Jangan Bakar Plastik

Tangkap layar- Video pembakaran sampah di Desa Padang Sambian yang dimaksud I Nyoman Parta
Tangkap layar- Video pembakaran sampah di Desa Padang Sambian yang dimaksud I Nyoman Parta

“Mohon tulisan ini dibaca utuh dan tuntas agar kita bisa berpikir jernih kemudian mencari solusi yang tepat.” 

 

Saya bukan sarjana lingkungan, saya hanya senang dalam gerakan merawat lingkungan, sering bertanya dan berguru pada mereka yang memiliki pengetahuan tentang lingkungan termasuk tentang residu, khususnya plastik.

Dari berbagai diskusi, sumber dan refrensi yang saya dapatkan, saya coba menuliskan, terutama sekali berkaitan dengan tungku pembakar plastik yang disebut incenerator yang mulai muncul di beberapa tempat seperti Perean, Badung dan juga di Padang Sambian, Denpasar.

Kurangi timbulan dan pilah disumber

Sesungguhnya dua Pergub Bali nomor 97 tahun 2018 tentang pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai dan Pergub Bali nomor 47 tahun 2019 tentang pengelolaan sampah berbasis sumber adalah Pergub yang sudah sangat tepat. Tinggal komitmen semua pihak dan konsisten, plus harus sabar. Ayo, terus sosialisasikan dan aplikasikan kedua Pergub diatas.

Jangan instan dan panikan 

Menyelesaikan problem sampah tidak bisa instan, panikan serta tidak boleh selalu membahas sampah di hilir dan tidak konsisten bangun kesadaran di hulunya. Mau cepat, sehingga hilang kesabaran minim informasi, pragmatis lalu solusinya bakar-bakar.

Itulah pentingnya memiliki pemahaman yang cukup dan utuh tidak mudah goyah dengan tawaran-tawaran penyelesaian persoalan sampah dengan cara pragmatis.

Ingat, persoalan sampah di hulu adalah persoalan manusia. Jadi edukasi terus menerus manusianya yang tidak boleh putus waktunya akan lama, tapi hasilnya akan maksimal dan tuntas.

Manusia yang akan membentuk hebit, secara komunal manusia yang menjadikan budaya.

Budaya bersih adalah tujuan yang kita ingin capai. Selanjutnya, peradaban bersih adalah warisan untuk anak cucu dan generasi.

Jangan Bakar Plastik 

Kenapa harus dihindari bakar plastik? Plastik itu berasal dari residu minyak bumi, jadi sejak awal bahan pembuatnya beracun.

Kalau bensin yang terbuat dari minyak bumi saja hasil pembakaranya kita sebut polusi, apalagi residunya! 

Ditambah, plastik itu jenisnya ada banyak sekali. Dan sebagian besar plastik yang kita gunakan sudah ditambah berbagai bahan, misal pewarna.

Proses pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan reaksi kimia yang sulit ditangani dan mudah terbawa udara.

Ketika pembakaran yang tidak sempurna lepas ke udara, dioksin akan sulit sekali ditangani karena ukuranya sangat kecil, yaitu micron atau nano.

Apa bisa ditangkap, bisa! Tapi dengan membran yang tentu biayanya tidak murah. Dioksin itu tidak tunggal ada ratusan bahkan ribuan jenisnya.

Hasil pembakaran plastik tidak sempurna itu menghasilkan dioksin yang jumlah jenisnya tidak kita ketahui.

Karena dia senyawa beracun dengan bentuk yang beragam. Dia mudah masuk ketubuh manusia menyebabkan berbagai penyakit kronis, termasuk kanker. Yang mana sulit diobati karena kita tidak tau dia dioksin yang mana.

Kalau incenerator model seperti ini, sama saja dengan bakar sampah biasa. Tidak cocok di tempatkan di lokasi padat penduduk, di desa-desa. 

Di samping harus memenuhi perijinan untuk beroperasi juga harus lolos uji emisi atau uji baku mutu, juga tetap saja mesin ini harus dirawat dengan proper serta air filternya harus rutin di cek. Kalau bocor, itu beracun sekali untuk udara sekitar.

Biaya maintenance dan operasi cukup merogoh kocek Desa. Butuh SOP dan pengawasan yang ketat. Seharusnnya ini tidak disodorkan ke desa-desa.

Jika sangat terpaksa yang bakar-bakar, sebaiknya dibuat central saja di satu lokasi untuk membakar residu saja, yaitu di TPA.

Itupun jalan terakhir kalau seandainya TPA tetap overload. Membakar adalah tindakan terakhir dan terpaksa. Itupun dengan mesin yang canggih dengan suhu panas sampai 800c ke atas. Incenerator yang benar-benar aman dan tertutup. 

Jadi contoh yang ada di Desa Padang Sambian, seperti gambar video tidak mungkin sampai suhu panas 800cc. Apalagi harus dibuka berulang kali untuk memasukkan sampah kering. Suhu pasti tidak stabil, karena sistem incenerator yang benar dan aman itu tertutup dengan frekwensi memasukan limbah residu. Sekali lagi residu. Bukan semua plastik dan sampah dibakar, dengan rentang waktu yang lama dan yang keluar dari ujung tiang tungku bukan asap seperi dalam video. 

Saya sempat telepon Pak Gus Tre, Kadis lingkungan hidup Kota Denpasar. Apakah tungku pembakar sampah di Desa Padang Sambian itu sudah ada ijin operasional, dan apakah sudah ada hasil uji baku mutu tentang emisi? Pak Kadis menjawab, belum.

Lho belum berijin, belum uji baku mutu kok sudah beroperasi? Di tengah pemukiman pula. Lalu bagaimana melakukan monitoring dan pengawasan?

Saya juga komunikasi dengan Bapak Novrisal Tahar, kepala bidang penanganan sampah dan limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup, beliau dengan tegas menyampaikan untuk Bali inscenerator model di atas tidak direkomendasikan. 

Saya mengapresiasi dan menghormati semangat Pemerintah Desa, namun selusinya harus runut mengajak, memilah dan membakar itu kurang nyambung.

Ayo diskusi bareng cari solusi, agar kita dapat solusi yang aman dan jangka panjang.

 

I Nyoman Parta, Pegiat Lingkungan yang Juga Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan