mineral yang sangat dibutuhkan manusia sehingga masuk sebagai kategori garam sehat.

Selain itu, Parta meminta PT Garam selaku BUMN untuk produk garam selalu memonitoring dan mengantisipasi terkait masuknya garam impor ke rumah tangga Indonesia yang diduga syarat akan kecurangan.

Menurutnya ada upaya-upaya manipulative terkait izin impor (HS-Code 25.01) yang menyatakan bahwa garam impor hanya digunakan untuk kebutuhan industri. 

“Namun ternyata di lapangan telah dilakukan praktek manipulasi dimana prosesor menggunakan mesin yang sama untuk memproses garam impor dan lokal sehingga setelah diproses tidak dapat dibedakan,” ujarnya.

Selain itu, Parta juga mendorong BUMN PT. Garam mampu berinovasi agar swasembada garam nasional bisa terealisasi, mengampu tambak-tambak milik rakyat dengan konsep kemitraan. Di sisi lain, juga harus mengambil posisi meningkatkan kualitas garam rakyat agar bisa masuk pasar industri.

“Pemerintah harus segera melakukan langkah avirmatif dan memberikan dukungan teknologi. Sebab garam bukan hanya untuk kosumsi, tapi garam itu turunannya sangat banyak, bisa untuk kebutuhan kosmetik, farmasi, deterjen, makanan dan minuman, juga industri manufaktur lainnya,” tutupnya. (rk/rls)