Dominasi Sektor Informal, Tak Gentar Serangan Krisis Covid-19

Beberapa pedagang kaki lima, salah satu sektor usaha informal sedang menjajakan dagangan di pinggir jalan Ibu Kota
Beberapa pedagang kaki lima, salah satu sektor usaha informal sedang menjajakan dagangan di pinggir jalan Ibu Kota

Sore ini, aku keluar dari ruangan sejenak. Niat hati untuk mencari udara segar, itung-itung juga untuk mencari inspirasi di tengah riuhnya ibu kota.

Meski sekarang adalah hari Minggu, situasi jalanan tampak ramai pengendara. Mataku tertuju pada beberapa gerobak penjajak makanan di seberang jalan. Ada sekitar 6 penjual yang tampak sedang menunggu pelanggan.

Berbagai jenis pedagang kaki lima dengan berbagai pilihan makanan ringan tersaji di sana. Ada gorengan, ada bakso tusuk, bermacam jajanan kemasan, kue-kue, dan minuman es.

"Bakso tusuk nya bang," kata ku pada penjual yang mengenakan topi warna putih sedikit kekuningan. Mungkin karena sudah lama digunakan makanya warnanya pudar diterpa matahari.

Belum pernah aku membeli di sana, tetapi karena di gerobaknya tertulis ‘baso tusuk kuah’ sudah pasti dia penjual salah satu makanan khas Indonesia itu, dan membuatku tertarik membeli.

Sebelum mulai meracik pesanan, sang pedagang mulai menanyakan berapa banyak yang akan aku beli. 

Itulah khas penjual kaki lima, kita bisa memesan sesuai dengan kondisi dompet. Tak seperti restoran-restoran besar yang sudah mematok harga selangit dan tak bisa ditawar setiap menu nya.

Cukup murah, satu pentol bakso berbahan daging ayam dibandrol harga Rp500 perak. Aku memesan Rp10 ribu untuk dijadikan dua bungkus. Sato porsi dengan kuah dan satu tidak.

Sambil menunggu pesanan, aku sempatkan ngobrol dengan sang penjual. Ternyata namanya adalah Ra’úb. Setelah lebih jeli kulihat, dia sudah berumur kisaran 50 tahun. Jadi ku putuskan memanggilnya pak Ra’ub.

Pria paruh baya itu ternyata bukan warga asli ibu kota Jakarta. Dia perantau dari Brebes yang mengadu nasib untuk hidup.

Dia mengaku telah jualan bakso tusuk keliling selama 12 tahun belakangan. Itu bertepatan sejak ia menginjakkan kaki pertama kali di Jakarta. 

Dengan menghidupi tiga anak dan tinggal dirumah kontrakan, pak Ra’ub setiap hari harus berangkat pagi berkeliling hingga sore untuk menjajakkan dagangannya. 

Keuntungan bersih dari hasil jualan, jika beruntung dagangannya habis, menurut pak Ra'úb bisa mendapatkan 200 sampai 300 ribu rupiah, tergantung banyaknya porsi dagangan yang dia bawa. 

Ahtivitas ekonomi pak Ra’ub, menurut Annisa Ilmi Faried dalam buku Sosiologi Ekonomi (2021), disebut sebagai ekonomi sektor informal, yaitu merupakan kumpulan usaha kecil yang membentuk sektor ekonomi, di mana kelompok usaha tersebut memproduksi serta mendistribusikan barang atau jasa, untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan memunculkan kesempatan memperoleh pendapatan.

Bisa dikatakan, sektor informal merupakan usaha berskala kecil untuk pemenuhan kebututan hidup secara mandiri. Dan pak Ra’úb adalah salah satu dari jutaan masyarakat Indonesia yang bekerja pada sektor itu. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja Indonesia per Februari 2022 mencapai 135,61 juta pekerja. Dari angka itu, jumlah pekerja informal tercatat sebanyak 81,33 juta pekerja, sedangkan jumlah pekerja formal sebanyak 54,28 juta pekerja.

Artinya secara persentase, jumlah pekerja informal Indonesia pada tahun 2022 mencapai 59,97 persen dari total seluruh pekerja di Indonesia dan di sektor formal mencakup 40,03 persen.

Jumlah pekerja sektor informal tahun ini, meningkat jika dibandingkan dengan Februari 2021 yang mencapai 78,14 juta pekerja atau 59,62 persen. Pekerja formal juga naik dari 52,92 juta di 2021, tetapi secara proporsi, tahun 2021 lebih besar, yaitu 40,38 persen.

Sementara, dua tahun sebelumnya, yaitu pada Februari 2020, pekerja informal tercatat sebanyak 75,5 juta atau 56,64 persen. Sedangkan jumlah pekerja formal mencapai 57,79 juta atau 39,53 persen. 

Kondisi ini menunjukkan, bahwa dalam kurun waktu dua tahun belakangan, sektor informal masih mendominasi dalam menampung angkatan kerja di Indonesia.

Hal itu juga menunjukkan, persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor informal terus mengalami penambahan seiring dengan pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama dua tahun ini.

Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi persnya di Jakarta, Senin (9/5/2022) menyebut yang memberikan kontribusi besar penyerapan lapangan usaha dari sektor informal pada Februari 2022 yakni pertanian, perdagangan dan industri pengolahan.

“Untuk penyerapan tenaga kerja yang paling banyak pada sektor pertanian sebanyak 1,86 juta orang, perdagangan sebanyak 640 ribu orang, dan industri pengolahan sebanyak 850 ribu orang. Ketiga lapangan pekerjaan tersebut sudah memberikan kontribusi sebesar 62,76 persen," ujar Margo Yuwono.

Jadi, wajar jika di pusat-pusat keramaian hari ini kita melihat pinggir-pinggir jalan makin banyak mangkal gerobak-gerobak yang menjajakan barang ataupun jasa. Atau bahkan pedagang asongan yang berkeliling dengan cemilan, minuman kemasan atau makanan ringan lainnya.

Sektor informal sangat dekat dengan kita. Kehadiran pelaku sektor informal juga memberikan banyak kemanfaatan bagi perekonomian negara.

Terbukti, sektor dan pelaku kegiatan informal tetap dapat bertahan terhadap goncangan krisis Covid-19 meski dalan keadaan yang sangat sulit. Bahkan belakangan justru bergeliat untuk tumbuh. 

Untuk itu, pemerintah perlu merumuskan kebijakan strategis untuk menjaga sektor informal tetap mampu bertahan dan kokoh bahkan mengembangkan sektor usahanya. Dengan demikian mereka akan mampu meningkatkan pendapatan harian untuk memenuhi kehidupan keluarganya. 

Upaya itu bisa dilakukan dengan memberikan akses permodalan yang lebih dipermudah. Jangan paksakan mereka berubah dulu menjadi sektor formal dengan persyaratan yang njelimet, baru bisa mendapat akses permodalan dari pemerintah.

Pada dasarnya, pelaku sektor informal masih didominasi tenaga kerja yang tidak memiliki keahlian khusus, dan berpendidikan relatif rendah. Dengan jam kerja yang tidak tentu, pendapatan mereka pun juga tidak dapat terjamin.

Dengan begitu, potensi kehilangan pekerjaan juga sangat tinggi, yang bisa menyebabkan lonjakan angka pengangguran. Akhirnya, kondisi itu bisa makin menyeret mereka pada kemiskinan.

Pemerintah harus jadikan sektor informal prioritas, bukan lagi dinomorduakan. Mereka harus segera dibantu lewat berbagai skema, agar kehidupan ekonomi dan sosialnya makin bertumbuh. 

Bagaimanapun, sektor informal berkontribusi yang tidak sedikit bagi ekonomi bangsa. Ketimbang fokus pembanguan proyek besar, dengan menelan dana triliunan tapi lama balik modalnya.

Sekarang ini, pemerintah bisa memperbaiki berbagai hal terkait sektor informal seperti ketersediaan data dan menjadikan mereka bagian penting dari perumusan kebijakan ke depan.