Buya Syafi’i Ma’arif

Buya Syafi'i Ma'arif
Buya Syafi'i Ma'arif

Tingginya tak lebih dari 170 cm, berperawakan ringkih dan memegang tongkat. Seperti umumnya orang yang sudah sepuh. Dia datang dengan pesawat ekonomi. Tak ditemani siapapun apalagi pengawal. Menjining tas kecil untuk menyimpan keperluan pribadinya. Tak neko-neko. Sederhana dan bersahaja.

Kami jemput lelaki 70 tahun itu di bandara Juanda. Walau sebenarnya Beliau menolak untuk di jemput. Kemudian kami langsung mengantar Beliau menemui pengurus Gereja Katolik Santa Maria. Gereja yang menjadi sasaran bom bunuh diri satu keluarga, 13 Mei 2018 pukul 06.30 itu terletak di Jalan Ngagel Madya 01 Surabaya. Kami mengunjungi gereja itu, seminggu setelah kejadian.

Perbincangan hangat di teras gereja antara Beliau dengan pengurus gereja. Beliau menyampaikan bela sungkawa dan mengutuk keras perbuatan biadab tersebut. Juga menjelaskan kesalahan tafsir dalam memahami ajaran agama yang mengakibatkan tindakan “bodoh” tak manusiawi.

Ya, beliau adalah Buya Syafi’i Ma’arif. Sosok sederhana, pejuang kemanusiaan dan ideologi Pancasila. Wujud keteladanan dari nilai-nilai moral ethik yang ada dalam agama dan Pancasila. Kesederhanaan yang ditampilkan sudah menjadi karakter utamanya. Dan tidak takut untuk membela kesewenangan atas nama apapun yang mengiris prinsip kemanusiaan dan keadilan serta konstitusi.

Prinsip kemanusiaan dan keadilan prinsip yang terus diperjuangkan oleh Buya. Prinsip yang terlihat dalam keseharian yang menerima semua orang dari semua kalangan. Tak membedakan pejabat atau orang biasa seperti saya. Juga Basuki Cahya Purna alias Ahok. Yang dibelanya ketika semua orang memusuhi Mantan Gubernur DKI Jakarta ini. Buya menemani Ahok. Dan dia dikucilkan komunitasnya. Tak gentar dan tak geming!

Satu waktu, di sebuah rumah sakit Muhammadiyah, Buya duduk mengantri. Menunggu panggilan dokter. Dipersilahkan untuk mendapat pelayanan lebih dahulu, Buya menolak! “Saya disini seperti yang lain, ngantri”. Tertohok bagian pelayanan mendengar jawaban Buya.

Buya tak ingin dispesialkan. Seperti halnya Baharuddin Loppa atau Mohammad Hatta dan tokoh besar lainnya. Kesederhanaan adalah salah satu tindak beliau yang begitu genuin. Datang dari kesadaran akan nilai persamaan, penghargaan terhadap liyan, penghormatan terhadap keyakinan orang lain dan teguh dalam memerjuangkan nilai kemanusiaan, keadilan dan persamaan.

Bicaranya begitu bersemangat ketika berbicara tentang pentingnya memerjuangkan nilai-nilai Pancasila dan kemanusiaan. Seolah tak ingin terkungkung dalam tubuh ringkih sepuhnya. Baginya memerjuangkan nilai Pancasila adalah bagian dari panggilan agama. Sebab menurutnya, nilai Pancasila adalah sama dan sebangun dengan nilai agama.

“Pancasila lah yang memersatukan bangsa ini. Maka kita harus merawat dan mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Mewujudkan persatuan Indonesia yang menghormati semua entitas yang ada di dalamnya”, begitu pesan Beliau kepada saya dalam sebuah perbincangan di rumah nya.

Teladan kesederhanaan hidup, keteguhan prinsip menjaga nilai Pancasila, keteguhan prinsip membela mereka yang terdiskriminasi sistem sosial kekuasaan, keteguhan untuk tidak di elu-elukan, kedalaman berpikir, kecintaan yang agung dalam mencintai Bangsa Indonesia adalah sedikit warisan yang harus dipedomani dan diikuti kita.

Pardoks dengan diri kami yang harus berjibaku melawan diri kami sendiri, melawan kehilangan nurani dan fitrah kebenaran. Tertumpulkan oleh hasrat kepentingan individu-kelompok dan syahwat indrawi dan politik. Menabalkan identitas etnisitas, agama dan sosial. Kami adalah paradoks dirimu yang sudah selesai dengan diri sendiri. Sebab kami belum selesai dengan diri kami sendiri.

Selamat jalan Buya Syafi’i Ma’arif. Gusti Allah telah menantimu di Surganya. Kami kehilangan, tapi kami mendapat warisanmu. Warisan yang tak diperebutkan, atau bahkan dilupakan begitu saja. Setelah dirimu tiada.

Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP, (28/05/22)