Menteri Pertanian Ingatkan, Harga Mi Instan Bisa Tiga Kali Lipat

Ilustrasi: Mi Instan
Ilustrasi: Mi Instan

Gemapos.ID (Jakarta) - Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengingatkan, dalam waktu dekat ini ada kemungkinan harga mi instan di pasaran akan naik sampai tiga kali lipat. Hal ini disebabkan karena impor gandum dari Rusia dan Ukraina terganggu. 

"Di sana (Rusia dan Ukraina), gandum tertimbun 180 juta ton. Jadi hati-hati yang banyak makan mi dari gandum, besok harganya tiga kali lipat itu," ujarnya dalam Webinar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan pada Senin (8/8/2022). 

Seperti yang diketahui, perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina telah mendorong negara-negara di dunia menghadapi ancaman krisis pangan, termasuk sulitnya mendapatkan gandum. 

Menurut Syahrul, ada 62 negara yang terganggu pasokan pangannya akibat ketegangan geopolitik dua negara itu. Syahrul kemudian meminta maaf karena kementeriannya harus secara ekstrem meenggamblangkan informasi tersebut.

Ia mengatakan, sebenarnya gandum sebagai bahan baku mi instan tersebut tersedia stoknya, namun harganya sangat tinggi. 

Sedangkan, Indonesia masih harus mengimpor bahan baku itu lantaran gandum sulit ditanam di Indonesia. 

Karena hal tersebutlah, ia mengimbau agar masyarakat dapat mengkonsumsi bahan pangan lainnya yang bisa menjadi subtitusi gandum, seperti singkong, sagu, dan sorgum. 

"Kalau saya sih pilih kita makan aja sorgum. Kenapa? Ya karena menghadapi tantangan-tantangan ini nggak kecil di Kementerian Pertanian," ucapnya. 

Sebelumnya, pemerintah gencar mendorong penanaman sorgum sebagai substitusi gandum. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah meminta jajarannya untuk mencetak lahan sorgum hingga 154 hektare sampai 2024 nanti. 

Merespons permintaan itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun mengaku hingga bulan Juni 2022 realisasi luas tanam sorgum sudah mencapai 4.355 hektare dan tersebar di enam provinsi. 

Luas tanam sorgum tersebut memiliki perkiraan produksi sebesar 15.243 ton atau dengan produktivitas 3,63 ton per hektare. 

Terkait hal itu, Juru Bicara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Hari Prihatono pun meyakini sorgum dapat menjadi alternatif atau subtitusi impor gandum, bahan pakan ternak, maupun bioetanol. 

Menurutnya, sorgum merupakan tanaman serealia yang menurutnya potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan di Indonesia. Khususnya, pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia dan tidak memerlukan perawatan yang tinggi.

Menurut Hari, sorgum juga memiliki produksi biji dan biomassa yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman tebu dan serealia lain. Kebutuhan air untuk tanaman sorgum hanya sepertiga dari tebu dan setengah dari jagung. Sorgum juga memerlukan pupuk relatif lebih sedikit dan pemeliharaannya lebih mudah. Selain itu, umur panen sorgum lebih cepat 100-110 hari setelah tanam. Sekali tanam, kata dia, sorgum dapat dipanen dua hingga tiga kali dalam setahun.

Namun, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai langkah pemerintah untuk mengembangkan sorgum sebagai substitusi impor gandum tidak realistis. 

"Belum bisa. Skala produksinya masih terlalu kecil," ujarnya kepada Tempo, Sabtu, (6/8/2022). 

Persoalan skala produksi ini dianggap signifikan karena hanya sebagian wilayah di Nusa Tenggara atau di Indonesia bagian Timur yang bisa ditanami sorgum. Sementara itu di wilayah lainnya, masyarakat lebih tertarik menanam beras karena faktor stabilitas harga. 

Ia berpendapat jika proyek pemerintah ini hanya sebagai inisiasi, maka masih memungkinkan tercapai. Namun apabila targetnya untuk mengantikan posisi gandum, menurutnya belum bisa. 

"Dan saya kira yang paling penting sekarang kalau mau serius gausah muluk-muluk lah, untuk sorgum bisa menjadi pangan yang bisa menggantikan beras di kawasan NTB NTT itu sudah lebih dari bagus," ujarnya. 

Bhima berharap pemerintah dapat memperbaiki dulu food estate yang sudah ada sekarang, baru membahas soal komoditas lainnya. Sehingga anggaran untuk proyek tersebut tidak terbuang percuma. 

Apalagi jika pemerintah ingin menjawab krisis pangan, perlu dipikirkan jangka waktu proyek ini membuahkan hasil. 

"Ternyata proyeknya masih 10-20 tahun lagi berhasilnya, padahal krisis pangannya terjadi sekarang," jelasnya.(tmp/ri)